Derita PRT yang Perlindungannya Terabaikan
ApakabarOnline.com – Khadijah (14), perempuan asal Rumpin, Bogor, Jawa Barat ini sudah merantau ke ibu kota sejak awal tahun ini. Setelah putus sekolah, ia memilih mengabdi kepada seseorang berusia 80 tahun di kawasan Jakarta Timur.
Upahnya tak banyak, hanya Rp1 juta, jauh di bawah UMR Provinsi DKI Jakarta. Namun, jam kerjanya sangat tak menentu, pun dengan batasan pekerjaannya. Ia tak cuma membersihkan rumah, tapi juga merawat perempuan paruh baya itu.
Di sudut lainnya, ada Tika (22) yang juga merantau ke Jakarta untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Gajinya sedikit lebih banyak dari Khadijah, sekitar Rp1,2 juta perbulan, tapi ia harus bertanggung jawab membersihkan rumah, serta mengasuh tiga anak.
DKI Jakarta punya upah minimum provinsi sebesar Rp3.940.973, tapi bayaran Khadijah dan Tika tak ada sepertiganya. Selain mereka, masih ada pekerja rumah tangga lain yang senasib atau bahkan lebih buruk.
Upah rendah, tak punya hari libur, tanggung jawab berlapis, dan sederet masalah lain melilit tubuh mereka. Mereka seolah dibayar untuk bekerja sejak sang majikan belum bangun, hingga setelah bosnya tertidur. Belum lagi jika sang atasan rewel dan meminta ini-itu saat si PRT sedang menikmati istirahatnya.
Hak PRT Harus Diatur
Lita Anggraeni, Koordinator Nasional Jala PRT menjelaskan bahwa tidak adanya perlindungan terhadap PRT memiliki implikasi ke sejumlah hak-hak yang sepatutnya diatur oleh pemerintah. Pekerjaan yang masuk dalam lingkup PRT, jelas Lita, antara lain pekerjaan domestik yang mencakup memasak, mencuci, membersihkan, mengasuh, hingga merawat anak.
Lita memaparkan, berdasarkan catatan Jala PRT, rata-rata PRT mendapatkan gaji 20-30 persen di bawah UMR. Di Semarang, rata-rata gaji perbulannya adalah Rp600 ribu, Makassar sekitar Rp600-700 ribu, di Medan sekitar Rp500-600 ribu, di Lampung sekitar Rp400-500 ribu, serta di Yogyakarta berkisar Rp700-800 ribu.
Upah segitu muskil untuk digunakan hidup sebulan. Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga. Belum lagi, kata Lita, mayoritas PRT tak diberi asuransi sosial seperti asuransi kesehatan dan pekerjaan. Batasan jam kerja yang mereka miliki hanya berdasar perjanjian antara dirinya dan atasan, yang hampir pasti sekadar lewat obrolan tak resmi.
“Nah, itu semua kan belum ada aturan yang mengikat, sehingga yang banyak terjadi, muncul relasi yang tidak seimbang antara majikan dan pekerja. Akhirnya, pekerja bekerja dalam kondisi yang tidak layak,” ungkap Lita kepada reporter Tirto pada Jumat (30/8/2019).
Jala PRT mencatat, terdapat setidaknya 4,2 juta PRT di Indonesia, 40 persen di antaranya bekerja untuk merawat dan mengasuh anak.
“Nah, tapi situasi kerjanya, mereka belum mendapatkan perlindungan. Tidak ada kejelasan kerja yang diatur oleh pemerintah,” ujar Lita.
“Sehingga, ada jam kerja yang panjang, tidak mendapatkan libur mingguan, kemudian tidak ada jaminan sosial, tak ada lembur, tak ada jam istirahat, serta tidak ada standar dalam upahnya. Terdapat pula, tak ada standar keterampilan,” kata dia.
