Disebut Sebagai Warga Negara VVIP, Tapi Perlakuan Petugas Bea Cukai Bandara Terhadap PMI Kok Begini
JAKARTA – Beberapa waktu belakangan, menyeruak ke permukaan, satu persatu penuturan pengalaman dari beberapa kalangan terkait dengan buruk dan ironisnya pelayanan petugas Bea Cukai Bandara Internasional Soekarno Hatta saat melayani kedatangan beberapa WNI termasuk diantaranya pekerja migran Indonesia yang baru pulang dari negara penempatan.
Pendiri Migrant Care, Anis Hidayah menyoroti perilaku tak menyenangkan oleh petugas kepabeanan di Bandara Soekarno Hatta kepada Alissa Wahid saat pulang dari Taiwan yang dikira pekerja migran Indonesia (PMI). Hal itu dinilai melanggar prinsip dan asas pelayanan publik. Karena perlakuan seperti yang selama ini menimpa para PMI saat pulang bekerja dari luar negeri.
“Bandara itu kan bagian dari layanan publik prinsipnya tidak boleh ada layanan yang mendiskriminasi bagi kelompok tertentu termasuk bagi pekerja migran,” kata Anis dinukil dari NU Online, Sabtu (25/03/2023).
Aktivis Pekerja Migran Indonesia itu menyebut prinsip dan asas layanan publik semestinya bagian dari hal yang selama ini diawasi oleh Ombudsman.
“Satu layanan publik dikatakan sudah sesuai standar tidak diskriminatif, berkualitas, setara. Mestinya pekerja migran mendapatkan itu tetapi faktanya belum sepenuhnya teman-teman pekerja migran mendapatkan layanan seperti itu,” terang Anis.
Dia meminta pengalaman buruk yang diceritakan Alissa Wahid menjadi bahan evaluasi Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam memperlakukan pekerja migran atau orang-orang yang pulang dari luar negeri agar tidak sewenang-wenang.
“Tutur bahasa tidak ramah, cara periksa barang ada kesan merendahkan dan lain sebagainya. Menurut saya ini perlu dievaluasi sekaligus SOP nya diterapkan, dibenahi. Berperilaku ramah kepada semua orang terutama pada pekerja migran,” pintanya.
Ombudsman, kata Anis, sebagai badan yang punya kewenangan melakukan pengawasan layanan publik bisa memberikan masukan bagaimana standar layanan publik yang baik sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Sudah ada kitab Undang-undang syarat layanan publik yang humanis, transparan, tidak diskriminatif, cepat, dan responsif. Ombudsman setiap tahun juga punya indeks layanan publik posisi bea cukai indeksnya berapa dan lain sebagainya,” kata Anis.
“Ini juga bisa menjadi referensi insiden seperti apa yang dialami mbak Alissa dan teman-teman pekerja migran selama ini,” imbuhnya.
Tak ayal, kemunculan pengakuan Putri Presiden Gus Dur ini memicu munculnya pengakuan lain, mulai dari pemenang lomba nyanyi yang mendapat hadiah piala di Jepang hingga pengakuan para pekerja migran Indonesia yang pulang.
Disaat pemerintah RI menggembargemborkan, pekerja migran Indonesia adalah warga negara VVIP, perlakuan sewenang-wenang petugas bea cukai nyata jauh panggang dari pada api.
Kemenkeu janji benahi layanan publik
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo meminta maaf melalui akun Twitternya @prastow dan mengatakan pihaknya berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan pelayanan. Dia juga meminta maaf kepada Alissa Wahid atas pengalaman tidak menyenangkan terhadap petugas Bea Cukai di bandara.
Yustinus mengatakan secara formal tidak ada kebijakan pelayanan seperti itu dan Direktorat Jenderal Bea Cukai memiliki standar pelayanan yang baik sesuai dengan protokol internasional dan best practice.
“Bahwa di lapangan masih belum sepenuhnya ideal kami akui dan mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Kami berkomitmen untuk terus melakukan pembenahan pelayanan,” ujarnya.
Sebelumnya, Alissa menceritakan kisahnya dalam unggahan di akun Twitternya. Dia berbagi cerita sesaat pulang dari menghadiri konferensi di Taiwan.
“Suatu ketika saya pulang dari konferensi di Taiwan. Di Cengkareng, saya diarahkan menuju meja pemeriksaan yang di dalam itu. Mbak petugas nanya: Kamu pulang kerja ya di Taiwan? Berapa lama kerja di sana? Bawa apa saja? Buka kopernya,” kata Alissa dalam cuitannya.
Setelah memberikan passpornya kepada petugas, Alissa kembali ditanya perihal kepergiannya ke Taiwan. Mulai dari lama tinggal hingga pekerjaannya selama di Taiwan dan menghubungkannya dengan koper besar yang dibawanya.
“Saya buka koper sambil dia minta paspor. Saya cuma tiga hari di Taiwan. Petugas: kerja apa tiga hari di Taiwan? Kok bawaannya koper gede? Beli apa saja? Emang dibayar berapa? Saya: konferensi. Petugas: kok kamu bisa belanja dan bawa barang banyak? Kamu kerja apa? Ndedes…,” ungkap Alissa.[]