Ingat … !!! Bukan Hanya Uang, Anak PMI Juga Butuh Kasih Sayang
Bagi Ayi, berjumpa dengan ibunya sendiri adalah sebuah kemewahan. Bayangan jamak tentang orangtua yang mengingatkan PR sekolah dan menyuruh mandi tak ada dalam kesehariannya. Perempuan yang ia panggil Mama itu hanya bisa pulang sekali dalam tiga tahun.
“Setiap ambil rapor, yang lain sama ibunya, aku mah enggak. Yang lain masuk SD pertama diantar sama ibunya, aku mah enggak. Aku enggak pernah buka puasa dan salat berjamaah bareng kedua orangtua,” singkap Ayi, 17 tahun, 20 Juli 2018 lalu di Surabaya.
Ayi adalah anak buruh migran asal Tasikmalaya, Jawa Barat, yang ditinggal ibunya sejak balita. Saat Ayi duduk di kelas 2 SD, ibunya pulang untuk pertama kali. Dari situlah Ayi mengetahui bahwa ibunya bekerja sebagai buruh di Oman.
“Pangling. Biasa saja, polos,” tutur Ayi yang masih mengingat kesannya atas pertemuan itu. Sejak saat itu, mereka rutin berkomunikasi telepon seluler setiap hari sampai mereka kembali bertatap muka tiga tahun kemudian.
Ayi dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Selain memastikan kebutuhan primer Ayi terpenuhi, mereka berdua mengajari gadis itu membaca dan mengaji.
Ayahnya sudah lama hilang dari hidup Ayi. Menurut Ayi, selain suka bermain perempuan, ayahnya juga menghamburkan uang kiriman dari ibunya. Mereka berdua kemudian bercerai. Ayah Ayi lalu bekerja di Arab Saudi dan menikahi perempuan yang ditemuinya di sana.
Meski tak diasuh oleh ayah ibunya, sejak SD hingga SMP Ayi selalu meraih ranking pertama di kelas. Ibunya selalu menjanjikan hadiah, asalkan Ayi berprestasi. Kini Ayi sudah duduk di kelas 3 SMA. Ia ingin melanjutkan studi agar bisa menjadi guru matematika. Masalahnya, Ayi tak mau ibunya terus-menerus bekerja jauh dari sanak-keluarga demi membiayai sekolahnya.
“Mama kelihatan kurus dan capek,” ujar Ayi, menceritakan pertemuan terakhir dengan ibunya di bandara. Namun, ibunya kembali bekerja. “Mama [ingin] anak Mama sama dengan anak-anak orang lain, supaya [nasibnya] enggak seperti mama.”
***
Sintia adalah remaja berumur 16 tahun asal Ledokombo, Jember, Jawa Timur. Enam tahun yang lalu, ketika Sintia kelas 5 SD, ayah dan ibunya berangkat menjadi buruh migran di Malaysia bermodalkan ijazah SD. Ibunya sempat pulang tiga tahun lalu selama 25 hari, lalu pergi ke Malaysia lagi.
“Ayah sudah 6 tahun enggak ada kabar,” kata Sintia dengan logat Maduranya yang kental.
Saat ditinggalkan kedua orangtua, Sintia dititipkan kepada kakek dan neneknya. Dua sepuh yang bekerja sebagai buruh tani itu adalah bagian dari 13 persen warga buta huruf di Jember (data 2016). Selain sekolah, Sintia dulu bertugas memandikan dan memberi makan adiknya. Ia hanya punya waktu belajar saat sang adik tidur.
“Kadang adik nangis kangen sama ibu. Ibu telepon seminggu tiga kali,” tuturnya. “Saya kangen masakan ibu, tumis buncis, suka banget.”
Sintia kini tinggal di Pondok Pesantren yang berjejaring dengan program collaborative parenting Komunitas Belajar Tanoker Jember. Ia berada di peringkat tiga besar di kelasnya. Tujuh piala sudah ia raih.
