Tempuh Program Pasca Sarjana, Sandria, PMI Asal Salatiga Kandidat M.Ap
4 min readPekerja migran Indonesia (PMI) sering dipandang dekat dengan permasalahan. Bisa terseret kasus hukum, ketahuan ilegal, atau menjadi korban kekerasan majikan. Tidak demikian dengan Sandria. Ibu dari dua orang putri asal Salatiga ini tak mau hanya menjadi asisten rumah tangga. Lebih-lebih bermasalah.
Ia sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas Terbuka (UT) Pokjar Singapura. Gelar master administrasi publik segera digenggam setelah tesis yang kini dalam proses pengerjaan dirampungkan.
Pendidikan memang menjadi fokus utama Sandria. Menjadi PMI pun berangkat dari niat keras memberikan pendidikan tertinggi bagi anak-anaknya. Namun, mengembangkan diri sendiri tetap ia anggap perlu. Diwawancara oleh reporter Medcom, di Botanic Garden, Singapura, Selasa, 17 April 2018, selain demi anak, Sandria mengaku kuatnya keinginan belajar muncul karena utang janji kepada orang tua.
Dengan Ijazah S1, Kehidupan Mantan PMI Kelahiran Magetan Jadi Begini Sekarang
Bapak dan Ibu Sandria sangat ingin sang anak melanjutkan sekolah selepas SMA. Harapan itu pupus karena satu dan lain hal.
“Akhirnya punya keinginan, wah suatu saat kalau aku sudah punya duit aku pengin banget kuliah,” ucap Sandria.
Sandria yang mulai menjadi PMI di Singapura 12 tahun lalu perlu waktu 4 tahun sampai memberanikan diri mencari kampus. Pencarian dimulai pada 2010. Hasilnya nihil. Ia kesulitan mencari informasi.
Tapi perjuangan tak mengelabui hasil. Pada 2011, Sandria berhasil masuk UT Pokjar Singapura. Ia mengambil jurusan Sastra Inggris dengan bidang minat penerjemahan.
“Saya memulai kuliah berarti usia 40 tahun,” ungkap Sandria.
Pendidikan S1 ia selesaikan dalam 3,5 tahun. Pekerjaan sebagai PMI tetap dilakoni.
Sembari bekerja di rumah majikan, Sandria juga aktif di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kerja (P3K) milik KBRI Singapura. Ia bertugas sebagai admin.
Rasa kangen belajar muncul ketika ia mengurusi mahasiswa UT ujian. “Saya pengin banget ikut ujian, kangen banget ikut ujian. Akhirnya, kenapa enggak terusin S2 saja,” ucap Sandria.
Sandria awalnya berminat melanjutkan ke Jurusan Hubungan Internasional. Sayangnya, Jurusan itu tak tersedia di UT. Ia yang menempuh S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik juga tak mungkin melanjutkan ke Jurusan Manajemen Akuntansi.
Di Hong Kong Kuliah, Sampai Indonesia Begini Nasib Ijazahnya
“Otomatis yang ada hanya Manajemen Administrasi Publik,” kata Sandria.
Meski tak sesuai harapan awal, ia tetap serius menjalani pendidikan. Keseriusan ditunjukkan dengan displin membagi waktu.
Sandria mulai belajar pukul 20.00 waktu Singapura. Ia bakal memiliki banyak waktu belajar bila majikannya berlibur panjang bersama keluarga.
Beruntung, majikan Sandria sudah memahami. Sandria juga diizinkan terbang ke Batam untuk menjalani ujian per 6 bulan, selama 3 hari. Perjanjian soal ini sudah dibahas sejak awal pembuatan kontrak kerja. Sistem pendidikan Sandria berbasis online. Kehadiran secara fisik hanya diperlukan ketika ujian.
Sandria mengaku didukung penuh majikan. Terlebih, majikannya termasuk orang berpendidikan.
“Itu lebih mendukung kalau domestic worker-nya (asisten rumah tangga) maju,” kata dia.
