Harapan Carrie Lam untuk Hong Kong Lebih Makmur dan Lebih Damai
HONG KONG – Kepala Eksekutif Daerah Administratif Khusus Hong Kong, Carrie Lam, berharap Hong Kong lebih damai dan makmur di bawah prinsip “satu negara, dua sistem”.
Hal tersebut berkaitan dengan perubahan legislatif terkait penyempurnaan sistem pemilihan umum (pemilu) Hong Kong yang diadopsi oleh badan legislatif tertinggi China.
Dia juga mengharapkan keyakinan yang lebih kuat di kalangan warga di dalam maupun luar negeri terkait prospek dari pusat keuangan global itu.
Dalam wawancara eksklusif pertamanya pascaamendemen di level negara, Lam menjabarkan agenda kerjanya, mulai dari pembuatan undang-undang pemilu lokal hingga penanganan masalah sosial yang telah begitu mengakar.
Untuk Hong Kong yang Lebih Baik
Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (NPC) pada Selasa (30/3) mengesahkan amendemen Lampiran I dan Lampiran II dalam Undang-Undang Dasar (UUD) SAR Hong Kong, yang masing-masing mengatur metode pemilihan kepala eksekutif SAR Hong Kong dan metode pembentukan Dewan Legislatif (LegCo) SAR Hong Kong maupun prosedur pemungutan suaranya.
“Ini menandai langkah maju yang penting dalam menyempurnakan sistem pemilu Hong Kong,” tutur Lam dilansir dari Xinhua.
Karena Hong Kong telah memulai proses pembuatan undang-undang lokal yang relevan, Lam dan pemerintah SAR Hong Kong akan sibuk melakukan berbagai kegiatan selama 12 bulan ke depan, termasuk merevisi undang-undang lokal dan menggelar pemilihan Komite Pemilu, LegCo, dan kepala eksekutif SAR Hong Kong.
Lam menemui Presiden LegCo Andrew Leung untuk membahas agenda kerja selanjutnya pada Selasa, segera setelah amendemen kedua lampiran UUD itu diloloskan dalam sesi Komite Tetap NPC.
LegCo tenggelam ke dalam kekisruhan dan tidak dapat menjalankan fungsi konstitusionalnya dalam tiga tahun pertamanya sejak 2016. Badan legislatif itu kini telah kembali beroperasi normal setelah keluarnya para anggota yang berulang kali terlibat dalam filibuster dan kekerasan legislatif.
Namun, ini tidak berarti LegCo akan selalu sependapat dengan pemerintah. “Mereka (para anggota parlemen) dapat mengkritik kami dan menentang apa yang kami ajukan,” ujar Lam, yang menambahkan bahwa prinsip “satu negara, dua sistem” serta keamanan nasional harus dihormati dan dilindungi.
Dengan sistem pemilu yang disempurnakan, Lam yakin talenta-talenta yang lebih cakap dan bertanggung jawab, yang mungkin merasa frustrasi melihat kekisruhan politik di masa lalu, akan mengajukan diri di masa mendatang.
Di masa mendatang, Lam menjanjikan upaya yang lebih intensif untuk meningkatkan kualitas pendidikan, media, serta pelatihan maupun manajemen pegawai sipil. “Jika upaya ini dilakukan, orang-orang akan semakin yakin dengan prinsip ‘satu negara, dua sistem’, baik warga setempat, warga dari China Daratan, maupun warga asing.”
Memprioritaskan Warga
Dengan sistem pemilu yang telah disempurnakan, Lam yakin ini waktu yang tepat bagi pusat keuangan global tersebut untuk kembali fokus pada ekonomi, meningkatkan standar hidup warga, dan mengatasi masalah sosial yang telah begitu mengakar.
Pemerintah SAR Hong Kong akan lebih “memprioritaskan warga” dan lebih bersungguh-sungguh dalam memperhatikan masalah rakyat, kata Lam. “Kami pasti akan berbuat lebih banyak untuk menjangkau warga, memahami masalah mereka, serta merespons secara langsung dan positif.”
Lam secara khusus menekankan masalah kelangkaan tempat tinggal.
Pemerintah telah menjadikan upaya penyediaan tempat tinggal yang terjangkau bagi warga Hong Kong sebagai prioritas kebijakan utama, sebut Lam. “Tempat tinggal bukanlah sekadar komoditas, melainkan pilar bagi stabilitas sosial… (yang membuat) warga memiliki ikatan dengan suatu tempat.”
Serangkaian kebijakan yang mendukung telah diterapkan bagi warga dari berbagai lapisan, dan porsi lahan baru yang digunakan untuk tempat tinggal publik telah ditingkatkan secara signifikan menjadi 70 persen.
Lam menyoroti reklamasi lahan sebagai solusi utama untuk masalah kelangkaan lahan.
Kepala eksekutif SAR Hong Kong itu mengusulkan proyek reklamasi lahan untuk membangun sebuah pulau artifisial berukuran besar pada 2018 lalu, tetapi harus menunggu satu setengah tahun hingga LegCo menyetujui pendanaan untuk studi terkait.
