April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Ironi Demokrasi dan Penegakan Hukum Makin Terkulai di Pelukan Oligarki

15 min read

JAKARTA –  Perjalanan demokrasi di Indonesia selama tahun 2021 ini penuh onak berduri sehingga muncul kekhawatiran mengenai masa depan demokrasi di Indonesia. Wajah demokrasi Indonesia ini nampaknya sudah mengarah ke sistem otoritarian meskipun belum sempurna.

Meminjam istilah profesor politik dari Universitas Warwick, Inggris, Colin Crouch, wajah demokrasi macam begini disebut sebagai masyarakat post democracy. Yaitu masyarakat yang memiliki dan menggunakan seluruh institusi demokrasi, tetapi demokrasi hanya berkembang di permukaan sebagai formalitas belaka.

Apa indikator yang bisa digunakan untuk mengukur kondisi demokrasi di Indonesia saat ini sudah hampir mendekati ajalnya ?, Benarkah kondisi sekaratnya demokrasi di Indonesia itu sebagai dampak dari munculnya oligarki dalam perpolitikan di Indonesia ?. Bagaimana sebuah institusi demokrasi bisa jatuh terkulai dalam pelukan oligarki dalam menjalankan peran dan fungsinya?

 

Tanda Tanda Kematian Itu

Diakui atau tidak perkembangan demokrasi di Indonesia akhir akhir ini mendapat predikat buruk yang tercermin dari berbagai peringkat indeks demokrasi global yang dikeluarkan oleh beberapa Lembaga ternama. The Economist Intelligence Unit (EIU, misalnya mencatat dalam 14 tahun terakhir ini,  demokrasi di Indonesia menurun kualitasnya. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat empat di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina.

Menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia saat ini semakin kentara saat pandemic virus corona melanda. Ditengah kondisi pandemi dan resesi ekonomi saat ini,  muncul kecenderungan lahirnya kebijakan kebijkan pemerintah yang terkesan berlebihan sehingga menafikan nilai nilai demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya.

Beberapa indikator dapat dikemukakan yang mengindikasikan bahwa kehidupan demokrasi akhir akhir ini sudah hampir mendekati kematiannya. Mengacu pada ciri kematian demokrasi sebagai diteorikan oleh dua orang professor Harvard (Daniel Ziblatt  dan Steven Levistky, 2018), maka tanda tanda kematian demokrasi itu mulai nampak gejalanya. Gejala kematian itu diantaranya adalah :

Pertama, Aturan main demokrasi mulai diabaikan. Salah satu contoh mulai dilanggarnya aturan main demokrasi itu adalah derasnya wacana untuk masa jabatan presiden tiga periode yang sebelumnya dua periode saja. Munculnya wacana masa jabatan presiden tiga  periode merupakan bentuk pelanggaran terhadap pembatasan kekuasaan karena saat ini penguasa eksekutif hanya boleh dipilih maksimal dua kali saja. Adanya pembatasan tersebut mengacu pada moral dasar demokrasi bahwa kekuasaan tidak boleh berada di satu tangan, tetapi harus menyebar seluas mungkin sehingga tidak ada yang memonopolinya.

Oleh sebab itu, dalam pengelolaan negara dibuat mekanisme sirkulasi rutin melalui pemilihan kepala negara secara berkala. Oleh karena itu pula apabila masa jabatan persiden tiga periode benar-benar diwujudkan dimungkinkan akan menimbulkan persoalan baru nantinya. Ada risiko besar yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia. Sebab, semakin lama suatu kekuasaan maka kemampuan untuk mengumpulkan sumber daya menjadi lebih kuat sehingga penguasa akan berlaku bagaikan seorang raja.

