Bagaimana Memperlakukan Istri yang Tidak Taat pada Suami ?
JAKARTA – Kehidupan pasangan suami istri memang kehidupan yang kompleks. Bagaimana tidak, dalam menjalaninya mereka tidak selamanya dalam kondisi baik, tapi kadang juga ada masalah yang menghampirinya.
Seringkali ketika sedang dilanda masalah, rasa penat dan marah pun tak terkendali. Jika sudah seperti itu, tangan suami kadang lepas kendali dan akhirnya memukul sang Istri.
Pada dasarnya suami adalah pelindung keluarga. Lantas, bolehkah jika suami memukul sang Istri? Berikut penjelasan Ulama ahli fiqih, Ustadz M. Shiddiq Al Jawi seperti yang dilansir dari fissilmi-kaffah.com.
Menurut Ustadz M. Shiddiq Al Jawi, tak ada perbedaan pendapat di kalangan seluruh fuqaha, bahwa boleh (ja`iz) hukumnya suami memukul isterinya jika terdapat padanya tanda-tanda nusyuz (ketidaktaatan) kepada suami.
Dimana, ia mencontohkan, jika istri keluar rumah tanpa izin suami, tak mau melayani suami padahal tak punya udzur (misal haid atau sakit), atau tak amanah menjaga harta suami, dan sebagainya.
Hal ini berdasarkan pendapat Abdurrahman Al Jaziri dalam kaitannya berjudul Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, 4/487; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/59; Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/15; Imam Al Kasani, Bada`i’us Shana`i’, 3/613; Imam Nawawi, Al Majmu’, 16/445; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 35/15; Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 5/261.
Sedangkan dalil kebolehannya firman Allah SWT (artinya), “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS An Nisaa` [4] : 34.)
Ayat ini menunjukkan suami berhak mendidik isterinya yang menampakkan gejala nusyuz dalam tiga tahapan secara tertib. Pertama, menasehati isteri dengan lembut, agar kembali taat kepada suami, sebab mentaati suami adalah wajib atas isteri (lihat QS Al Baqarah [2] : 228).
Kedua, memisahkan diri dari isteri di tempat tidurnya, yakni tak menggauli dan tak tidur bersama isteri, namun tak boleh mendiamkan isteri. Langkah kedua ini ditempuh jika tahap pertama tak berhasil.
Ketiga, memukul isteri. Langkah ini dilakukan jika tahap kedua tak berhasil. (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/51; M. Ahmad Abdul Ghani, Al ‘Adalah fi An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 67).
Namun, tambah Ustadz M. Shiddiq, meski Islam membolehkan suami memukul isterinya, Islam menetapkan pukulan itu bukan pukulan yang keras, melainkan pukulan yang ringan.
Imam Taqiyuddin Nabhani menjelaskan ayat tersebut dengan berkata, ”Pukulan di sini wajib berupa pukulan ringan (dharban khafifan), yaitu pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).
Ini sebagaimana penafsiran Rasulullah SAW terhadap ayat tersebut ketika pada Haji Wada’ beliau berkhutbah, ’Jika mereka (isteri-isteri) melakukan perbuatan itu (nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).” (HR Muslim, dari Jabir bin Abdullah RA). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm.153).
Para ulama banyak menguraikan bagaimana ukuran pukulan ringan tersebut. Pukulan itu tak boleh menimbulkan luka, tak boleh sampai mematahkan tulang atau sampai merusak/mengubah daging tubuh (misal sampai memar/tersayat). (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 5/261).
Pukulan itu bukan pukulan yang menyakitkan, juga harus dilakukan pada anggota tubuh yang aman, misal bahu, bukan pada anggota tubuh yang rawan atau membahayakan, misalnya perut.
Jika menggunakan alat pun tak boleh alat yang besar seperti cambuk/tongkat, tapi cukup dengan siwak (semacam sikat gigi) atau yang semisalnya. (Imam Nawawi Al Bantani Al Jawi, Syarah Uqudul Lujain, hlm. 5; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/55-56, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/329).
Islam juga menjelaskan haram hukumnya suami memukul/menampar wajah isterinya, sesuai hadis Mu’awiyah Al Qusyairi RA,”Bahwa Nabi SAW pernah ditanya seorang laki-laki, ‘Apa hak seorang isteri atas suaminya?’ Nabi SAW menjawab, ’Kamu beri dia makan jika kamu makan, kamu beri dia pakaian jika kamu berpakaian, jangan kamu pukul wajahnya, jangan kamu jelek-jelekkan dia, jangan kamu menjauhkan diri darinya kecuali masih di dalam rumah.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/310).
Bahkan meski memukul isteri itu boleh, namun yang lebih utama adalah memaafkan, yaitu tak memukul isteri. Imam Syafi’i meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, ”Orang-orang terbaik di antara kamu, tak akan pernah memukul isterinya.” (Imam Syafi’i, Al Umm, 5/1871). Wallahu a’lam. []