December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Belajar dari Modal Nekat Domestic Helper

4 min read

TRENGGALEK – Pak Samingan juga memiliki 5 buah rumah ukuran kecil di tengah Kota Tulungagung yang dikontrakkan. Semula saya tidak percaya bahwa Pak Mingan-demikian biasa orang memanggil beliau-punya investasi dan cara-cara yang orang modern di kota terapkan. Dari mana modalnya?

Ternyata istri beliau, Ibu Kartinah, pernah bekerja di Timur Tengah sebagai Domestic Helper (Baca: Assistant Rumah Tangga) di Saudi Arabia dan Dubai selama 4 tahun. Hasilnya kini dalam bentuk tanah seluas kurang lebih 400 meter persegi. Di atasnya dibangun rumah-rumah kecil untuk disewakan. Sebuah tabungan yang sempat membuat kami, para professional bisa geleng-geleng kepala.

Bu Karti saya memanggilnya, hanya bermodal nekad untuk bisa bekerja di luar negeri pada tahun 2007-2011 waktu itu. Waktu di mana aturan pemberangkatan PRT ke luar negeri belum seketat sekarang. Penghasilan yang jumlahnya tidak seberapa menurut ukuran kaum professional akan tetapi hasil yang karokah ini ditabung, nyatanya kini sangat bermanfaat dan memiliki nilai investasi tinggi.

Menurut sumber data dari BP2MI (dulu BNP2TKI), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lombok adalah 4 provinsi sebagai pemasok terbesar ART ke sejumlah negara (Asia Pacific, Timur Tengah, dan Asia Tenggara).  Mereka ini masuk dalam kategori Unskilled Workers (Tenaga Tidak Terampil), tetapi menduduki porsi tertinggi dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Angkanya jauh melebihi tenaga professional. Urutan kedua diduduki oleh pekerja perawat (Caregivers, Nurses, assistant nurses). Dari dulu hingga sekarang presentasinya tidak berubah meskipun ada pembatasan karena terjadinya berbagai kasus di sejumlah negara. Urutan ketiga diduduki oleh tenaga teknisi.

Para domestic workers ini pada dasarnya tidak memiliki keterampilan yang spesifik. Ibaratnya, mereka hanya bisa melakukan kerja kasar, di dalam rumah, untuk kebutuhan atau kepentingan rumah tangga. Namun keberadaan mereka selalu dan sangat dibutuhkan.

Tetangga kami di Malang, ART nya asal Blitar, sudah sekitar 8 tahun kerja di sana. Penghasilannya di atas Rp 1.2 juta per bulan. Di luar negeri bisa Rp 4-6 juta. Angka ini terus bertambah setiap tahun. Pemilik rumah tidak mampu berbuat apa-apa kecuali negosiasinya berupa jawaban “Ya!”, karena saat ini tidak lagi mudah mencari tenaga ART.

Di kota-kota yang umum saat ini tidak jarang ART yang kerjanya Part Time, alias paruh waktu. Mereka menganggap kerja paruh waktu lebih efektif dan efisien dari pada Full Time.

Kerja paruh waktu bisa mengurangi kebosanan, rasa capek, serta memperoleh penghasilan lebih besar dari pada full time. Orang-orang Malaysia, Brunei, Taiwan, Hongkong, menawarkan gaji lebih tinggi karena susahnya mencari tenaga ART ini. Terlebih di negara-negara maju seperti Jepang, USA dan Jerman serta Inggris. Honor ART sangat tinggi.

Menjadi ART sangat mudah mencari kerja, karena demand yang tinggi. Trend ibu-ibu RT modern lebih menyukai menjadi wanita karir dari pada tinggal di rumah. Fenomena inilah yang membuat jumlah ART makin tahun makin berkurang, di samping meningkatnya pendidikan masyarakat kita, perubahan pola fikir serta adanya kekuatiran factor keamanan kerja full time di rumah orang.

Modal mereka menurut saya hanya ‘Nekad’. Mereka tidak memiliki keterampilan berbahasa asing kecuali sangat minim. Dengan bekal belajar bahasa 3-4 bulan, mereka bisa berangkat. Untuk menjadi domestic helper saat ini rata-rata gratis, tidak perlu bayar pada agency. Kemudahan seperti ini jarang diperoleh oleh kaum professional yang rata-rata butuh puluhan juta Rupiah agar bisa kerja di luar negeri.

Para domestic helper ini juga tidak memiliki keterampilan khusus. Bahkan untuk menyalakan kompor atau sterika listrik atau menggunakan mesin cuci saja, masih harus belajar. Dengan kompetensi yang sangat terbatas mereka berani melangkah menantang modernisasi kehidupan yang sangat kompetitif.

Jika Anda pernah jalan-jalan ke daerah Malang Selatan, Blitar, Tulungagung dan Trenggalek, masyarakat sana rata-rata memiliki bangunan rumah permanen yang tidak kalah dengan rumah PNS di kota-kota. Dalam hati kita bertanya, dari mana modalnya? Tidak lain, karena mereka bekerja diluar negeri. Hanya dalam hitungan 4-5 tahun mereka mampu membayar kuliah anak-anaknya, membangun rumah, hingga membeli sepetak sawah.

Saya belajar dari apa yang dilakukan oleh Bu Karti, istri Pak Mingan yang sangat berani menantang sulitnya kehidupan. Beliau, wanita hebat, dengan hanya modal nekad, mampu mengubah kondisi ekonomi keluarga. Sementara kita-kita ini, yang berpendidikan tinggi, bahkan level Pasca Sarjana, jangankan ke luar negeri, untuk pindah provinsi aja mikir 3-4 kali.

Mental kami penyandang sarjana ada kalanya masih jauh lebih rendah dibanding motivasi kerja para domestic helper yang berani melangkah kakinya hingga ke Asia Pacific.

Bu Karti pernah menunaikan Ibadah Umrah dan Haji, hanya berbekal ijazah Sekolah Dasar. Meski tidak sepandai mereka yang lulusan Pondok pesantren atau yang kuliah jurusan bahasa, tapi Bu Karti bisa berbahasa Arab dan sedikit Inggris mengerti.

Ibrah yang ingin saya sampaikan adalah, ada kalanya kita perlu belajar hidup dari mereka, orang-orang yang kurang dalam hal pendidikan formal, tetapi memiliki mental baja dan motivasi tinggi agar bisa mengubah masa depan hidup mereka.

Benar bahwa uang dan materi bukan segalanya. Namun zaman sekarang ini, untu memenuhi segalanya, hidup kita butuh materi dan uang.

Penulis Ridha Afzal

Advertisement
Advertisement