“Berapa periode ‘satu setengah tahun’ lagi yang harus disia-siakan Hong Kong? Jika butuh 18 bulan bagi LegCo untuk menyetujui sebuah studi dan tujuh bulan untuk memilih ketua (komite), saya akan sangat pesimistis soal pembangunan Hong Kong.”
Namun, Lam kini melihat adanya harapan. “Di masa mendatang, kami pasti akan melakukan lebih banyak upaya terkait pembangunan lahan,” ujarnya.
Tugas lain yang menjadi prioritas dalam agenda kerja Lam adalah kampanye vaksinasi COVID-19.
“Mengikuti vaksinasi merupakan cara yang paling penting dan efektif (untuk mengendalikan epidemi). Di saat krisis vaksin terjadi di tempat-tempat lain, Hong Kong sangat beruntung karena punya pasokan yang cukup dan stabil berkat dukungan otoritas pusat,” papar Lam.
Meskipun rasio vaksinasi masih relatif rendah, Lam menjanjikan lebih banyak upaya untuk mendorong masyarakat mengikuti vaksinasi. Lam juga mengatakan bahwa rasio 70 persen akan menghasilkan imunitas kelompok dan memfasilitasi pelanjutan perjalanan lintas batas.
Tidak Terintimidasi Ancaman Sanksi
“Setelah menjabat sebagai kepala eksekutif selama hampir empat tahun, khususnya dalam dua tahun terakhir, saya melihat sendiri bagaimana pemerintah dan politisi luar negeri mengeksploitasi Hong Kong untuk memenuhi agenda mereka,” tutur Lam.
Dia mengatakan bahwa tidak adanya undang-undang keamanan nasional di tengah masyarakat Hong Kong yang bebas dan beragam memberikan ruang bagi kekuatan anti-China untuk menyusup, termasuk menunjuk agen-agen mereka untuk masuk ke dalam struktur politik Hong Kong, mengganggu hubungan Hong Kong dengan China Daratan, serta memanfaatkan Hong Kong untuk menyerang Republik Rakyat China.
Lam mengatakan ada tiga kata dan frasa yang akan sangat sesuai untuk mendeskripsikan campur tangan pihak eksternal dalam urusan Hong selama beberapa tahun terakhir, yaitu “standar ganda”, “kemunafikan”, dan “kebohongan”.
Undang-undang keamanan nasional merupakan praktik yang umum diterapkan di seluruh dunia, tetapi undang-undang yang diadopsi di Hong Kong, China, difitnah dan dipergunjingkan, ujarnya.
“Semua negara mewajibkan pegawai sipilnya bersikap patriotik. Namun, saat kami minta pegawai sipil kami untuk mengambil sumpah … bersumpah setia pada SAR Hong Kong dan menjunjung tinggi UUD, mereka berkata kami merenggut kebebasan untuk berbicara,” lanjut Lam.
Beberapa pemerintah dan media luar negeri melontarkan tuduhan terkait kebrutalan polisi di Hong Kong terlepas dari situasi kekerasan yang dihadapi para polisi. Namun, saat polisi diserang di negara mereka sendiri, mereka justru mengatakan aksi kekerasan itu “menjijikkan,” kata Lam.
“Ada banyak contoh yang menunjukkan bahwa mereka hanya memperlihatkan standar ganda dengan sangat jelas dan tanpa rasa malu,” imbuh Lam.
Merujuk pada kemunafikan beberapa politisi asing, Lam menyebutkan bahwa “mereka berkata ingin mendukung warga Hong Kong. Pernahkah mereka bertanya apa yang diinginkan oleh warga Hong Kong? Kami menginginkan perdamaian dan stabilitas.”
Ketika warga yang tidak bersalah diserang dan bahkan dibakar di tengah kekisruhan sosial karena memiliki pandangan politik yang berbeda, “apakah mereka (politisi asing) mengatakan sesuatu tentang warga Hong Kong itu? Tidak,” kata Lam.
Lam yakin kebohongan terbesar yang dilontarkan negara-negara Barat adalah bahwa China telah melanggar Deklarasi Bersama China-Inggris. “Jika Anda bertanya kepada mereka pasal mana dalam deklarasi tersebut (yang dilanggar China), mereka terdiam. Mereka tidak dapat menyebutkan pasal yang dimaksud.”
Di saat situasi Hong Kong kembali damai dan stabil sejak pengesahan undang-undang keamanan nasional, Amerika Serikat berulang kali menjatuhkan apa yang disebut sebagai sanksi atas Lam dan banyak pejabat lainnya yang sedang berupaya menghidupkan kembali Hong Kong.
Terkait sanksi tersebut, Lam mengatakan dirinya tidak takut. “Kami tidak akan terintimidasi. Kami akan terus melakukan hal yang benar demi membela negara dan membela SAR Hong Kong.” []