May 9, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Dianggap Maksiat, Seluruh LGBT Bakalan Di Rukiah

5 min read

Puluhan baliho menjuntai pada tiang-tiang lampu di Jalan Khatib Sulaiman, satu poros protokol Kota Padang, Sumatra Barat.

Sepanjang 2,6 kilometer, papan kampanye tersebut menyiarkan pesan seragam: “Padang Bersih Maksiat. Zina, LGBT, Narkoba, Miras, Judi.”

Pemerintah Kota Padang tengah menggalakkan kampanye “pembersihan” Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Tak hanya kampanye, otoritas setempat juga menyiapkan tim khusus guna merukiah komunitas LGBT.

“Kita juga menyiapkan tim khusus dengan melibatkan Forkopimda dan Tim Rukiah. Karena disinyalir perilaku LGBT berada dalam pengaruh setan,” kata Wali Kota Padang, Mahyeldi Ansharullah.

Perkataan itu disampaikan Mahyeldi dalam peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, di Masjid Agung Nurul Iman, Padang, Jumat (7/12/2018).

Kader Partai Keadilan Sejahtera itu juga minta dukungan dari warga, Forkopimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah), ninik mamak (kaum adat) dan alim ulama.

LGBT, dalam kaca mata Mahyeldi, merupakan bagian dari maksiat. Tak heran bila rencana “pembersihan” LGBT berkelindan dengan niat menutup tempat maksiat.

“Tempat-tempat yang berbau maksiat, dan tempat hiburan yang tidak punya izin akan kita tutup. Mohon dukungannya,” kata dia.

Tak Berani Pulang Ke Kampung Halaman, Eks PMI Hong Kong Lesbian Gabung Dengan Komunitas LGBT Di Sukabumi

Adapun Tim Rukiah yang disiapkan Pemkot Padang melibatkan sejumlah organisasi, seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Majelis Takziyah, Ukhuwah Islamiyah, Sanak Hijrah, dan Relawan Hijrah.

Jel Fathullah, Wakil Amir Majelis Mujahidin Indonesia, mengonfirmasi keterlibatan organisasi-organisasi di muka.

“Kita sebagai relawan dalam kerja sama itu,” kata Jel, yang berperan sebagai pembina Tim Rukiah, Sabtu (15/12/2018).

Jel menyebut Tim Rukiah beranggotakan 20 orang. Mereka tak hanya punya kemampuan merukiah tetapi juga memiliki kecakapan berdakwah.

Lucky Abdul Hayi, Komandan Laskar Majelis Mujahidin Padang, didapuk jadi pemimpin Tim Rukiah.

“Dalam agama tidak ada namanya banci atau gay,” kata Lucky, saat kami mengobrol, Sabtu (15/12/2018). “Kadang LGBT dianggap sebagai takdir. Ini bahaya, kesalahan dalam pendidikan. Maka perlu pemberian dakwah kembali ke fitrah.”

Tengah November 2018, sebelum kabar soal wacana rukiah berembus, Satpol PP Padang menangkap 18 orang terduga LGBT–10 perempuan dan 8 waria.

Kepala Satpol PP Padang, Yadrison, menyebut penangkapan itu sebagai bentuk komitmen dalam perang melawan maksiat. Menurutnya, LGBT tak berkesesuaian dengan adat dan budaya Padang.

“Kita berada di ranah Minang yang mempunyai falsafah, Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah,” kata Yadrison.

Razia agaknya masih akan terjadi. Kabarnya Pemkot Padang telah mengantongi 12 lokasi yang disinyalir sebagai titik kumpul LGBT.

Ihwal penangkapan 18 terduga LGBT, Tim Rukiah mengaku belum dapat perintah untuk “mengusir jin”. “Tapi Pemkot sudah menghubungi, akan diberikan ke kami kalau perlu dirukiah,” kata Lucky Abdul Hayi.

Pasangan Lesbian Menang Menggugat Direktur Imigrasi Hong Kong

Lucky berbagi cerita perihal pemberantasan LGBT, yang disebutnya sebagai “program banyak instansi, lembaga, dan komunitas”.

“Rapat sudah dilakukan. Pihak kami menangani pembinaan dan dakwah. Pemkot Padang bidang ekonomi dan skill. Baznas untuk pemodalan usaha, Satpol PP di lapangan,” katanya.

Lucky mengklaim layanan dakwah dan rukiah diberikan cuma-cuma sebagai bentuk aksi sosial. Sejauh ini, pihaknya telah menyiapkan lima klinik guna merukiah LGBT.

“Bagi kita, rukiah adalah dakwah. Kalau terdeteksi ada gangguan jin bisa dirukiah. Tapi kalau tidak ada gangguan jin akan diberi pemahaman,” katanya.

Tim yang dipimpin Lucky sejauh ini sudah merukiah tiga terduga LGBT, yang diantar keluarga masing-masing pada November 2018.

“Dua karena gangguan jin, satu lagi tidak,” kata Lucky. “Setelah sebulan rukiah dan didakwahi, sudah ada perubahan, mereka mulai rajin salat.”

