April 17, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Sejarah Mencatat, Sjafruddin Prawiranegara, Sang Penyelamat Republik Indonesia

10 min read

JAKARTA – Penetapan Pahlawan Nasional itu akhirnya mencapai tahap final. Setelah diusulkan tiga kali dengan perdebatan yang alot pada tahun 2000, 2009, dan 2011, penetapan itu berhasil juga.

Dialah Sjafruddin Prawiranegara, tokoh pejuang yang akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada November 2011, bersama enam pahlawan lainnya. Meski melewati proses penetapan yang sengit, jasanya tak perlu dipertanyakan lagi. Karena dialah Republik ini selamat dari jurang kematian muda.

Tak salah lagi, Sjafruddin hadir sebagai penyelamat Republik Indonesia pada awal kemerdekaannya. Kala itu, bangsa Indonesia tidak langsung merdeka seutuhnya. Pemerintah Belanda, setelah Perang Dunia II dan proklamasi kemerdekaan, kembali ke Indonesia untuk menduduki wilayahnya. Mereka menganggap Indonesia masih menjadi bagian dari wilayah Belanda. Sementara, pemerintah Indonesia tidak mau diduduki Belanda dan bersikukuh mempertahankan kemerdekaan.

Kembalinya Belanda melahirkan revolusi kemerdekaan Indonesia. Revolusi ini tak hanya mengobarkan konflik bersenjata antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan Kerajaan Belanda yang dibantu oleh pihak Sekutu, Inggris. Namun, juga serangkaian perundingan yang ditutup dengan Konferensi Meja Bundar yang digelar di Den Haag, Belanda, pada paruh kedua 1949. Sebuah perundingan yang membuat Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia.

Banyak peristiwa genting yang membuat Republik yang baru berdiri limbung. Revolusi Indonesia pun mengalami kemandekan.

Selain memang tekanan perang terhadap Belanda, mandeknya revolusi Indonesia salah satunya berasal dari serangan kudeta kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Musso di Madiun, pertengahan September 1948. Peristiwa kudeta tersebut merupakan upaya untuk mengganti rezim Sukarno-Hatta dengan Musso sebagai pemimpin negara yang baru.

Meski kudeta itu digagalkan oleh tentara, pihak Belanda berhasil mengambil kesempatan dengan menyerang pemerintahan Indonesia di Yogyakarta melalui agresi militer Belanda II, 19 Desember 1948.

Sekadar informasi, agresi militer Belanda adalah operasi militer yang dilancarkan tentara Belanda di Jawa dan Sumatra terhadap Republik Indonesia. Operasi ini dilaksanakan dua kali. Operasi pertama terjadi pada 21 Juli sampai 5 Agustus 1947, sedangkan yang kedua pada 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949.

Pada agresi yang kedua inilah cikal bakal Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) muncul. Tentara Belanda, melalui agresi militer, berhasil menduduki ibukota negara, Yogyakarta, dan menangkap presiden-wakil presiden beserta jajaran menterinya.

Saat pendudukan itulah, pihak Belanda menganggap nasib pemerintah Indonesia sudah tamat, sebab terjadi kekosongan kekuasaan atau vacuum of power. Namun, sejarah berkata lain. Indonesia belumlah tamat. Ada Sjafruddin Prawiranegara yang menggaungkan perlawanan terhadap Belanda melalui PDRI.

Sejarawan George Mc Turnan Kahin dalam buku Nasionalisme dan Revolusi Indonesia menulis, beberapa minggu sebelum serangan Belanda Menteri Keuangan Sjafruddin mengadakan misi perjalanan ke Bukit Tinggi, ibukota Sumatra.

Untuk diketahui, Sumatra saat itu merupakan satu provinsi saja. Ketua Komisariat Pemerintahan Pusatnya adalah TM Hasan, yang menaungi seluruh Provinsi Sumatra. Ia dibantu oleh Lukman Hakim di bidang keuangan dan SM Rasjid di bidang keamanan dalam negeri.

Pada saat sebelum berangkat, tulis Kahin, Hatta yang saat itu menjabat perdana menteri memberi mandat kepada Sjafruddin untuk mengelola pemerintahan, jika pemerintahan Sukarno-Hatta ditangkap Belanda. Hal itu ditujukan untuk menghadapi hal yang tidak terduga.

