Diduga Karena Ada Banyak Kepentingan yang Membuat RKUHP Menjadi “Proyek Abadi”
JAKARTA – Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Soedirman, Purwokerto, Muhammad Fauzan menilai masih banyak kepentingan menyertai proses pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurut dia, karena kepentingan itu, RKUHP seperti proyek abadi bangsa ini dalam proses pembangunan hukum nasional.
“KUHP merupakan hukum warisan kolonial Belanda yang berlaku untuk masyarakat dan sudah berlaku 104 tahun yang lalu karena disahkan sejak 1918,” kata Fauzan dalam webinar yang diikuti secara daring pada Selasa (15/11/2022).
Dia melanjutkan, sudah sejak 1968 bangsa Indonesia menginginkan pembaharuan hukum pidana. Oleh sebab itu sejak tahun tersebut dibentuk tim yang bertugas untuk menyusun Rancangan Undang-Undang KUHP.
Fauzan menuturkan sejak dibentuknya tim penyusun RKUHP, sudah melewati beberapa periode masa jabatan presiden. Mulai dari Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan terakhir sekarang Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Akan tetapi sampai saat ini masih belum sempat dan belum bisa disahkan.
“Saya yakin kalau kita berpikir positif, lamanya pembahasan tentunya karena kita semua menginginkan agar KUHP baru menjadi cerminan produk hukum yang oleh dasar filosofi bangsa yang terkandung dalam Pancasila,” tutur Fauzan.
Dia menambahkan, dalam politik hukum, apapun bentuknya yang namanya hukum akan selalu dipengaruhi suasana kebatinan pada saat pembentukan hukum itu sendiri. Tidak terlepas juga KUHP yang tentunya kalau dilihat dari politik hukum dipengaruhi oleh kepentingan Belanda sebagai negara yang menjajah Indonesia pada saat itu, baik itu yang berkaitan dengan filosofis maupun empirisnya.
“Sekarang sudah berlaku selama 104 tahun atau sudah satu abad lebih. Tentunya kebutuhan akan pembaharuan hukum, khususnya hukum pidana itu menjadi satu hal yang memiliki kepentingan tinggi,” pungkas dia.[]