Wacana presiden tiga periode sesungguhnya melanggar pasal 7 UUD 1945 karena disana telah diatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal 2 periode saja. Memang UUD 1945 bisa diamandemen tetapi kalau ini dilakukan akan berarti suatu kemunduran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena pembatasan masa jabatan dua periode yang berlaku sekarang sesungguhnya untuk membatasi kekuasaan  presiden yang sedang berkuasa. Sebelumnya, dalam UUD lama disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali untuk periode berikutnya.  Hal itu dapat dimaknai jika telah terpilih bisa dipilih kembali hingga berkali-kali karena tidak ada pembatasannya.

Sesungguhnya pembatasan kekuasaan itu bersifat legal dan etik dimana pembatasan legal adalah sesuai ketentuan yang ada sementara pembatasan etik adalah bentuk pembatasan yang tidak diatur dalam ketentuan yang ada namun berdasarkan etika.Sebagai contoh, penguasa aktif diharapkan tidak mendorong keluarga dekat untuk meneruskan kekuasaannya. Meski hal itu tidak dilarang/dibatasi secara hukum, tapi ada batasan secara etika. Saat ini batasan etik ini banyak dilanggar karena mungkin dianggap sebagai hal yang biasa saja.

Kini, meskipun presiden tiga periode melanggar ketentuan yang ada namun ada pihak pihak tertentu yang menjadi pendukung penguasa begitu getol memperjuangkannya. Seolah olah apa yang diperjuangkan merupakan hal yang mulia pada hal ia menyalahi ketentuan hukum yang ada dan juga etika demokrasi politik yang seharusnya di jaga bersama.

Kedua, Upaya Pemberangusan lawan lawan politik.  Masyarakat saat ini dinilai sudah mulai memahami gaya politik Pemerintahan yang sedang berkuasa dalam menyingkirkan lawan politiknya. Kriminalisasi dinilai menjadi andalan Pemerintahan saat ini  dalam menyingkirkan lawan politiknya. Deretan tokoh dan kelompok Gerakan 212  dan pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) telah mendapatkan perlakuan yang kental nuansa politiknya. Mereka diantaranya pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Anton Permana dan yang lain lainnya.

Salah satu langkah atau upaya penyingkiran lawan politik itu juga terjadi pada bulan maret tahun ini dengan digelarnya KLB partai Demokrat yang dilakukan oleh orang istana.  Dalam kaitan ini pengamat Politik Saiful Mujani angkat bicara soal kisruh Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatra Utara. Lewat akun Twitter resminya Jumat (5/3/2021) malam, Saiful mengatakan zaman orde baru (orba) yang otoriter pengambilalihan kekuasaan lewat kongres luar biasa (KLB) dilakukan oleh kader partai sendiri tapi sekarang oleh pejabat negara. “Di era demokrasi sekarang demokrat justeru diambil alih oleh pejabat negara yang mestinya melindungi semua partai. Ironi luar biasa,” ujarnya melalui akun Twitternya Jumat (5/3/2021)

KLB partai demokrat yang di dalangi pejabat negara merupakan rekayasa politik dari kekuatan dalam lingkaran istana yang kemudian dianulir sendiri oleh Menteri hukum dan HAM setelah ada protes keras  dari masyarakat sipil dan elemen elemen bangsa lainnya.

Ketiga, toleransi penggunaan kekerasan dalam penyelesaian masalah. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan 651 tindak kekerasan yang dilakukan Kepolisian RI (Polri) sejak Juni 2020 hingga Mei 2021. Tindak kekerasan pada masyarakat sipil tersebut terjadi pada berbagai tingkatan. Lebih dari setengah atau 61,3% kekerasan dilakukan kepolisian resor (Polres) yang setara dengan 399 kasus. Kepolisian daerah (Polda) menyusul sebab melakukan 135 kasus kekerasan. Sementara, kepolisian sektor (Polsek) di posisi terakhir dengan 117 kasus kekerasan.

Penembakan dalam penanganan aksi kriminal menjadi bentuk kekerasan yang paling dominan dilakukan pihak kepolisian. Pasalnya, aksi tersebut telah menewaskan 13 orang dan 98 orang lainnya luka-luka. KontraS menilai, jatuhnya korban lantaran penggunaan senjata api yang tak sesuai prosedur. Hal ini mencerminkan penerapan kekuatan yang berlebihan dan kesewenang-wenangan aparat.

