Di Indonesia, Kesehatan Mental Sangat Terabaikan
Apa yang mesti dilakukan untuk mulai berbenah terkait isu kesehatan mental di Indonesia? Berapa banyak orang-orang yang menderita gangguan jiwa di sekitar kita?
Seringkali dengan mudahnya kita menemukan penderita yang berkeliaran di jalan menjadi seorang gelandangan. Bilamana tak ada upaya khusus terkait kesehatan mental, kita akan masih sering mendapati pemandangan yang seperti itu.
World Health Organization (WHO) menyebutkan, satu dari empat orang di dunia terjangkit gangguan jiwa atau neurologis. Saat ini, ada sekitar 450 juta orang mengalami gangguan mental.
Di Indonesia, sejak masa penjajahan isu kesehatan mental mulai dibicarakan. Kita dapat belajar dari penelitian dua orang Belanda yang saat itu fokus pada isu tersebut.
FH Bauer bersama WM Smit merupakan dua orang dokter Hindia Belanda yang melakukan penelitian kesehatan jiwa di Indonesia –yang saat itu masih negara jajahan. Melalui hasil penelitiannya yang dirilis pada tahun 1868 ditemukan bahwa ada sekitar 550 orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa di pulau Jawa.
Mereka yang saat itu mengidap gangguan jiwa dipasung. Ada pula yang ditelantarkan begitu saja. Beberapa dirawat di rumah sakit militer yang sebenarnya bukan untuk perawatan jiwa.
Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, yang dikombinasi dengan data rutin dari Pusdatin, melaporkan bahwa gejala depresi dan kecemasan telah menyerang orang Indonesia sejak berada pada usia 15 tahun. Persentase depresi bahkan mencapai 6 persen, atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.
Sulit melihat adanya perubahan besar atau penanganan serius terkait isu tersebut. Ketidakpahaman kita terhadap kesehatan mental akan membawa pengaruh pada keputusan kita untuk mengatasinya.
Belum lagi, tenaga medis terbilang masih sedikit di Indonesia. WHO menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 penduduk. Sedangkan Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, psikolog klinis masih berjumlah sekitar 451 (0,15 per 100.000 penduduk), dan sekitar 773 psikiater (0,32 per 100.000 penduduk).
Tak dapat dipungkiri dengan kondisi seperti itu, masih banyak yang akan kurang memahami beberapa hal penting dalam isu kesehatan mental. Bahkan sebagian besar daerah di Indonesia percaya bahwa penyebab gangguan mental berasal dari kerasukan roh jahat, kurang beriman, azab dan ganjaran bagi pendosa. Hasilnya, penanganan yang dilakukan tidak beralih ke bentuk medis melainkan spiritual.
Seperti dikisahkan oleh Satira Isvandiary yang pernah mengalami skizofrenia, pesantren menjadi pilihan utama keluarganya saat gejala waham menjadi Ratu Adil mulai bermunculan dalam hidupnya. Satira mesti menjalankan ritual tertentu untuk menyembuhkan. Hingga pada akhirnya Satira pun dibawa berobat ke rumah sakit jiwa. Pengalamannya selama melewati masa itu diabadikan dalam buku yang berjudul “Ratu Adil: Memoar Seorang Skizofren” yang terbit di tahun 2011.
Belum lagi masalah pemasungan yang kerap terjadi. Praktik pasung menjadi jalan pintas bagi sebagai orang untuk mengatasi masalah gangguan jiwa.
Laporan Human Rights Watch yang berjudul, Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia memberikan pemaparan terkait kelemahan pemerintah Indonesia beserta kurangnya pemahaman masyarakat terkait kesehatan jiwa. Di tahun 2016 pula Human Rights Watch pun merilis bahwa ada sekitar 57 ribu penderita gangguan jiwa yang hidup dalam pasung.
Pulang Dari Bekerja Di Luar Negeri, Hidup Ernawati Harus Dirantai Dalam Ruangan Pengap Setiap Hari
Bahkan ada yang dipasung hingga maut menjemput. Sebagian besar pelaku pemasungan adalah kerabat terdekat penderita. Kurangnya pemahaman terkait masalah tersebut serta ketakutan bila penderita akan merusak atau melakukan tindak kekerasan menjadi penguat untuk melakukan praktik pemasungan.
Sejak tahun 1977, pemerintah Indonesia telah melarang pemasungan. Bahkan di tahun 2014, pemerintah telah mencanangkan gerakan “Indonesia Bebas Pasung”. Gerakan yang berfokus pada peningkatan kepedulian tentang kesehatan jiwa dan praktik pasung.
Namun sampai hari ini pemasungan masih saja tetap terjadi. Butuh waktu panjang dan usaha yang lebih keras lagi guna menghilangkan hal-hal tersebut.
Hans-Ulrich Wittchen, Direktur Lembaga Psikologi Klinis dan Psikoterapi di Universitas Dresden, Jerman, beserta rekannya telah melakukan penelitian yang berlangsung selama kurang lebih tiga tahun di tiga puluh negara Eropa dan Skandinavia dengan populasi sebanyak 514 juta orang. Penelitian itu mencoba mengamati seratus penyakit yang berkaitan dengan semua gangguan otak, mulai dari cemas, depresi, skizofrenia, kecanduan, serta gangguan neurologis utama seperti epilepsi, parkinson dan multiple sclerosis.
Derita Masdalifa : Pulang Dari Luar Negeri, Sampai Kampung Begini Kondisinya
Hasil temuan tersebut kemudian diterbitkan dalam jurnal European College of Neuropsychopharmacology. Hans menjelaskan bahwa penyakit mental menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan serta menjadi beban ekonomi. WHO pun memperkirakan, pada tahun 2020 depresi akan menjadi penyumbang utama kedua beban penyakit global di semua usia.
Menjawab keresahan kita terkait kesehatan mental, bukanlah perkara mudah. Sudah saatnya penanganan masalah kesehatan mental ditanggapi dengan lebih serius dan menjadi perhatian utama. Sekiranya, berbagai data dan temuan yang telah kita pahami dapat menjadi penguat dalam mempelajari serta mengembangkan metode penanganan kesehatan mental yang lebih baik di Indonesia.[Wawan]
Penulis seorang Psikolog alumni Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar.Bergabung dalam Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dan aktif meneliti di Ikatan Psikologi Sosial (IPS) Indonesia.