April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Tidak Adil, Negara Tujuan Pekerja Migran Indonesia Harus Dialihkan

3 min read

JAKARTA – Aktivis Migran Care, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus menangani masalah buruh migran, Siti Badriah menilai hukum pemerintah Arab Saudi kepada pekerja migran memang tidak adil. Dalam beberapa kasus yang dia tangani, seringkali pekerja migran yang melakukan pembunuhan langsung mendapat ancaman hukuman mati.

“Kenapa saat pekerja migran Indonesia (PMI) melakukan pembunuhan itu selalu ancamannya hukuman mati, ketika PMI melakukan pembunuhan dia dieksekusi, tetapi kalau majikan melakukan pembunuhan dia bisa membayar dengan uang. Ini tidak fair,” kata Siti dalam diskusi di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis, 1 November 2018 pagi.

Belum lagi, seringkali ditemukan dugaan pengelabuan yang dilakukan majikan di luar negeri terhadap PMI yang pulang dalam kondisi meninggal. Seringkali mereka disebut meninggal karena sakit tetapi tak ada visum yang diberikan untuk membuktikan klaim tersebut. Kejadian eksekusi tanpa notifikasi pun disebut Siti bukan kali yang pertama.

“Dari tahun 2008 Arab Saudi enggak pernah memberikan notifikasi kepada pemerintah Indonesia. Ada Riyanti, Siti Zainab kemudian Zaini , Tuti Tursilawati, semuanya tidak ada notifikasi kepada pemerintah Indonesia,” ucap dia.

Meski demikian, Siti tetap menilai kalau kebiasaan Saudi ini menyalahi sebuah etika hubungan internasional. Apalagi banyak dari PMI yang ada di Saudi beragama Islam, sebagaimana agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Saudi.

“Banyak PMI ke sana itu karena alasan satu agama. Di Islam sendiri  sesama Islam itu adalah saudara tetapi perlakuan orang-orang Arab Saudi kepada PMI  banyak yang menganiaya begitu,” ucap dia.

Siti pun meminta pemerintah Indonesia mau membenahi tatakelola migrasi untuk mencegah kejadian serupa terjadi lagi. Dibanding ke Arab Saudi, Siti menilai PMI lebih baik diarahkan ke negara Asia Pasifik yang lebih ramah kepada PMI.

“Melihat etika Arab Saudi yang seperti itu,  banyak sekali kasus yang kami tangani , penyiksaan, pemerkosaan begitu dan pekerja migran Indonesia itu dianggap sebagai seperti budak, mereka bilang sudah di beli. Nah ini sangat disesalkan oleh kami,” ucap dia.

 

Pelanggaran etika diplomasi

Sementara itu menanggapi keinginan Siti, politisi PDIP Charles Honoris yang jadi pembicara di diskusi tersebut menyatakan kalau apa yang dilakukan Saudi memang merupakan bentuk pelanggaran pada etika diplomasi dan hukum kebiasaan internasional. Ada konvensi WINA tahun 1963 keterkaitan kekonsuleran yang memang belum diratifikasi oleh Arab saudi  tetapi memang sudah menjadi kebiasaan internasional.

“Kebiasaan masyarakat internasional,  pemerintahan-pemerintahan apabila akan mengeksekusi warga negara, suatu negara, maka sudah menjadi kebiasaan internasional untuk memberikan notifikasi kepada negara yang bersangkutan,” ucap Charles.

Dia pun menilai perlunya mendesak pemerintah, agar segera mempertimbangkan dan mengkaji kembali MOU yang baru saja ditandatangani terkait pengiriman Buruh migran Indonesia kembali ke Arab Saudi secara terbatas.

“Saya mendorong, agar moratorium terhadap 21 negara yang pernah diterapkan oleh  Presiden Jokowi di tahun 2015 yang lalu, agar diterapkan kembali, agar terus dilakukan sehingga tidak ada lagi pengiriman Tenaga Kerja Indonesia, Buruh migran Indonesia ke negara-negara yang perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia-nya masih lemah, termasuk ya kita ketahui Arab Saudi dan 21 negara yang masuk dalam program moratorium presiden pemerintahan Pak Jokowi,” ucap dia.

Selain itu, perlu regulasi yang kuat dalam hal perlindungan tenaga kerja, perlindungan buruh migran, termasuk perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, terlepas dari apapun suku bangsanya. Sehingga, kalau suatu negara tidak memiliki regulasi yang kuat dalam hal perlindungan HAM terhadap pekerja rumah tangga, maka pemerintah tidak boleh mengirimkan buruh migran ke negara tujuan tersebut.

“Karena kalau kita lihat beberapa tahun ini kasus kasus pidana yang didakwakan,  mereka ini buruh migran yang divonis mati, rata-rata kasus pembunuhan bahkan hampir semua  kasusnya pembunuhan. Dan bukan saja pemerintah tetapi kita semua, baik pemerintah legislatif maupun masyarakat pada umumnya untuk berpikir kembali, terkait penerapan hukuman mati di Indonesia. Kita tidak akan bisa memiliki kapasitas moral ketika kita berbicara di luar negeri untuk menghentikan hukuman mati terhadap warga negara Indonesia,” ucap dia.[Irfan/PR]

Advertisement
Advertisement