December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Di Hong Kong Semakin Banyak Lansia Menjadi Pemulung

3 min read
Foto Internet

Foto Internet

HONG KONG – Di bawah gedung-gedung mewah, Hong Kong tengah berjuang dengan warganya yang menua. Mereka terus bekerja keras menjadi pemulung untuk memenuhi kebutuhan hidup, meski usianya telah beranjak 90 tahunan.

Para perempuan manula atau lanjut usia(lansia), yang dikenal dengan sebutan ‘cardboard grannies’, berkeliaran di jalanan untuk memulung kardus dan kertas bekas dari toko-toko dan pasar untuk dijual ke pabrik daur ulang seharga kurang dari Rp 1.300 per kilogram.

Buruknya jaminan sosial dan kebijakan pensiun di Hong Kong telah membuat banyak warga manula harus kembali bekerja. Mereka mendorong troli yang dipenuhi dengan tumpukan kardus bekas, membuat tubuh mereka yang kecil tenggelam.

Menurut sebuah survei terbaru yang dilakukan 505 pemilih kardus oleh kelompok advokasi, Waste Picker Platform, delapan dari sepuluh perempuan tersebut telah berusia lebih dari 60 tahun.

Para peneliti berbicara kepada mereka di 11 distrik di Hong Kong, yang rata-rata menghabiskan lima setengah jam sehari untuk mengumpulkan kardus dengan imbalan tidak lebih dari Rp 60 ribu. Usia paling tua dari yang pernah mereka wawancarai berusia 96 tahun.

Hampir 90 persen responden mengatakan mereka mulai mengumpulkan kardus-kardus untuk alasan ekonomi. Sekitar 25 persen mengaku untuk memenuhi kebutuhan dasar, mereka tergantung pada pengumpulan kardus.

Namun, kerja fisik sering kali berisiko bagi para perempuan itu. Hal itu karena mereka juga harus berurusan dengan pencurian dan diskriminasi setiap hari.

“Pemerintah tidak cukup membantu mereka yang butuh bantuan keuangan,” kata juru bicara kelompok Waste Picker Platforms.

Kelompok ini bertujuan untuk meningkatkan hak-hak pekerja dan skema perlindungan bagi sekitar 1.900 pemulung di Hong Kong.

Mereka yang telah berusia 70 tahun ke atas dapat mengajukan Tunjangan Hari Tua atau Bantuan Jaminan Sosial Komprehensif dari Pemerintah Hong Kong. Tapi kelompok tersebut mengatakan kebijakan tersebut “sudah ketinggalan zaman”.

“(Kebijakan ini) membuat penerima manfaat dalam kondisi termarjinalkan dan itulah mengapa mereka memulung kardus untuk memenuhi kebutuhan,” kata mereka.

Tunjangan pemerintah seringkali tidak cukup untuk menutup biaya sewa di salah satu kota paling mahal di dunia. Tunjangan Hari Tua sebesar sekitar Rp 4,6 juta per bulan, tetapi subsidi untuk rumah sewa kurang dari Rp 3 juta, menurut data resmi pemerintah Hong Kong.

Sementara itu, upah minimum di Hong Kong adalah lebih dari Rp 60 ribu per jam.

Juru bicara pemerintah Hong Kong mengatakan kepada ABC bahwa mereka sadar soal “tantangan besar” yang dihadapi dengan populasi yang menua.

“Pengeluaran pemerintah daerah (Pemerintahan Daerah Khusus Hong Kong) telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan akan mencapai lebih dari Rp 91,6 triliun di tahun 2018-2019, yang mana 83 persen lebih dari tahun 2012-2013,” kata juru bicara tersebut.

“Lebih dari 70 persen penduduk Hong Kong yang berusia 65 tahun sudah dicakup oleh sistem.”

Tunjangan pemerintah ‘tidak bisa membayar sewa kami’

Populasi yang menua di Hong Kong diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun ke depan, menurut proyeksi populasi Pemerintah 2017. Jumlah orang yang berusia di atas 70 tahun diperkirakan mencapai 2,37 juta orang di tahun 2036.

Sementara dari data Bank Dunia pada 2016 disebutkan kawasan Hong Kong memiliki harapan hidup tertinggi di dunia pada 2017. Secara rata-rata, pria dan wanita hidup hingga 84,3 tahun, sedikit melampaui Jepang, dan lebih tinggi dari Swiss, Singapura dan Australia.

Data Hong Kong tidak dimasukkan Badan PBB untuk urusan kesehatan, WHO, karena Hong Kong bukan negara, melainkan Wilayah Administratif Khusus di Cina. Kombinasi populasi yang menua dan sistem sosial yang kesulitan mengatasinya telah menyebabkan banyak pensiunan harus kembali bekerja.

Salah satu warga Hong Kong, Peter Lo, usia 83 tahun, awalnya pensiun ketika berusia 65 tahun. Tapi ia dipaksa bekerja di awal tahun 70-an karena kurangnya dukungan keuangan.

“Pemerintah tidak melakukan apa pun untuk warga manula, waktu untuk menunggu masuk panti jompo adalah dua hingga tiga tahun, beberapa [orang meninggal] ketika menunggu mendapat tempat,” kata pensiunan nelayan itu.

Peter tinggal bersama istri dan keluarga putra bungsunya yang beranggotakan empat orang di sebuah apartemen tiga kamar di perumahan umum.

“Saya tidak tahu bagaimana uang dari pemerintah dapat membantu. Bahkan tidak dapat membayar sewa kami,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia menerima kurang dari Rp 3 juta sebuan dari pemerintah.

 

SUMBER ABC NET

Advertisement
Advertisement