Harapan Petani Mendapat Asuransi, Apa Kendalanya ?
JAKARTA – Banjir merendam Karawang, Jawa Barat, akhir Februari hingga awal Maret lalu. Akibatnya, seluas 8.865,20 hektare sawah puso. Alih-alih merasakan untung pada musim panen raya padi kali ini, petani justru mengalami kerugian besar.
Menurut Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Karawang, total kerugian mencapai sekitar Rp2,6 miliar karena banyak wilayah produsen padi terdampak bencana hidrometerologi seperti banjir, dari akhir tahun lalu hingga kuartal pertama tahun ini.
Petani merupakan profesi yang selalu menghadapi risiko, seperti cuaca yang tidak bisa dikendalikan dan serangan penyakit serta hama yang dapat membuat hasil panen menjadi tidak maksimal. Sayangnya, tidak jarang petani kehilangan panen mereka setelah bekerja keras karena beberapa faktor tersebut.
Mitigasi dampak bencana bagi kesejahteraan petani dilakukan pemerintah melalui Kementerian Pertanian dengan meluncurkan program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) pada 2015 silam. Program tersebut bertujuan melindungi para petani dari kerugian. AUTP dicanangkan akan melindungi petani dari gagal panen akibat risiko banjir, kekeringan, hingga serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).
Perlindungan itu dilakukan dengan mengalihkan kerugian gagal panen akibat risiko-risiko tersebut yang biasa ditanggung oleh petani, menjadi tanggungan asuransi.
“Selain itu, AUTP diluncurkan demi keberlanjutan usaha tani berikutnya. Mereka akan mendapat ganti rugi jika terjadi gagal panen sehingga bisa melanjutkan usaha tani,” urai Direktur Pembiayaan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Indah Megahwati dinukil dari Valid News (19/03/2023).
Adanya program ini terang bermanfaat buat petani. Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai, meskipun asuransi tidak bisa meningkatkan pendapatan petani, tetapi setidaknya bisa menanggulangi risiko-risiko gagal panen yang menghampiri petani.
Dwi Andreas menjabarkan beberapa jenis asuransi yang kerap berlaku di Indonesia. Ada damage base product atau asuransi berdasarkan kerusakan yang merupakan tingkat asuransi terendah di Indonesia. Lainnya, asuransi berdasarkan penurunan hasil.
“Lalu ada juga berdasarkan pendapatan. Ini digunakan untuk mengatasi penurunan pendapatan dari penjualan produk. Untuk asuransi berdasarkan pendapatan ini, saya rasa tepat untuk diterapkan,” paparnya, lewat percakapan melalui telepon, Minggu (11/3).
Skema Asuransi Untuk Petani
Untuk memudahkan petani, pemerintah menggelontorkan bantuan premi. Pada program AUTP, nilai premi 100% dipatok sebesar Rp180.000/hektare (ha) per musim tanam. Dari angka itu, jumlah pertanggungan mencapai Rp6 juta/ha per musim tanam.
Indah menjelaskan para petani tak perlu menanggung 100% premi itu. Ada bantuan 80% dari pemerintah senilai Rp144.000.
“Pemerintah (Kementan) membayar bantuan premi 80% atau Rp144.000/ha per musim tanam. Sedangkan petani, membayar 20% saja atau senilai Rp36.000/ha per musim tanam,” jabarnya.
Dalam pelaksanaannya, para petani yang terdaftar di AUTP dan memiliki polis yang masih aktif serta mengalami kegagalan panen dapat segera menghubungi Penyuluh Pertanian Lapangan atau Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (PPL/POPT) untuk menentukan jumlah kerusakan pada tanaman. Hal ini dilakukan untuk mengetahui penyebab kegagalan panen, yang meliputi bencana alam seperti banjir dan kekeringan, serta Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) seperti hama dan penyakit tanaman.
Jika luas kerusakan lahan mencapai ≥75% pada setiap luas petak alami dan tidak dapat dikendalikan, PPL harus menyampaikan pemberitahuan klaim secara tertulis. Laporan klaim itu dicantumkan dalam isian Form AUTP-6 secara lengkap dan melampirkan dokumen pendukung klaim ke aplikasi SIAP.
“Pelaporan selambatnya dilakukan tujuh hari sejak terjadi kerusakan yang memenuhi kriteria ganti rugi, lalu dikirim melalui aplikasi SIAP ke perusahaan penanggung,” sambung Indah.