Selain itu, ada banyak kasus ketidaksesuaian kerja antara yang ditawarkan dan pekerjaan yang harus dilakukan. Lita menjelaskan terdapat sejumlah kasus di mana penyalur merekrut dan menyampaikan ke calon PRT bahwa pekerjaannya sebatas memasak atau membersihkan. Namun, ternyata mereka juga dibebani untuk mengasuh dan merawat anak.
Lita pun mendesak ke pemerintah untuk segera mengaturnya melalui Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) yang sebenarnya telah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak sekitar 15 tahun yang lalu.
Bahkan, RUU ini sebenarnya sudah sering masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi tak juga dibahas oleh anggota dewan untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang.
“Bahkan kami sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo waktu itu 2014, dan sudah masuk Prolegnas. Dan sekarang kami akan mendesak anggota DPR baru, agar masuk Prolegnas untuk lima tahunan dan tahunan,” ujarnya.
Pekerja yang Terabaikan
Peneliti Australian National University (ANU) yang berfokus pada isu PRT, Gita Nasution menyayangkan sikap pemerintah yang tak kunjung memberikan kepastian perlindungan kepada profesi yang sudah lama ada di Indonesia ini. Padahal aturan itu bisa menjadi pelindung bagi para PRT.
“Pada dasarnya, peraturan yang mengikat secara hukum belum ada. Dan ini sudah lama sekali diperjuangkan. Ini sudah lebih dari 15 tahunan, dan bentuknya masih rancangan,” ujar Gita kepada reporter Tirto saat ditemui di FEB UI, pada Kamis (29/8/2019).
Gita menyampaikan bahwa sebenarnya sudah ada aturan di tingkat kementerian yang mengatur standarisasi pengasuhan anak.
“Walaupun ada di peraturan kementerian, seperti standar kompetensi, tapi itu semua kan bukan melindungi haknya ya. Bukan sesuatu yang fundamental, dan tidak mengikat secara hukum. Sehingga, ini sebenarnya adalah bolong besar yang perlu segera ditutup,” tegas Gita.
Gita pun menilai terdapat sejumlah implikasi atas kekosongan hukum untuk perlindungan PRT, di antaranya adalah mereka sulit untuk mengadu dan mencari keadilan saat mendapatkan kecurangan dalam pekerjaannya.
“Dan karena belum ada UU-nya, mereka juga bingung minta perlindungan ke mana. Bisa jadi, misalnya, PRT minta perlindungan ke majikannya kalau mereka dicurangi sama agen. Atau sebaliknya, minta perlindungan ke agen kalau dicurangi atau ada kekerasan oleh majikannya,” jelas Gita.
“Namun, masalahnya, saat ada kecurangan, UU mana yang bisa memberikan sanksi untuk mereka yang melakukan pelanggaran itu? Itu yang gak ada,” lanjutnya.
Gita menilai salah satu faktor tertundanya pembahasan RUU PPRT secara terus-menerus tak lepas dari dugaan adanya konflik kepentingan antara pemangku jabatan, yakni Anggota DPR, dengan PRT. Masalah ini diduga menjadi alasan DPR maju-mundur untuk membahasnya.
“Jadi ada [dugaan] conflict of interest dari para anggota DPR, atau dari para elit, karena mereka juga punya PRT atau babysitter. Jadi kalau masing-masing dari mereka dispesifikan pekerjaannya apa, upahnya berapa, jam kerjanya gimana, itu akan jadi sangat mahal,” ujar Gita.
Padahal menurut Gita, RUU perlindungan PRT tak hanya bermanfaat bagi pekerja, tapi juga untuk memastikan tumbuh-kembang anak-anak yang dititipkan.
Reporter Tirto telah berusaha menghubungi sejumlah Anggota DPR Komisi IX untuk menanyakan kelanjutan RUU PPRT, di antaranya adalah Irma Suryani Chaniago, Dede Yusuf, Sarmuji, Ribka Tjiptaning, Saleh Daulay, hingga Rieke Diah Pitaloka. Namun, hingga berita ini diunggah, tak ada yang mengangkat telepon, ataupun membalas pesan singkat. [Fadiyah/Tirto]