Konon bila seorang LGBT banyak meronta dalam proses rukiah bisa dipastikan yang bersangkutan mendapat gangguan jin.

Selama proses rukiah, Si Fulan akan diminta mengikuti bacaan Alquran. Lebih spesifik, surat-surat yang dibacakan yakni Al-Fatihah, Al-Baqarah (1-5), Al-Kahf, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas.

Pembacaan ayat Alquran dilakukan terus menerus hingga jiwa yang bersangkutan tenang dan jin terempas.

Namun, meski jin terusir, tak serta merta ada kesembuhan. Lucky bilang butuh waktu enam bulan untuk memberikan dakwah agar seseorang bisa menanggalkan status LGBT.

“Selama enam bulan, mereka harus ikut pengajian mingguan. Diberikan tahsin (pelajaran baca Alquran). Kemudian, dua kali seminggu ikut pertemuan agama,” katanya.

Masuk Kuartal Ketiga, Penderita HIV Baru di Hong kong Didominasi Dari Pasangan Sejenis

Selama proses itu, Si Fulan juga dibatasi dengan lingkungan sosialnya terutama yang berkenaan dengan LGBT. Sebagai ganti, ia akan diintegrasikan dalam “komunitas yang berlandaskan iman”.

Kelak, mereka yang sudah “sembuh” akan diminta melakukan syiar. Mengajak kawan-kawan lama mereka dalam komunitas LGBT untuk melakukan pertobatan. Mirip sistem pemasaran multi level marketing (MLM).

 

Rukiah bukan solusi

Para penentang LGBT di Kota Padang sering menyebut rukiah sebagai “penyembuhan”.

Lema itu sedikit banyak memosisikan LGBT sebagai penyakit mental. Hal itu bertolak belakang dengan pandangan umum dunia kesehatan internasional.

Pandangan perihal LGBT bisa dilihat lewat perjalanan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), dokumen yang memuat klasifikasi penyakit-penyakit mental, terbitan Asosiasi Psikiatri Amerika (APA).

Pada 1968, DSM masih mengakomodir homoseksual sebagai gangguan mental.

Situasi berubah pada 1973, setelah APA bikin pemungutan suara soal homoseksualitas. Hasilnya 5.854 psikiater sepakat menghapus homoseksualitas dari DSM, dan 3.810 berkukuh mencantumkan. Puncaknya, pada 1987, homoseksualitas terempas dari DSM.

Pada 2016, APA juga pernah menyurati Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) pada 2016. Mereka meminta PDSKJI mempertimbangkan ulang keputusan untuk mengklasifikasikan homoseksualitas sebagai masalah kejiwaan.

Adapun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghapus homoseksualitas dari dokumen International Classification of Diseases (ICD) pada 1990. Pada Juni 2018, giliran transgender dihapus dari dokumen klasifikasi penyakit itu.

Berhubungan Sesama Jenis, 2 Wanita Di Malaysia Di Hukum Cambuk

Jeje, seorang gay yang berdomisili di Kota Padang, juga menganggap orientasi seksual sebagai sesuatu yang menyatu dengan diri seseorang. Ia pun tak sepaham dengan metode rukiah sebagai metode “penyembuhan” LGBT.

“Orientasi seksual ada dalam diri, bukan pengaruh dari jin atau roh gaib. Orientasi seksual sudah menyatu sama orangnya. Bahkan, walau bisa berhubungan dengan lawan jenis, tapi perasaan terhadap sesama jenis itu tetap ada,” katanya.

Jeje merujuk pada kisah kawannya yang pernah melewati proses rukiah dan tak mengalami perubahan. “Salatnya lebih rajin, tapi orientasi tidak berubah,” kata dia.

Kawannya yang lain bahkan memilih menikah demi memenuhi tuntutan lingkungan ihwal perubahan orientasi seksual. “Sudah beristri, punya anak, tapi masih suka sesama jenis,” ujarnya.

Kami mencoba menghubungi kedua kawan Jeje, tetapi mereka menolak wawancara. Keduanya merasa isu LGBT sedang panas dan tak ideal untuk berbicara.

Jeje pun menganggap aksi penangkapan dan wacana rukiah LGBT justru membuka peluang baru untuk melakukan persekusi terhadap kaum minoritas seksual.

“LGBT sekadar, melenggak lenggok di jalan, lalu ditangkap,” keluhnya.

Group LGBT Eksis Di Ponorogo Sejak 7 November 2014

Aktivis sosial yang berbasis di Padang, Yefri Heriani, juga punya pandangan senada. “Bisa-bisa ini melahirkan kekerasan baru, persekusi baru,” kata Yefri.

Yefri pun menganggap pemerintah Sumatra Barat (di berbagai level) kerap kali membenturkan realitas sosial dengan tafsir Alquran.

“Padahal kalau berbicara LGBT, Allah pasti melindungi semua umatnya. Maka kewajiban negara memberi perlindungan,” kata dia.

Bila LGBT dianggap masalah, menurut Yefri, proses penyelesaiannya juga harus memanusiakan-manusia. “Basisnya penghargaan hak-hak yang berorientasi penciptaan yang Maha Kuasa.” [Yose Hendra]

Advertisement
Advertisement