Bayang-Bayang Hukuman Mati Bagi PMI
“Khashoggi dimutilasi, Tuty dieksekusi. Arab Saudi tak manusiawi”. Demikian cuplikan poster dari pengunjuk rasa di kantor Kedutaan Arab Saudi, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta pada 2 November 2018 lalu. Para aktivis menyegel kantor kedutaan Arab Saudi sebagai bentuk kecaman dan solidaritas untuk Tuty Tursilawati.
Jamal Khashoggi adalah jurnalis Arab Saudi yang dibunuh di kantor Kantor Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki. Adapun Tuty Tursilawati merupakan perempuan asal Majalengka, Jawa Barat yang dieksekusi oleh Pemerintah Arab Saudi pada Senin (29/10/2018) waktu setempat.
Pekerja migran, seperti Tuty, selalu dalam bayang-bayang hukuman mati. Tuty merupakan pekerja migran asal Desa Cikeusik, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, Jawa Tengah. Dia berangkat ke Arab Saudi pada 2009 lewat perusahaan PT Arunda Bayu.
Tuty bekerja sebagai penjaga lansia di Kota Thaif, sekitar 87 kilometer sebelah timur Kota Mekah. Ia ditangkap oleh kepolisian Arab Saudi pada 12 Mei 2010 karena dituduh membunuh majikannya, Suud Mulhaq AI-Utaibi.
Tuty melakukan pembunuhan dengan memukulkan sebatang kayu kepada Suud. Pemukulan dilakukan oleh Tuty karena tindak pelecehan seksual dan kekerasan oleh majikannya.
Tuty kabur ke Kota Mekkah dengan membawa perhiasan dan uang 31,500 Riyal Saudi milik majikannya. Dalam perjalanan ke Kota Mekkah, Tuty diperkosa oleh 9 orang Arab Saudi yang berpura-pura menawarkan tumpangan. Kesembilan orang tersebut ditangkap dan telah dihukum sesuai dengan ketentuan hukum Arab Saudi.
Pada 2011, hakim memvonis Tuti hukuman mati. Berbagai upaya diplomasi tak menghapus hukuman mati Tuty sampai akhirnya eksekusi terjadi pada 29 Oktober 2018.
Eksekusi mati Tuty Tursilawati menambah catatan daftar buruh migran yang sudah dieksekusi pemerintah Arab Saudi, yaitu Yanti Irianti (11 Januari 2008), Ruyati (18 Juni 2011), Siti Zaenab (14 April 2015), Karni (16 April 2015), dan Muhammad Zaini Misrin Arsad (18 Maret 2018).
Semua pekerja migran yang dieksekusi itu tanpa notifikasi kepada pemerintah Indonesia. Setelah Tuty, ada buruh migran yang menunggu eksekusi mati di Arab Saudi, yakni Eti binti Toyib dalam kasus pembunuhan.
Kasus pembunuhan menjadi alasan terbesar hukuman mati terhadap pekerja Indonesia di luar negeri. Berdasarkan data Migrant CARE, dari 79 orang yang menghadapi hukuman mati 43 persen karena kasus pembunuhan.
Kasus lainya adalah sihir dan narkoba masing-masing 8,9 persen, perzinaan (2,5%), dan kepemilikan senjata api (2%). Sebagian besar hukuman mati dihadapi pekerja migran Indonesia di Arab Saudi. Mereka yang menghadapi hukuman mati kebanyakan adalah perempuan.
Indonesia telah menetapkan moratorium pengiriman pekerja migran untuk pengguna perorangan ke sejumlah negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, sejak 2015. Moratorium itu, seperti ditegaskan Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri, tetap berlaku sampai 2018 ini.
Ketika moratorium berlaku, aliran migrasi tenaga kerja ke Timur Tengah ternyata tidak berhenti. Banyak pekerja rumah tangga migran yang berangkat ke negara-negara Timur Tengah untuk bekerja.