Sementara itu  menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan 202 pelanggaran aparat kepolisian selama 2019-2021. Bentuk pelanggaran mulai dari penangkapan sewenang-wenang hingga pembungkaman kebebasan berpendapat di muka umum. Pelanggaran oleh polisi justru meningkat selama pandemi. Antara lain dipicu Surat Telegram Polri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020 tentang larangan demonstrasi dengan dalih pencegahan pandemi virus corona.

Keempat, diberangusnya kebebasan sipil termasuk media.Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arief Maulana menyebut tahun 2021 sebagai tahunnya pembungkaman terhadap kemerdekaan berpendapat. Menurutnya, kritik publik atas salah urus negara oleh pemerintah dibungkam.”Yang jelas tahun ini bisa kita katakan adalah tahun pembungkaman terhadap kemerdekaan berpendapat dan berekspresi rakyat yang menyuarakan kritik terhadap salah urus negara,” kata Arief dalam peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Jakarta, Jumat (17/12).

Dilingkungan awak media, sebuah kasus pers yang bermula dari 3 berita yang ditulis oleh Muhammad Asrul pada Mei 2019 tentang dugaan korupsi di kota Palopo yang diduga melibatkan Kepala BPKSDM Palopo, telah menyeret Asrul untuk merasakan dinginnya lantai penjara.

PN Palopi baru – baru ini telah menerbitkan vonis bersalah terhadap Muhammad Arsul pada Selasa 23 November 2021.Sustira Dirga, Peneliti ICJR menyebutkan jika Vonis bersalah yang dijatuhkan oleh PN Palopi telah mengancam kebabasan pers di Indonesia. Alasannya karena sengketa pers bukanlah tindak pidana dan penyelesaian yang paling tepat adalah melalui Dewan Pers. Penyelesaian sengketa melalui Dewan Pers telah diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/Peraturan-DP/VII/2017, tutur Dirga seperti dikutip media.

Dirga juga menginigatkan kalau mendahulukan penyelesaian sengketa pers melalui mekanisme pidana juga berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 1608K/Pid/2005 yang menyatakan bahwa tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan pers bebas. Oleh karena itu tata cara non pidana seperti yang diatur dalam UU Pers harus didahulukan daripada ketentuan hukum lainnya.

 

Dampak Oligarki ?

Mulai merebaknya tanda tanda kematian demokrasi di Indonesia sebagaimana dikemukakan diatas sepertinya tidak terlepas dari adanya kekuatan oligarki yang saat ini kembali menggurita di Indonesia setelah tumbangnya orde baru (orba)

Dalam sebuah tulisannya, Wijayanto Direktur Center for Media and Democracy, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan (LP3ES) mengatakan  salah satu penyebab utama kemunduran demokrasi di Indonesia adalah kekuatan oligarki yang cepat terkonsolidasi setelah Reformasi 1998 terutama sejak 2019 di satu sisi dan di sisi lain tergesa-gesanya masyarakat sipil untuk berkonsolidasi dan bersaing dengan mereka .

Menurut Jefrey Winters, sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto sang penguasa Orba. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto saat itu berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok para jenderal, kelompok pribumi da penguasa etnis Tionghoa.

Sistem oligarki Soeharto mulai mengalami gangguan saat anak-anak Soeharto mulai beranjak dewasa karena mereka tertarik untuk berbisnis pula. Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, disebabkan para oligark di bawah Soeharto sudah tidak mau membela Soeharto lagi akibat tingkah laku anak-anaknya yang merugikan mereka.

Pasca kejatuhan Orba, kelompok oligark masuk menyusup ke pusat pusat kekuasaan melalui mekanisme demokrasi yaitu pemilu. Mereka yang memiliki kekuatan modal berlomba lomba untuk “beternak” penguasa mulai jabatan di tingkat legislative, eksekutif maupun yudikatif.