Hasil pemeriksaan dan perhitungan kerusakan, kemudian dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kerusakan (Form AUTP-7). Jika Form AUTP-6 telah ditandatangani pihak terkait dan didukung foto atau dokumen lain, namun Form AUTP-7 belum terbit dalam 14 hari kerja sejak pemberitahuan kejadian kerusakan, maka nilai klaim yang diajukan secara otomatis telah disetujui.
“Jika Form AUTP-7 belum terbit atau pihak asuransi belum menganalisa secara on desk, nilai klaim yang diajukan tertanggung dinyatakan setuju oleh asuransi pelaksana, kecuali apabila klaim melibatkan Independent Lost Adjuster (ILA),” paparnya.
Dalam hal ini, penanggung wajib menerbitkan surat Discharge Form setelah klaim tertanggung disetujui lewat aplikasi SIAP. Penanggung melakukan pembayaran klaim selambatnya 14 hari kerja sejak Discharge Form ditandatangani tertanggung dan diupload ke aplikasi SIAP. Proses ini diyakini tidak njlimet.
Realisasi premi AUTP pada tahun lalu, mencapai sekiar Rp63,58 miliar dari 353.258 ha lahan. Sementara untuk realisasi klaim tahun 2022 adalah sebesar Rp11,36 miliar dari 1.893 ha lahan. Angka itu, menurut Indah, menurun jika dibandingkan realisasi klaim 2021 yang mencapai Rp67,78 miliar dari 11.298 ha lahan.
“Untuk target tahun ini yang semula 1 juta ha lahan, telah mengalami automatic adjustment senilai Rp50 miliar menjadi 652.777,77 ha,” kata dia.
Asuransi Minim Peserta
Sayangnya, dalam catatan Ditjen PSP Kementan, jumlah petani yang ikut pada program AUTP pada 2022 lalu hanya sebesar 572.982 orang. Angka itu menurun dibandingkan tahun 2021 sebanyak 619.700 orang dan tahun 2020 sekitar 1,36 juta petani.
Menurut Indah, minat petani dalam mengikuti program tersebut sangat ditentukan oleh risiko yang mereka hadapi dan kesediaan untuk membayar premi sebesar 20%. Dari performance realisasi bantuan premi 80%, Kementan mencatat mayoritas peserta AUTP berasal dari petani dengan lahan berisiko tinggi.
“Sementara lahan risiko rendah relatif lebih sedikit. Selain itu, petani yang sudah berulang kali ikut AUTP tapi tidak pernah mengalami musibah juga menjadi enggan untuk kembali menjadi peserta,” ucapnya.
Dwi Andreas pun mengakui masih banyak petani yang belum memahami pentingnya AUTP. Ketidakpahaman itu ditambah lagi dengan adanya beberapa kasus kesulitan klaim, hingga pemeriksaan yang terlambat.
Guru besar IPB ini menilai pembayaran premi tidak begitu membebani petani, yakni sebesar Rp36.000/ha per musim panen. Angka tersebut tidak berarti apa-apa jika dibandingkan total biaya usaha tani yang hampir Rp30 juta per ha, termasuk sewa lahan.
“Ini beberapa kali menguntungkan karena waktu itu di daerah Karawang, Jawa Barat, ada sawah yang terkena hama tikus, itu mendapat ganti rugi semua,” tutur Dwi.
Di kacamatanya, biaya Rp36.000 untuk AUTP akan sangat terasa manfaatnya jika terjadi musibah gagal panen, baik itu banjir maupun serangan hama yang luas. Jika lahan mereka tak diasuransikan, modal usaha tani sekitar Rp30 juta per ha akan ludes begitu saja.
“Jadi lebih baik asuransi menerapkan skema berdasarkan penurunan hasil. Sehingga jika terjadi penurunan hasil, akan ditanggung oleh asuransi. Sistem ini yang pas untuk petani,”cetusnya.
Dari kalangan petani, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih pun mencermati hal serupa. Dia menganggap asuransi masih belum dianggap penting di kalangan petani. Mereka juga belum bisa menangkap apa manfaat nyata dari keikutsertaan di asuransi.
Henry juga menyatakan bahwa penerapan AUTP hingga kini masih belum berjalan secara meluas. Alhasil, masih banyak petani yang belum terpapar atau melihat langsung manfaat dari asuransi terhadap lahan mereka.
“Satu, karena kita (petani) banyak yang tidak paham. Kedua, kepentingannya juga tidak terlampau mendesak gitu,” ujarnya di Jakarta, Kamis (16/03/2023).