Kekhawatiran Hatta terbukti. Serangan Belanda membuat ibukota berada di situasi genting. Pada saat itulah, beberapa jam sebelum Yogya diduduki tentara Belanda pada 19 Desember 1948, sidang darurat kabinet digelar.

Dalam sidang tersebut, disepakati, presiden-wakil presiden memberi mandat kepada Sjafruddin yang sedang di Bukit Tinggi untuk membentuk PDRI di Sumatra. Jika ini gagal, mandat diserahkan kepada pemimpin Republik di luar negeri, Dr. Soedarsono, untuk membentuk exile-government di New Delhi, India.

Surat mandat itu segera “dikawatkan” kepada Sjafruddin. Namun, sejarawan Kahin menyebut surat tersebut tidak sampai ke tangannya karena kantor telekomunikasi dibom oleh Belanda. Kendati demikian, Sjafruddin bersama rombongannya tetap mencoba untuk mencetus lahirnya PDRI melalui inisiatif mereka sendiri di Bukit Tinggi.

 

Mengisi Kekosongan

Menjadi seorang Sjafruddin memang tidak mudah. Sesuai dengan mandat dari Yogyakarta, meski belum jatuh ke tangannya, ia harus mengisi kekosongan kekuasaan guna tetap menjaga eksistensi kemerdekaan Indonesia melalui pemerintahan yang sah.

Dalam tesis, “Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam Mempertahankan Kedaulatan RI 1945-1949” karya WR Hendra Saputra dijelaskan, Sjafruddin bersama Kolonel Hidajat bernegosiasi dengan TM Hasan untuk membicarakan soal keadaan Yogyakarta yang telah diduduki Belanda. Kala itu, belum diketahui mandat PDRI diserahkan kepada Sjafruddin.

Namun mengingat keadaan cukup genting, disepakati keputusan untuk membentuk PDRI dengan Sjafruddin sebagai ketua dan TM Hasan sebagai wakil ketua. Tesis tersebut menyebut pada 22 Desember 1948 pukul 04.30 Waktu Indonesia Barat (WIB), berdirilah PDRI sebagai pemerintahan yang sah.

Susunan awal PDRI, tulis tesis itu, berintikan Sjafruddin Prawiranegara sebagai ketua; TM Hasan sebagai wakil ketua; SM Rasjid sebagai menteri keamanan; Lukman Hakim sebagai menteri keuangan; dan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang RI. Kemudian, susunan itu disempurnakan kembali dengan Sjafruddin tetap sebagai ketua PDRI.

Perlu diketahui, PDRI menjadi penyelenggara pemerintahan Republik Indonesia, periode 22 Desember 1948-10 Juli 1949. PDRI seringkali disebut sebagai Kabinet Darurat, sebagai respons elite Indonesia atas agresi militer. Sifat dari pemerintahannya sementara, sebagai pengganti pemerintahan Sukarno-Hatta yang ditangkap oleh tentara Belanda dalam pendudukan Yogyakarta.

Guna mengefektifkan pelaksanaan kekuasaan, Sjafruddin bersama para rekannya mencanangkan beberapa strategi.  Tesis tersebut menjelaskan, keputusan rapat PDRI menekankan pentingnya penyatuan antara perjuangan sipil dan militer di bawah satu komando. Atas dasar itu, dibentuklah gubernur militer di daerah-daerah Jawa dan Sumatra.

Di Jawa, sebut tesis itu, Kolonel Sadikin menjadi Gubernur Militer Jawa Barat; Kolonel Gatot Subroto menjadi Gubernur Militer Jawa Tengah; dan Kolonel Sungkono menjadi Gubernur Militer Jawa Timur. Seiring perkembangannya, dibentuk pula Komisariat PDRI di Jawa yang disebut Komisariat Pimpinan Pusat di Djawa (KPPD).

Sementara di Sumatra, Daud Beureuh diangkat menjadi Gubernur Militer Aceh; FL Tobing menjadi Gubernur Militer Sumatra Timur; dan SM Rasjid menjadi Gubernur Militer Sumatra Barat. Kemudian, RM Oetojo menjadi Gubernur Militer Riau dan AK Gani menjadi Gubernur Militer Sumatra Selatan.