Luar Biasa, Dulu Domestic Helper, Sekarang Bergelar Doktor Bidang Ilmu Hukum
Berbagi Ilmu
Sandria mengungkapkan tak hanya dia PM yang berkinginan mengubah hidup. Empat rekannya yang lain juga sedang menempuh pendidikan S2. Ratusan PMI juga ternyata sedang melanjutkan sekolah di UT Pokjar Singapore. “(Mahasiswa) S1-nya sekitar 300 orang,” ucap Sandria.
Sandria juga kerap membimbing junior-juniornya. Perempuan 47 tahun itu tak jarang diminta memeriksa karya ilmiah (karil) PMI yang sedang menempuh pendidikan S1.
“(Saya kasih tahu) oh, kamu salahnya di sini,” ujar dia.
Sandria bahkan tak libur. Sebelum memutuskan istirahat dari aktivitas sukarela itu, setiap hari Minggu ia akan ‘nyambi’ demi PMI lainnya.
“Jadi setiap Minggu aku enggak libur. Berbagi ilmu, membantu teman-teman. Tapi tahun ini sudah enggak, mau fokus tesis dulu,” pungkas Sandria.
Bagaimana Dengan Pendidikan Anak-Anak Sandria ?
Ia belum berniat kembali menetap di Salatiga sebelum putri bungsunya menyelesaikan pendidikan tinggi.
“Untuk targetku, kalau anakku yang kecil lulus S1 ya baru pulang,” ucap Sandria di Botanic Garden, Singapura, Selasa, 17 April 2018.
Putri bungsu Sandria kini duduk di kelas 1 SMA. Ia merupakan siswi berprestasi.
“Hari ini (Selasa) ikut olimpiade matematika tingkat provinsi,” ucap Sandria sambil tersenyum bangga.
Faizal : Dari Berdakwah Ke Sesama PMI, Hingga Kini Menjadi Pembina Ratusan Santri
Single mother ini terbilang sukses mendidik anak-anaknya. Putri sulungnya kini sudah menjadi aparatur sipil negara (ASN). Kini putrinya bertugas sebagai guru di pelosok Salatiga.
Dua anak yang terpaksa ia titipkan kepada ayah dan ibunya itu menjadi pemantik semangat Sandria. Perjuangan 12 tahun sudah menunjukkan hasil, meski Sandria tak mau buru-buru berpuas diri.
Sandria sempat mengisahkan beratnya beban ketika harus terbang ke negeri orang. Kondisi keuangan dan keinginan menyukseskan anak menjadi obat kesedihan Sandria.
“Waktu itu saya pengin nyekolahin anak pertama. Waktu itu kan kelas 2 SMP, terus saya belum punya tabungan untuk memasukkan anak ke SMA. Akhirnya ngitung-ngitung, saya mesti jadi TKW ini,” beber Sandria.
Ia diburu waktu. Sandria hanya punya waktu 1,5 tahun untuk mengumpulkan biaya masuk SMA putri sulungnya. Pergulatan batin dimulai.
Tekad bulat ternyata belum cukup. Ia harus menghadapi respons anak bungsu yang sempat mogok bicara. Memberi pemahaman pada anak sulung, terang Sandria, jauh lebih mudah.
“Saya bilang, mama mau kerja, adek mau sekolah kan? Jadi adek ikut Bapak ya. Manggilnya orang tua saya itu Bapak. Kalau adek mau sekolah ya harus ikut Bapak ikut Ibu (nenek). Sampai berapa hari baru dia bilang iya,” terang Sandria.
Sandria terbang ke Singapura. Rasa berat meninggalkan keluarga bisa diatasi dalam enam bulan pertama.
Kini, ia bisa berdamai dengan keadaan. Sandria tak terlalu menyoal meski hanya bisa bertemu keluarga setahun sekali.
“Kadang Lebaran, kadang tergantung majikan ngasihnya kapan. Sekali libur cuma dua minggu, kadang seminggu. Kalau majikan liburan, itu bisa lama (pulang kampung),” ucap dia. [Githa Farahdina]