Dalam kaitan ini partai politik memiliki peran strategis sekaligus vital, sebagai agregator demokratisasi di Indonesia. Sayangnya fungsi vital partai politik ini sekarang sudah dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki modal kapital dan sosial yang kuat, mereka adalah penentu segalanya.

Mereka dengan kewenangan dan kekuasaannya suka menggelar karpet merah kepada para pemburu kekuasaan dengan cara memodalinya. Pada akhirnya praktik ideal partai politik dalam hal rekrutmen kepemimpinan  lebih sering tidak terlaksana.

Secara internal, partai politik bahkan kerapkali gagal mempraktikkan mekanisme demokrasi dan terjebak dalam budaya oligarki sebagai pengendalinya. Dalam konteks politik nasional, hal itu tampak jelas dalam mekanisme penjaringan calon anggota legislatif maupun kepala daerah oleh sejumlah partai selama gelaran Pilpres maupun Pilkada.

Tampak jelas bahwa seleksi calon legislatif dan eksekutif justru dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai demokrasi sebagai landasan dasarnya. Sistem penjaringan cenderung tertutup, tidak transparan, dan tidak memungkinkan public untuk memantaunya apalagi berkontribusi menentukan calon calonnya.

Belum lagi soal fenomena mahar politik yang selalu mengiringi proses penjaringan calon pemimpin bangsa baik ditingkat nasional maupun daerah selama pilpres, maupun pilkada.

Di tangan para elite itulah segala keputusan partai politik ditentukan melalui mekanisme hirarki yang kaku, alias dari atas ke bawah atau topdown sifatnya. Seorang ketua partai beserta orang-orang di lingkaran terdekatnya merupakan sosok-sosok superior yang memegang kewenangan penuh dalam ihwal decision making, termasuk menentukan siapa yang bakal diusung dalam pilpres, pileg maupun dalam pilkada.

Menjadi tidak mengherankan manakala dalam konteks usung mengusung calon pemimpin, partai politik cenderung mengistimewakan figure figur yang dinilai memiliki modal kapital yang mumpuni untuk operasi pemenangannya. Acapkali figur terpilih  bukan kader partai dan terbilang tidak memiliki basis pendukung yang berafiliasi dengan parpol tertentu sebagia pengusungnya.

Partai politik begitu kuat perannya dalam Negara, sehingga layak dikatagorikan sebagai monopolistic sifatnya. Setelah lebih dari dua dekade, ternyata penguatan peran secara cepat (mendadak) yang tanpa dilandasi pendewasaan secara memadai itu, mengkondisikan partai menjadi rentan oleh jebakan hakekat kekuasaan berupa kecenderungan untuk membesar dan memusat ditangansegelintir orang saja. Maka tidaklah mengherankan, apabila dewasa ini semakin dikenali penguatan watak sistem kekuasaan oligarki di dalam partai politik di Indonesia.

Sebagai salah satu hasilnya, para politisi partai di parlemen/ DPR menjadi tidak responsif terhadap rakyat yang telah memilihnya. Mereka bahkan banyak yang bersikap “anjing menggonggong kapilah berlalu” yang memaksakan kehendak dengan mengabaikan aspirasi dan kritik masyarakat yang diwakilinya

Meskipun prinsip demokrasi perwakilan membiasakan equality antar anggota parlemen/DPR karena persamaan prosedur yang ditempuh untuk menjadi anggota dan persamaan kedudukan sebagai wakil rakyat, namun dalam praktek semua persamaan itu dikalahkan oleh dominasi  partai melalui fraksi sebagai ujung tombaknya.

Saat ini hampir tidak ada satupun struktur dan kultural serta proses parlemen/DPR sebagai intitusi dan sistem kekuasaan dalam Negara yang tak bisa dikontrol fraksi sebagai pengendalinya. Fraksi atau gabungan fraksi, menjadi penentu agenda dan proses kinerja serta keputusan DPR dan unit fungsionalnya.