Tidak cukup dengan itu, Sjafruddin dengan tangkas juga mereorganisasi pemerintahan di tingkat bawah agar sejalan dengan penyatuan sipil-militer. Reorganisasi tersebut, ulas tesis itu, diejawentahkan oleh Sjafruddin dengan membentuk bupati militer di tingkat kabupaten dengan pangkat mayor titular; membentuk wedana militer di tingkat kewedanaan dengan pangkat kapten titular; dan membentuk camat militer di tingkat kecamatan dengan pangkat letnan satu.

Kemudian, Sjafruddin juga membentuk badan-badan pertahanan untuk menghimpun tenaga rakyat di setiap tingkat pemerintahan. Ada pun badan-badan pertahanan yang diulas dalam tesis itu antara lain Markas Pertahanan rakyat daerah (MPRD) di tingkat keresidenan; Markas Pertahanan Rakyat Kecamatan (MPRK) di tingkat kecamatan; dan Markas Pertahanan Rakyat Nagari (MPRN) di tingkat desa.

 

Diburu Belanda

Pergerakan PDRI yang telah diketahui Belanda membuat para elite di PDRI harus bergerak gesit dan berpindah-pindah. Sejarawan Mestika Zed, melalui tulisan “PDRI Sebagai Sumber Pembelajaran TT Hari Bela negara: Refleksi dan Tindakan”, menjelaskan lika-liku perjuangan Sjafruddin bersama rekan-rekannya.

Mestika mencatat, tentara Belanda hendak menangkap para elite PDRI guna menggagalkan perjuangan mereka. Untuk itu, Sjafruddin membagi tugas menjadi tiga hal. Pertama, Sjafruddin bergerak di Bidar Alam, wilayah yang penuh dengan jalan kecil, kampung kecil, dan hutan belantara.

Kedua, Mr. Moh. Rasjid bergerak di Kototinggi. Ketiga, Kolonel Hidajat selaku Panglima Sumatra bergerak dengan melakukan long march. Gerakan long march dilakukan sepanjang garis pertahanan Sumatra sambil mengoordinasikan pertahanan militer sampai ke utara di Banda Aceh, Palembang, dan Bengkulu bagian selatan.

Melalui pembagian tugas tersebut, Mestika mencatat ada dua basis pemerintahan, yakni Bidar Alam dan Kototinggi. Sjafruddin bersama 39 anggota PDRl mencapai Bidar Alam pada 24 Januari 1949. Mereka diterima oleh penduduk setempat, lalu menempati rumah-rumah penduduk dan mendapat bantuan logistik dari penduduk.

Sjafruddin dan rombongan PDRl menjadikan wilayah Bidar Alam sebagai basis kegiatan Kabinet PDRI. Pertimbangan dari wilayah ini adalah relatif aman dari gangguan musuh.

Sejak kedatangan rombongan PDRl itu, keamanan negeri diperkuat. Penguatan keamanan ini dilakukan oleh Idris Batangtaris, perwira militer dari PDRI. Melalui perintah Sjafruddin, Idris menginstruksikan kepada para pemuda wilayah setempat wajib melakukan ronda setiap malam secara bergiliran.

Kemudian, Idris menginstruksikan untuk memperbanyak jumlah pos-pos penjagaan. Tempat-tempat yang dianggap rawan dari infiltrasi musuh, seperti tepi Muaro, diperketat. Barisan pertahanan kepemudaan diaktifkan kembali.

Sjafruddin sebagai Ketua PDRl memimpin Kabinet PDRI, lalu menggerakkan roda pemerintahan dari Bidar Alam. Ia juga membangun komunikasi dengan pemimpin PDRl di Jawa, termasuk Jenderal Sudirman yang tunduk di bawah kepemimpinan PDRI.

Sejarawan Mestika dalam tulisannya mencatat, Sjafruddin membangun hubungan komunikasi dengan Jenderal Sudirman melalui alat komunikasi radio sederhana yang diberikan teknisinya. Selain membangun komunikasi di Jawa, ia juga membangun komunikasi ke luar negeri. Hal ini yang nantinya membangkitkan perjuangan republik di luar negeri yang mendorong penyelesaian konflik Indonesia-Belanda melalui perundingan-perundingan.

Di samping itu, Sjafruddin juga mengembangkan berbagai kegiatan di Bidar Alam. Dalam tulisan Mestika, disebutkan bahwa Sjafruddin juga mengembangkan kursus politik, pengajian, pengobatan, dan berbagai kunjungan di wilayah tersebut.