Setiap Haflatul Imtihan, masa kenaikan kelas dan pengambilan rapor di Pondok Pesantren, Sintia kembali merasa sendiri. “Kalau ada intihan, anak-anak sama ibu dan bapaknya, aku cuma bisa lihat. Mereka dikirimi sama orangtuanya dan dibeliin baju. Aku iri. Aku pengin ibu,” kata Sintia sembari menyeka air mata.
Sintia tak pernah meminta apa pun di luar kebutuhan sekolah kepada ibunya. Satu-satunya yang dia minta hanyalah berfoto bersama kedua orangtuanya.
Di Jember, banyak rekan sebaya Sintia yang menikah pada usia anak-anak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, pada 2016 terdapat 30,48 persen pernikahan dini di Jember. Sintia melawan arus itu.
“Aku pengin sekolah yang rajin biar jadi orang sukses. Pengin ngebanggain orang tua. Pengin nunjukin ke teman-teman yang sering nge-bully,” tegasnya.
***
Septiana ditinggal ayahnya yang pergi ke luar negeri sejak berumur delapan bulan. Tak pernah memberi kabar, sang ayah akhirnya pulang saat Septiana sudah berumur empat belas tahun.
“Ayah pulang dengan membawa istri [baru], ibu tiri saya sama adik tiri saya. Setelah itu, dia pergi lagi ke Malaysia,” kata remaja berumur 16 tahun asal Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.
Ibunya juga sempat bekerja di Arab Saudi, lalu pindah ke Malaysia. Sejak berusia 8 tahun, Septiana diasuh oleh neneknya. Ketika pulang, ibunya pulang dan menikah lagi. Kini Septiana memiliki ayah tiri, ibu tiri, dan beberapa adik tiri.
“Ayah saya itu enggak pernah nafkahin saya,” ungkapnya sembari sesenggukan.
Septiana beberapa kali bekerja untuk turut mendongkrak keterpurukan keuangan keluarga. Saat duduk di bangku SD, ia berjualan es lilin seharga Rp500 dan kue Rp1000. Hasil kerja kerasnya dia gunakan untuk keperluan sekolah.
“Pernah juga jadi buruh ke sawah. Kerjanya nanam jagung, tembakau. Dibayar paling banyak Rp50 ribu per hari. Itu paling lama kerjanya 5 hari,” tuturnya. Berdasarkan data BPS, pada 2016 di Lombok Timur terdapat 18,46 persen masyarakat miskin.
Di provinsi ini pula, berdasarkan data Kemendikbud (2018) sebanyak 450 anak SD, 1.054 anak SMP, 970 anak SMA, dan 1.244 anak SMK putus sekolah. Namun, Septiana tetap ingin mengenyam pendidikan tinggi. Gadis ini bercita-cita menjadi polisi yang tegas.
***
Presiden Jokowi akan bertemu dengan Ayi, Sintia, dan Septiana hari ini untuk merayakan Hari Anak Nasional di Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur. Septiana akan berdialog langsung dengan Jokowi, mewakili lebih dari 170 anak marjinal yang dihimpun oleh The Asia Foundation.
Selain mengatasi persoalan tenaga kerja di dalam negeri, para pekerja migran juga mendatangkan jumlah uang yang tak sepele. Pada 2017, remitansi dari pekerja migran mencapai $8,78 miliar atau setara Rp118,83 triliun. Tak layak jika pemerintah abai akan masalah dan kebutuhan anak-anak yang rentan akibat orangtua mereka tak punya pilihan selain bekerja di luar negeri.
“[Saya] akan bilang ke Pak Jokowi berbagai masalah anak buruh migran dan untuk penuhi hak yang jadi kebutuhannya,” ungkap Septiana. Dia juga akan meminta agar Jokowi memberlakukan kebijakan yang membasmi diskriminasi dan label negatif pada anak buruh migran.
Meski tumbuh dalam keluarga yang jauh dari ideal, Septiana, Ayi, dan Sintia berusaha tegar menguatkan diri dan rekan senasib.
“Yang kuat. Jangan putus asa [dalam] membanggakan orang tua. Biar enggak sia-sia orangtua jadi buruh migran,” kata Sintia.[Hasbi/Tirto]