April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Apakah Perbaikan Kualitas Pendidikan Sudah Sampai Ke Ruang Kelas Anak-Anak Kita ?

4 min read

Memperbaiki pendidikan—proses dan hasil—bisa menggunakan cara dengan istilah apa saja: reformasi, reorientasi, evolusi, dan sebagainya. Sir Ken Robinson, bahkan lebih tegas ketika melihat kondisi yang ada saat ini. Dia menyebut, hanya kata “revolusi” yang pantas untuk perbaikan pendidikan.

Milyaran hingga trilyunan rupiah, telah dihabiskan untuk melakukan perbaikan di bidang pendidikan. Kurikulum baru, sistem baru, metode baru, buku baru, dan seterusnya. Padahal, hampir semua pembahasan itu baru menyentuh satu bagian saja, yakni sekolah. Sementara, pendidikan itu sendiri lebih luas dari sekadar sekolah.

Untuk melakukannya, mari kita mulai dengan hal-hal kecil. Kita persempit lagi dengan persoalan yang lebih kecil. Semua masalah besar, merupakan suatu massa padat dari jalinan masalah-masalah kecil. Mengatasi masalah-masalah kecil, sesungguhnya telah merencanakan kemajuan atas penyelesaian masalah-masalah besar.

Sir Isaac Newton menulis,“Menjelaskan seluruh alam semesta adalah tugas yang terlalu sulit untuk manusia manapun atau bahkan zaman kapan pun. Jauh lebih baik melakukan sedikit hal dengan pasti, dan membiarkan sisanya untuk orang lain yang datang setelahnya, daripada menjelaskan segalanya dengan dugaan tanpa memastikan apa pun”.

Tentu, ada pihak-pihak tertentu yang bertugas menyelesaikan hal-hal yang besar. Juga, ada individu brilian yang memungkinkan dirinya berpikir besar dan merealisasikannya. Namun, memulai dari hal-hal kecil tetap menjadi fondasi penting dalam perubahan.

Tiga ekonom—Paul Glewwe, Albert Park, dan Meng Zhao—menemukan masalah ini di China. Mereka memutuskan untuk melakukan penelitian partisipatif di Gansu, sebuah provinsi miskin dan terpencil. Dari kira-kira 2.500 siswa kelas 4, 5, dan 6 yang membutuhkan kacamata, hanya 59 siswa yang memakainya.

Kemudian, para ekonom itu melakukan sebuah eksperimen. Mereka menawarkan kacamata gratis kepada setengah siswa dan setengah yang lain seperti sedia kala. Bagaimana jadinya siswa berkacamata baru tersebut?

Setelah memakai kacamata selama setahun, nilai ujian mereka menunjukkan mereka telah belajar 25% sampai 50% lebih baik dari rekan-rekan mereka yang tidak diperbaiki. Berkat sepasang kacamata.

Penelitian di atas menunjukkan jika kita terlalu fokus pada hal-hal besar, bisa jadi hal-hal kecil yang mendasar menjadi terlupakan.

Sebagai guru, kita bisa mulai hal kecil ini. Yaitu, dari “kelas”.

Ya, kelas tempat kita mengajar. Ukuran kelas boleh berbeda-beda, ada yang satu kelas 10 siswa meskipun juga ada yang satu kelas berisi 40 siswa. Jika forum pengajian, baik di musholla ataupun di lapangan besar, bisa disebut “kelas”, maka kita mulai juga dari sana.

Mulailah dengan menunjukkan kesantunan dalam berbicara, berperilaku, dan berbagi. Tunjukkan semua kebaikan melalui cerminan diri di kelas. Ajarkan karakter-karakter baik sejak mereka masuk kelas. Tanamkan kepedulian sejak dari tempat duduk mereka di kelas. Teguhkan kejujuran mulai dari kata pertama yang terucap di kelas kita. Tularkan rasa ingin tahu yang besar sejak mereka mengangkat tangan untuk bertanya.

Mungkin, inilah perubahan termurah yang akan memengaruhi jutaan murid. Yaitu, memulai dari kelas. Ya, ketika semua guru percaya bahwa perubahan pendidikan di sekolah semua bermula dari “kelas”.

Target sebuah lembaga pendidikan ada dua. Target yang bisa diukur dan target yang tak bisa diukur.