Namun, keberadaan Sjafruddin di Bidar Alam hanya tiga bulan. Mestika mencatat, tentara Belanda mengetahui keberadaan mantan menteri keuangan itu dan memburunya. Mereka menyerang salah satu wilayah Bidar Alam, Front Muara Labuh, dengan meledakkan tempat tersebut.

Lalu, tentara Belanda mulai menerobos masuk ke Bidar Alam untuk memburu Sjafruddin. Beberapa jam sebelum penerobosan ke Bidar Alam, Sjafruddin bersama rombongannya mengetahui hal tersebut. Jadi, Sjafruddin dan kawan-kawan meninggalkan Bidar Alam pada 22 April 1949. Setelah meninggalkan Bidar Alam, rombongan PDRI bergerak menuju tempat pengungsian baru di Sumpur Kudus.

 

Dunia Internasional

Seperti disebut di atas, PDRI tidak hanya membangun hubungan dengan yang ada di wilayah nasional saja. Tetapi juga, relasi hubungan internasional dibangun guna mempengaruhi politik global saat itu.

Kembali kepada tesis Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam mempertahankan Kedaulatan RI 1945-1949, upaya mencari dukungan internasional tetap dilakukan. Selagi Sjafruddin sedang bersembunyi dari sergapan Belanda, Ia menitipkan amanat kepada AA Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI, untuk mencari dukungan internasional guna memperkuat kedaulatan republic.

Saat itu, tahun 1949, terdapat kegiatan Asia Relation Conference di New Delhi, India. Tesis tersebut menyebut konferensi ini berlangsung pada 20-23 Januari 1949. Ada 20 negara Asia yang mengikuti kegiatan ini, sebut tesis itu, seperti Afghanistan, Arab Saudi, Etiopia, Irak, iran, Mesir, Libanon, Yaman, dan Pakistan. Kemudian, ada lagi Sri Lanka, Burma, RRC, Nepal, Selandia Baru, dan Thailand.

Melalui telegraf, AA Maramis menyampaikan pesan dari Sjafruddin di konferensi tersebut. Isi pesan tersebut berupa ajakan terhadap negara-negara lain untuk menghentikan agresi militer Belanda di Indonesia dan mengutamakan perdamaian di negara-negara Asia secara umum. Sjafruddin berharap, Asia Conference bisa seperti UNO dan Dewan Keamanan PBB agar bisa saling bekerja sama satu sama lain, seperti yang tertera pada Atlantic Charter.

“… The Indonesian Government and people are quite willing to accept a just solution in the Indonesian Dutch conflict following the lines as laid down in the five principles as stated bay Rep Government for a cease fire order and further discussions with the Dutch,” tulis Sjafruddin yang dibacakan oleh AA Maramis.

Melalui pesan dari Sjafruddin, pembahasan konferensi tersebut menghasilkan resolusi yang menguntungkan Indonesia. Resolusi tersebut kemudian diusulkan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB). Ada pun keputusannya berupa pembebasan para pemimpin RI dan pengembalian wilayah Yogyakarta ke dalam kekuasaan RI.

Kemudian, berupa pengembalian semua wilayah di Jawa, Sumatra, dan Madura di bawah kekuasaan Belanda paling lambat 15 Maret 1949 dan pengembalian seluruh kekuasaan pemerintahan atas seluruh wilayah Indonesia kepada RI paling lambat 1 Januari 1950.

Atas dasar resolusi dari konferensi tersebut, DK PBB mengubah sikapnya dan merespons resolusi dari konferensi tersebut. Disebutkan oleh tesis tersebut, pada tanggal 28 Januari 1949, DK PBB mengeluarkan resolusi yang tidak jauh berbeda dari resolusi New Delhi.

Tesis tersebut menjelaskan, resolusi DK PBB berisikan mendesak Belanda untuk menghentikan operasi militer dan membebaskan presiden, wakil presiden, serta pemimpin lainnya. Kemudian, resolusi memerintahkan Komisi Tiga Negara memberikan laporan lengkap mengenai situasi Indonesia sejak 19 Desember 1948. Pihak Amerika Serikat yang turut memprakarsai resolusi DK PBB juga mengancam Belanda akan menarik bantuan Marshall Plan jika masih terus meneruskan agresi militernya.

