Belajar dari Tsunami Corona India, Kepongahan Penguasa Diatas Rakyat yang Menderita
JAKARTA – Kini India paling terpukul oleh gelombang tsunami Covid-19. Di negara dengan populasi 1,3 miliar ini, dalam waktu 24 jam terakhir saja, tercatat 386.452 kasus baru, dan hampir 3.500 kematian sehari. Ini tragedi kemanusian paling mengerikan di dunia saat ini.
Arundhati Roy —novelis dan aktivis perempuan yang paling berpengaruh India, selain Vandana Shiva— bahkan menyebut situasi di India saat ini sudah berkembang menjadi kejahatan kemanusiaan. “We are witnessing a crime against humanity”, tulis Arundhati Roy di The Guardian (Rabu 28 April 2021, 23.50 BST).
Roy —peraih Booker Prize 1997 untuk novel pertamanya “The God of Small Things”— dengan ekspresi emosional menggambarkan situasi India saat ini dalam artikelnya. Saya mengutip salah satu paragraph yang memilukan:
“….tempat tidur rumah sakit tidak tersedia. Dokter dan staf medis berada pada titik puncak. Teman menelepon dengan cerita tentang bangsal tanpa staf dan lebih banyak pasien yang meninggal daripada yang hidup. Orang-orang sekarat di koridor rumah sakit, di jalan, dan di rumah mereka. Krematorium di Delhi sudah kehabisan kayu bakar. Departemen kehutanan harus memberikan izin khusus untuk penebangan pohon kota . Orang yang putus asa menggunakan kayu bakar apa pun yang dapat mereka temukan. Taman dan tempat parkir mobil diubah menjadi tempat kremasi. Seolah-olah ada UFO tak terlihat yang diparkir di langit kita, menghisap udara keluar dari paru-paru kita. Jenis serangan udara yang belum pernah kami ketahui… ”
Kemarahan Arundhati Roy dan para aktivis bahkan banyak orang di India bisa dimaklumi. Betapa tidak, tahun silam Perdana Nenteri India ke-14, Narendra Damodardas Modi, menyombongkan kepada dunia mengenai keberhasilan India dalam mengatasi Covid-19 Roy bahkan mengutip bagian dari pidato Modi yang kontradiktif dengan situasi saat ini:
“Di negara yang dihuni 18% populasi dunia, negara tersebut telah menyelamatkan umat manusia dari bencana besar dengan efektif menanggulangi corona.”
Modi pada awal 2020 mengklaim berhasil menurunkan angka korban Covid-19. Namun pada Maret 2021 secara ceroboh melonggarkan kebijakan penanganan Covid-19. Kebijakan ini pada gilirannya justru memunculkan tsunami Covid-19 yang tak terkendali.
Namun Modi dinilai tidak melakukan sesuatu yang signifikan untuk menyelamatkan rakyat India terkecuali melakukan embargo vaksin, ternasuk ke Indonesia. Pemerintah berulang-ulang hanya mengatakan, “mari kita coba mengatasi, jangan menjadi seperti bayi yang menangis”.
Modi adalah pemimpin Aliansi Demokratik Nasional yang dipimpin oleh partai Bharatiya Janata. Kebijakan ekonominya telah dipuji oleh banyak pemimpin dunia karena dianggap mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Gujarat.
Namun, pemerintahannya juga dikritik karena dianggap gagal mencapai kemajuan berarti dalam pembangunan manusia.
Selain itu, Modi sejak awal dikritik banyak kalangan karena dia seorang rasist. Dia bahkan terlibat di dalam kerusuhan Gujarat 2002, kerusuhan komunal yang menewaskan 790 Muslim dan 254 orang Hindu; menghilangkan 223 orang lainnya; merusak 298 dargah, 205 masjid, 17 kuil, dan 3 gereja; memaksa 61.000 Muslim dan 10.000 orang Hindu meninggalkan rumah mereka; dan menangkap 17.947 Hindu serta 3.616 Muslim.
Meski punya latar demikian, Modi kemudian tetap mendapat dukungan internasional karena kebijakan ekonominya yang dinilai compatible dengan kebijakan ekonomi global yang sangat neo-liberal.
Situasi Ini adalah ironi memilukan di tengah-tengah sistem kesehatan India yang hancur bersamaan dengan munculnya ribuan orang yang tak bisa mendapatkan layanan kesehatan; tanpa oksigen; bahkan tanpa kayu bakar untuk mengkrenasi ribuan mayat. Bahkan negara produsen (eksportir) vaksin ini tak mampu menggunakan vaksin untuk menolong rakyatnya sendiri.
Karenanya, Arundhati Roy menohok pemerintahan Modi dengan pertanyaan: “apakah kita sedang disegel oleh virus dan perdana menteri kita bersama dengan semua penyakit, sikap anti-sains, kebencian, dan kebodohan yang diwakili oleh dia (Modi), partainya, dan warna politiknya?”
Ini pertanyaan menohok yang perlu direfleksikan ke dalam situasi Indonesia. []