Sayangnya, sebagian besar tenaga kita terserap hanya pada aspek yang bisa diukur. Target yang seolah tidak bisa diukur, sering terabaikan. Padahal, aspek yang sulit diukur justru merupakan hal yang jauh lebih penting dan dibutuhkan.

Sebuah penelitian pernah mencatat keinginan ribuan wali murid. Dari beberapa pilihan berikut: nilai akademis bagus, kemandirian, dan akhlak yang baik, hasilnya hampir tidak satupun yang meletakkan nilai akademis tinggi sebagai pilihan pertama.

Inilah bukti bahwa lembaga pendidikan yang mampu mengelola aspek-aspek tak terukur menjadi terukur justru merupakan lembaga pendidikan yang hebat dan banyak dicari.

Target yang bisa diukur sangat mudah kita lihat dalam target-target akademis. Atribut pendukungnya juga sering kita jumpai. Ada setumpuk administrasi, hadirnya KKM, remedial, dan pengayaan. Prosesnya juga jelas, ada ulangan, ujian tengah semester, ujian akhir semester, dan ujian akhir sekolah.

Sekarang, mari kita lihat aspek-aspek pendidikan yang “sulit” diukur. Pembelajaran yang menyenangkan, rasa ingin tahu saat belajar, kesabaran dan kegigihan, akhlak yang baik, kemandirian, tanggung jawab, kepercayaan diri dalam mengungkapkan pendapat, dan sederetan karakter yang lain.

Sebenarnya bukan tak bisa diukur. Kesulitan mengukur aspek-aspek tersebut bisa datang karena ketidak tahuan, bisa juga karena tidak terbiasa, atau bahkan keengganan melakukan usaha pengukuran.

Dalam psikologi, selalu ada instrumen pembuktian sebagai pembangun dan penguat teori. Hal-hal yang lebih rumit sekalipun, dalam psikologi, bisa diukur dalam kadar tertentu. Angela Duckworth, misalnya, telah berhasil menciptakan cara untuk mengukur ketabahan dan kegigihan seseorang. Martin Seligman berhasil membuat serangkaian proses untuk mengetahui tingkat kebahagiaan seseorang. Masih banyak tema-tema lain dari para psikolog ternama.

Untuk lembaga pendidikan tingkat dasar hingga menengah tidak perlu serumit itu. Namun, harus tetap ada upaya untuk membuat aspek-aspek tak terukur menjadi bisa dipahami prosesnya, dipraktikkan, dievaluasi, dan dilaporkan secara baik.

Contoh, kepedulian dan rasa hormat. Ciptakan kegiatan rutin beserta alat evaluasinya tentang kepedulian. Misalnya di kelas, jangan pernah membiarkan seseorang yang memotong omonngan orang lain atau memotong antrean. Contoh lagi, buatlah jadwal rutin kelas untuk membersihkan dan merapikan lingkungan sekolah, mengajak anak secara bersama-sama untuk saling mengingatkan tentang kasih sayang kepada adik kelas dan rasa hormat kepada kakak kelas, dan seterusnya.

Banyak sekolah atau lembaga pendidikan yang sudah memiliki kegiatan-kegiatan yang baik. Namun sayangnya hanya beberapa saja yang mampu secara rutin mengevaluasi dan membahas ketercapaian karakter tertentu sampai kepada upaya membahas cara yang lebih baik.

Membuat kegiatan baru itu mudah. Tapi, membuat kegiatan pembelajaran yang selalu beraroma pendidikan karakter itu membutuhkan kemauan besar dari pribadi dan semua pihak di lingkungan sekolah.

Cara mendeteksinya cukup mudah. Kita mulai dari kelas. Bahkan, seringnya muncul dari cara kita mengajar di kelas, cara kita memberikan respon atas problem tertentu, dan cara kita menyelesaikannya.

 

Kuncinya:

  • Tentukan target karakternya
  • Rencanakan bentuk-bentuk kegiatanya (di kelas dan di luar kelas)
  • Rencanakan kontinuitas di tahap atau jenjang berikutnya
  • Rencanakan tujuan akhir atau output
  • Tentukan metode pengawasan atau kontrol
  • Lakukan evaluasi berkala
  • Buka peluang untuk pengembangannya. [Ali]
Advertisement
Advertisement