Di sisi lain, dia menilai urgensi asuransi bagi para petani di Indonesia hingga kini masih belum terlalu penting. Pasalnya, para petani di Indonesia mayoritas hanya mengelola lahan-lahan kecil, berbeda dengan di Amerika Serikat.
“Apa yang mau diasuransikan? Tanahnya saja kecil, mungkin hanya 3.000 meter, pupuk pun sudah ada. Jadi ini ibaratnya orang harus mau berasuransi kan untuk melengkapi usaha mereka,” tukas Henry.
Masifkan Sosialisasi Asuransi Petani
Di mata Henry, minimnya pengetahuan dan literasi petani, tak lepas dari upaya sosialisasi yang cenderung lemah dari pemerintah. Petani-petani dalam naungan SPI pun, dia katakan belum ada yang berpartisipasi atau menjadi peserta dari AUTP.
“Literasi dari pemerintah tidak ada penjelasan, ditambah kita tidak merasa mendesak untuk ikut asuransi itu. Lalu hal lain yang lebih penting juga belum diurus pemerintah,” sebutnya.
Senada, Dwi mengatakan sosialisasi AUTP dari pemerintah masih kurang masif. Selain itu, cakupan asuransi pun masih tergolong kecil.
Menurutnya, ketidaktertarikan petani terhadap AUTP salah satunya karena persyaratan minimum kerusakan 75%. Di sisi lain, menentukan tingkat kerusakan bukanlah hal yang mudah.
Terlebih, petugas terkait kerap terlambat dalam memeriksa lahan pada klaim yang diajukan petani peserta AUTP. Misalnya saja di Indramayu, pernah ada 70 petani yang mengklaim asuransi karena lahannya kebanjiran, namun baru disambangi petugas dua minggu kemudian.
“Saat diperiksa kan sudah tidak banjir, jadi tidak bisa diklaim. Jadi, kriteria gagal panen dari petani dan petugas itu berbeda. Proses klaim juga masih terlalu rumit, bahkan sejumlah petugas dalam beberapa kasus malah meminta fee,” urai Dwi.
Indah Megahwati mengakui bahwa selain keengganan petani peserta AUTP untuk kembali mendaftar karena tidak mengalami musibah, pemahaman dari petani soal pembayaran premi asuransi pun cenderung rendah.
Untuk itu, Kementerian Pertanian hingga kini terus berkoordinasi dan melakukan sosialisasi dengan Dinas Pertanian tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta petani binaan dalam rangka edukasi manfaat AUTP.
Dia berharap edukasi kepada petani bisa semakin optimal seiring masifnya sosialisasi AUTP. Dengan begitu, mereka bisa meningkatkan wawasan dan kesadaran terhadap perlindungan usaha pertanian.
“Sangat perlu (sosialisasi) agar petani lebih paham terhadap AUTP ini. Luasnya wilayah Indonesia dan terbatasnya SDM membuat sosialisasi yang masif sangat diperlukan,” sebut Indah.
Dari sisi kinerja, Kementan pun bakal mendorong perusahaan asuransi yang menjadi mitra agar meningkatkan kinerja.
“Terutama dalam menerima dan menyelesaikan klaim,” imbuhnya.
Minimnya keikutsertaan petani serta kurang gencarnya sosialisasi AUTP sejatinya kian menempatkan produksi pertanian tak mudah terproyeksikan sekaligus terproteksi.
Padahal, perubahan iklim jelas bukan hanya bermanifestasi pada kekeringan dan banjir. Kenaikan serangan OTP, banjir maupun kekeringan, juga bisa membuat gagal panen. Data Direktorat Perlindungan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, menyebut akibat perubahan iklim, rerata luas puso tanaman padi secara nasional dalam lima tahun mencapai 92.341 ha, dari luas tanam 11,06 juta ha.
Rinciannya, tanaman puso akibat serangan hama dan penyakit rerata 5 tahun sebesar 5.484 ha. Selain itu, rerata luas tanaman puso yang terdampak banjir selama 5 tahun mencapai 48.092 ha dan kekeringan mencapai 38.765 ha.
Sementara, minat generasi muda menjadi petani semakin tipis. Catatan pemerintah, sebanyak 71% petani Indonesia saat ini berumur 45 tahun ke atas. Tanpa proteksi, petani gigit jari. Minat bertani pun kian menyusut, dan ketahanan pangan menjadi kian rapuh. Masa depan sektor pertanian pun kian menjadi tak menentu. []