Migrant CARE merilis survei bahwa setidaknya ditemukan 3.000 lebih perempuan-perempuan Indonesia tetap nekat untuk bekerja di Timur Tengah selama Maret 2015-Mei 2016. Negara tujuannya antara lain Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Qatar, dan Kuwait.
Para calon asisten rumah tangga berangkat dengan berbagai modus, seperti melalui jaringan perekrut tenaga kerja serta mekanisme umrah dan haji. Jumlah tenaga kerja masih bisa berlipat karena ada kemungkinan berangkat dari bandara lain seperti Medan, Surabaya, Yogyakarta, Batam, Lombok, dan lainnya.
“Moratorium bukan satu-satunya jalan keluar penyelesaian buruh migran ini,” kata Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, dalam pernyataan sikap Migrant CARE untuk Hari Buruh Migran Sedunia 2017.
Tingginya permintaan agar buruh migran bisa bekerja lagi, kata Wahyu, harus dijawab dengan keberanian pemerintah Indonesia. Keberanian dengan cara mendesak dan menuntut agar negara tujuan buruh migran di Timur Tengah bersedia membuat bilateral agreement mengenai perlindungan, terutama pekerja rumah tangga migran.
Moratorium tidak akan menjawab permasalahan pekerja migran Indonesia selama pemerintah tidak benar-benar meletakkan tujuan perlindungan yang berpihak pada pekerja sektor domestik. Selama kebijakan perlindungan pekerja migran masih lebih berat pada tujuan keuntungan dan bisnis, maka selamanya nasib PRT migran akan terus terpuruk.
Ketimbang kebijakan moratorium, alangkah baiknya pemerintah Indonesia mulai membuat peta jalan untuk membangun mekanisme bermigrasi yang aman bagi siapa saja. Jadi, bekerja di luar negeri merupakan hak setiap orang, bukan lagi menjadi masalah yang selalu menghantui negara ini.
Hidup di negeri orang dengan status sosial yang selalu dianggap rendah dipastikan akan menghadapi beragam soal. Kasus penganiayaan, pelecehan seksual sampai gaji yang tak dibayar selalu menjadi kabar buruh migran Indonesia.
Dari rentetan kasus yang dihadapi buruh migran, kasus Adelina Lisao termasuk yang paling menohok. Perempuan berusia 21 tahun itu berasal dari Nusa Tenggara Timur, meninggal dalam kondisi mengenaskan pada awal 2018 lalu. Dia menderita kurang gizi, dan ditemukan dengan bukti telah mengalami penyiksaan pada tubuhnya.
Kekerasan terhadap Adelina baru jadi perhatian ketika semuanya sudah terjadi. Kekerasan oleh majikan relatif sedikit dilaporkan karena berbagai sebab, antara lain akses komunikasi terbatas atau dibatasi oleh majikannya.
Berdasarkan data BNP2TKI, ada 3.609 aduan yang masuk ke BNP2TKI selama Januari hingga September 2018, mayoritas berkaitan dengan repatriasi, yakni pemulangan PMI yang terkena konflik internal negara penempatan. Kekerasan oleh majikan hanya 18 laporan.
Laporan BNP2TKI menyebutkan masalah yang kerap ditemui di Arab Saudi adalah fitnah, tidak menerima gaji tanpa alasan yang jelas, dan tidak dipulangkan ketika habis kontrak. Tim peneliti menilai lemahnya perlindungan PMI dan mekanisme kelembagaan negara.
Indonesia memiliki Undang-Undang perlindungan pekerja migran nomor 18 tahun 20 tahun 2017. Undang-Undang itu jelas menyebutkan bahwa perlindungan pekerja migran Indonesia bertujuan menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia; dan menjamin perlindungan hukum, ekonomi, dan sosial pekerja migran Indonesia serta keluarganya.
Dalam beberapa kesempatan, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan, para PMI yang dikirim ke luar negeri, seharusnya dibekali kemampuan untuk melindungi diri. Para PMI sering tidak dibekali pengetahuan dasar, misalnya budaya atau kebiasaan yang dimiliki oleh masyarakat di negara tujuan. [YM]