Dalam Islam, Tajasus itu Dilarang
JAKARTA – Islam mengajarkan kita untuk senantiasa hidup dalam toleransi dengan menghargai hak-hak pribadi orang-orang yang ada di sekeliling kita.
Tak hanya itu, islam juga melarang umatnya untuk mencampuri hal-hal yang bukan menjadi urusannya, terlebih perbuatan yang menyerempet kepada hak-hak pribadi maupun aib dari setiap manusia.
Salah satu perbuatan atau sikap buruk yang dilarang itu adalah tajassus.
Dilansir dari muslim.or.id, tajassus kalau dalam istilah dinamakan dengan memata-matai atau mengorek-orek berita. Sehingga dalam lingkungan pesantren kata itu sering kali digunakan dan menyebutnya sebagai ‘jaasuus’ atau mata-mata.
Namun dalam kamus literatur bahasa Arab, misalnya kamus Lisan al-‘Arab karangan Imam Ibnu Manzhur, tajassus berarti “bahatsa ‘anhu wa fahasha” yaitu mencari berita atau menyelidiki aib seseorang.
Dari pengertian tersebut, maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa tajassus adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menyelidikinya atau memata-matai. Dan sikap tajassus ini termasuk sikap yang dilarang dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (Al-Hujurat: 12).
Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala melarang kita untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Entah itu dengan kita menyelidikinya secara langsung atau dengan bertanya kepada temannya. Tajassus biasanya merupakan kelanjutan dari prasangka buruk sebagaimana yang Allah Ta’ala larang dalam beberapa kalimat sebelum pelarangan sikap tajassus.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadis no. 6064 dan Muslim hadis no. 2563).
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radiallahu ‘anhu berkata,
“Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.”
Mengutip sindonews.com, ulama besar Yaman, Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (1634-1720), dalam kitabnya An-Nashoihud Diniyah menjelaskan bahaya dari sifat “tajassasu”. “Kita dilarang menyelidiki kesalahan orang lain yang tidak jelas. Bahkan hal itu diharamkan”.
Umat Islam diwajibkan menyuruh berbuat yang ma’ruf ketika melihat orang-orang meninggalkannya dan menyalahkan orang yang melakukan kemungkaran.
Habib Abdullah Al-Haddad menegaskan bahwa seorang mukmin yang bertaqwa tidak akan berkata sembarangan dan tidak mengatakan selain kebenaran. Setiap Muslim wajib berbaik sangka kepada kaum Muslimin. []