Hingga selanjutnya, terjadi perundingan antara Mohammad Roem dan Van Royen, atau lebih dikenal perjanjian Roem-Royen yang bertujuan untuk mengakhiri gencatan senjata. Perundingan bisa terjadi atas dasar resolusi New Delhi dan DK PBB, yang dipicu melalui pesan Sjafruddin.

Setelah perundingan Roem-Royen disepakati, Sjafruddin menemui Sukarno di Yogyakarta. Ia kemudian menyerahkan mandatnya kepada Sukarno pada 10 Juli 1949.

 

Islam dan Ilmu Barat

Sjafruddin tidak serta merta berpengaruh di PDRI tanpa latar belakang masa lalunya. Disebutkan dalam tulisan The Effort of Sjafruddin Prawiranegara Protected Sovereignty Unitary State of Indonesian Republik from Dutch-Aggresision Military II in Riau, on 1948-1949 milik Musri Indra Wijaya dkk., pria kelahiran Banten, 28 Februari 1911 ini, merupakan anak dari Raden Arsjad Prawiraatmadja dan Noer’aini. Ia keturunan ningrat Banten, mengingat bapaknya seorang asisten wedana di Anyar Kidul, Serang.

Tak dapat dimungkiri, masa kecil Sjafruddin dipengaruhi oleh bapaknya, Raden Arsjad, seorang yang fasih berbahasa Belanda dan juga taat beragama Islam. Ia juga sempat tergabung dalam Sarekat Islam cabang Serang. Pernah ketika di Jawa Timur, Ia berpidato dengan menyelingi pidatonya lewat ayat-ayat Qur’an. Seketika itu pula, rakyat Jawa Timur terpukau kepada Arsjad.

Memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, Raden Arsjad pun mendidik Sjafruddin dengan agama Islam. Tulisan itu menyebut sejak  umur empat atau lima tahun, Sjafruddin sudah dikhitan, diajari baca Alquran dan berpuasa.

Meski begitu, sang ayah juga melengkapi pendidikan Sjafruddin dengan pendidikan sekuler. Ayahnya memasukkan Sjafruddin ke Europischee Lageree School (ELS). Setelah itu, Sjafruddin melanjutkan ke Meer Uitgebreit Lageer Onderwijs (MULO). Ia kemudian melanjutkan studi ke Algemeene Middlebare School (AMS) hingga tamat tahun 1931. Setelah tamat, Sjafruddin masuk ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum yang didirikan di Jakarta.

Sejak kecil hingga belajar di RHS, ia memang senang membaca berbagai macam bacaan, seperti sastra, sejarah, filsafat, agama, dan bahkan surat kabar.

Tidak hanya itu, ia juga aktif dalam berorganisasi. Ketika menjadi mahasiswa di RHS, Sjafruddin menjadi anggota Unitas Studiosorum Indonesienesis (USI). Perlu diketahui, USI merupakan organisasi forum mahasiswa sekolah tinggi. Dari situlah, Sjafruddin mempelajari dunia pergerakan. Hingga akhirnya, dia lulus dengan gelar Meester in de Rechten (Mr.) pada September 1939.

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, Sjafruddin menjadi anggota BP KNIP dari Partai Masjumi. Kemudian pada masa kabinet Syahrir III, Ia menjadi Menteri Keuangan.

Pada masa inilah Sjafruddin menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI) pertama kalinya pada 29-30 Oktober 1946. Hal ini merupakan gebrakan sejarah yang dia berikan untuk bangsanya. Indonesia akhirnya memiliki mata uang sendiri. Namun, tak lama dari itu kabinet pun berganti dan dia pun lepas dari menteri.

Kendati demikian, takdir Tuhan menisbahkan Sjafruddin menjadi menteri kembali. Pada 29 Januari 1948, tepatnya masa kabinet Hatta, Sjafruddin menjadi Menteri Keuangan. Pasca agresi militer Belanda II terjadi itulah, Sjafruddin melaksanakan amanatnya sebagai Ketua PDRI.

Ia pun menghembuskan napas terakhirnya di Jakarta, 15 Februari 1989. Sebelum meninggal pada umur 77 tahun, ia menyatakan pesan terakhirnya.

“Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah,” tandasnya. [Agil, dari berbagai sumber]

Advertisement
Advertisement