Derita Sri Yatun, PMI yang Dianiaya Staf KJRI
JAKARTA – Insiden penganiayaan terhadap pekerja migran Indonesia yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga kembali terjadi dan menyeruak ke permukaan. Ironisnya, pelaku kekerasan dan penganiayaan tersebut adalah seorang diplomat Indonesia yang menjadi salah satu staf di KJRI Los Angeles Amerika Serikat.
Petaka yang dialami oleh PMI bernama Sri Yatun akhirnya muncul ke permukaan setelah sebuah media besar, the washington post mengangkatnya sebagai berita utama.
Berdasarkan pemberitaan The Washington Post pada Rabu (13/10/2021), staf KJRI LA yang memperkerjakan Sri Yatun adalah pasangan suami istri Cicilia Rusdiharini dan Tigor Situmorang.
Penulis laporan yang tinggal di Los Angeles ini melakukan wawancara dengan PRT yang menjadi korban, juga didukung oleh wawancara lainnya dengan penyedia layanan sosial, teman-teman korban serta atas dasar pernyataan yang diberikan di bawah sumpah sebagai bagian dari pengajuan T-visa korban.
T-visa merupakan dokumen khusus yang diberikan kepada korban penyelundupan manusia. T-visa merupakan jenis visa non-imigran yang mengizinkan korban tetap tinggal di AS untuk membantu penyelidikan atau penuntutan kasus penyelundupan manusia.
Seorang PRT Indonesia yang diulas The Washington Post Magazine dalam laporan yang dipublikasikan pada 6 Oktober lalu, disebut bernama Sri Yatun, yang bekerja sebagai PRT untuk seorang pejabat konsuler Indonesia dan suaminya di Los Angeles.
Sri disebut tiba di AS tahun 2004 lalu, menjadi salah satu dari sekian banyak PRT yang dibawa setiap tahunnya oleh para diplomat dan pejabat asing ke AS di bawah program visa khusus. Setiap tahun, Departemen Luar Negeri AS merilis 1.200 – 1.800 visa khusus semacam ini.
Visa A-3 untuk pekerja yang dipekerjakan para pejabat diplomatik asing dan visa G-5 untuk para pekerja yang dipekerjakan staf organisasi internasional seperti Bank Dunia. Secara khusus melekat pada majikan, visa itu memberikan para PRT izin kerja dan status imigrasi yang sah.
Visa ini sangat berpengaruh, tapi juga bisa memungkinkan penyalahgunaan. Kemampuan para PRT untuk tinggal secara legal di AS ada di tangan para majikan mereka — yang mungkin memiliki kekebalan diplomatik dari aturan hukum AS.
Sementara banyak PRT yang memiliki hubungan saling menghormati dan mendalam dengan majikan mereka, ketidakseimbangan kekuasaan yang diberikan visa itu bisa memicu berbagai persoalan, seperti overwork, dibayar kecil dan persoalan lebih buruk lainnya.
Dalam kasus Sri yang kini berusia 32 tahun, dia bekerja pada majikannya sejak masih di Indonesia. Ketika sang majikan hendak ditugaskan ke AS, Sri menyatakan bersedia ikut meski mengaku tak tahu apa yang akan terjadi.
Untuk sementara waktu, dia pindah ke Jakarta dan bekerja untuk majikannya dan suaminya. Dia melakukan tugas-tugas rumah tangga dan mengasuh bayi majikannya yang saat itu berusia 6 bulan.
Namun, dituturkan Sri bahwa sang majikan saat memberitahunya bahwa dia akan bekerja tanpa upah selama empat bulan pertama hingga mereka pindah ke AS — informasi ini didasarkan pada keterangan Sri dan dokumen T-visa.
Dituturkan Sri bahwa sang majikan menyebut upahnya akan digunakan untuk membayar pengajuan visa dan tiket pesawat ke AS. Saat itu Sri meyakinkan dirinya bahwa semuanya tidak akan sia-sia.
Kontrak bekerja di AS terlihat bagus: US$ 400 per minggu untuk bekerja selama 40 jam dan tambahan US$ 13 per jam untuk lembur.
Namun setibanya di AS, Sri bekerja siang dan malam, tanpa libur — masih menurut dokumen T-visa serta wawancara dengan tiga teman Sri dan seorang aktivis anti-perdagangan manusia asal Indonesia yang membantu Sri bertahun-tahun kemudian.
Sri menuturkan bahwa dirinya kadang-kadang diberi upah US$50 hingga US$100 lebih dalam sebulan. Semua ini dilakukannya sambil menanggung pelecehan verbal dan ancaman dari majikannya dan suami majikannya.
Dituturkan Sri bahwa suami majikannya suka meledak-ledak dan pernah melakukan kekerasan terhadapnya secara verbal, bahkan pernah suatu waktu melemparkan remote control dan mengenai kepala Sri.
Ketika Sri ingin pergi, sang majikan mengancam akan menjebloskannya ke penjara jika dia pergi tanpa izin mereka. Bahkan dia diberitahu jika AS banyak dilanda penembakan massal dan ada anggota geng yang suka menculik wanita yang sendirian lalu menjualnya menjadi budak seks.
Ketergantungan Sri pada majikannya, bukan hanya karena pekerjaan tapi juga status hukumnya, telah mengurungnya. Hingga akhirnya dia menemukan paspornya, saat sendirian di rumah, yang disembunyikan majikannya dan menyadari bahwa visanya sudah kedaluwarsa.
Sri menuturkan dirinya sudah tiga tahun lebih meminta kepada majikannya untuk bisa melihat paspornya, karena khawatir jika visanya kedaluwarsa, maka dia akan dideportasi bahkan dilarang kembali ke AS.
Namun saat itu, menurut Sri, majikannya meyakinkannya bahwa perpanjangan visanya masih diproses. Menyadari visanya sudah kedaluwarsa dan tampaknya tidak diperpanjang, Sri marah dan memutuskan mengambil paspornya itu.
Pada Juli 2007, Sri memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah majikannya, tanpa membawa uang dan tanpa rencana. Sri berkeliaran di jalanan Los Angeles sendirian hingga akhirnya bertemu seseorang yang menjadi penolongnya.
Majikan Sri, yang disebut oleh The Washington Post Magazine sebagai Cicilia Rusdiharini dan suaminya yang disebut bernama Tigor Situmorang, tidak merespons pesan-pesan yang dikirimkan The Washington Post Magazine untuk dimintai tanggapannya. []