Fraksi mengendalikan dan mengontrol anggota parlemen/DPR dengan alasan indisipliner, atas nama dan persetujuan pimpinan partainya. Fraksi bertanggungjawab kepada partai, bukan kepada konstituennya, maka kepentingan partai dan fraksi serta anggotanya dijadikan pijakan oleh fraksi untuk memproses kinerja parlemen/DPR yang notabene secara formal mewakili rakyat yang telah memilihnya.

Perjuangan kepentingan yang diatas namakan fraksi itulah yang dijadikan jalur penyaluran oligarki sistem kekuasaan partai ke dalam sistem kekuasaan parlemen/DPR sebagai komponen Negara. Tak aneh jika saat ini banyak produk produk legislasi di DPR yang kental nuansa titipan dari para oligark yang masuk menyusup ke agenda fraksi fraksi di DPR sebagai kepanjangan tangannya.

Kelompok oligark di saat pandemi corona saat ini nampak begitu sigap memanfaatkan peluang yang ada. Mereka berusaha mengoptimalkan situasi yang ada untuk menangguk untung yang sebesar besarnya agar tetap terjaga kepentingannya. Mereka berupaya mengatur negara melalui  “wakil wakilnya”.

Di bidang legislasi misalnya, produk yang dihasilkan DPR kerap kali bertolak belakang dengan kebutuhan masyarakat yang diwakilinya. Lolos dan disahkannya beberapa ketentuan Undang-Undang yang bersifat kontroversial  adalah sebagai bukti kemenangan oligarki sepanjang pandemi virus corona.

Ke depan sudah barang tentu kondisi “nyaman” yang telah dirasakan saat ini dan keberhasilan dalam menggoalkan beberapa ketentuan Undang Undang yang berpihak kepada kepentingan mereka harus tetap terjaga diperiode periode berikutnya. Kalau bisa malah sampai tiga periode meskipun menyalahi ketentuan yang ada.

Mereka tidak ingin ada perubahan kekuasasaan yang membuat kepentingan kelompok oligark ini terganggu karenanya. Oleh karena itu diupayakan agar kekuasaan negara tetap berputar putar di lingkaran mereka agar mudah untuk mengendalikannya. Sebab kalau sampai ada calon alternatif yang didukung rakyat menang dan menginginkan Indonesia lepas dari jeratan oligarki maka kaum oligark yang akan dirugikannya.

Salah satu cara agar kepentingan oligarki selalu terjaga adalah dengan menetapkan ambang batas presiden atau Presidential Threshold yang tinggi agar tidak ada peluang tokoh bangsa yang kredibel berkesempatan menjadi penguasa.

Presidential Threshold (PT) yang tinggi (20% suara dukungan parpol untuk maju Pilpres), yang diikuti di daerah-daerah seluruh Indonesia (20% suara dukungan parpol untuk maju Pilkada) adalah salah satu sumber utama dari korupsi politik  yang didorong kelompok oligark untuk menjaga kepentingannya.

Dengan adanya PT yang tinggi, tidak mungkin sebuah parpol mengusung calonnya sendiri, parpol terpaksa harus bergabung mendukung calon yang mampu membayar “sewa” parpol mereka. Si calon, bila kebetulan bukan orang yang kaya, terpaksa mencari dukungan grup-grup bisnis yang mau membiayai “sewa parpol” yang akan menjadi kendaraan politiknya.

Tidak main-main, dalam kontes semacam Pilpres harga sewa parpol infonya hingga triliunan rupiah nilainya. Ini sistem yang sangat jahat, menutup munculnya pemimpin alternatif yang dikehendaki oleh rakyat jelata. Sehingga calonnya menjadi itu-itu saja, kalau bukan orang yang kaya karena korupsi, dia harus orang yang dekat dengan grup-grup bisnis besar yang siap menjadi bandarnya. Nanti bila calon ini menang, gantian grup-grup ini minta balas jasa. Akhirnya pemimpin terpilih terpaksa korupsi lagi untuk balas jasa kepada para sponsornya.

Untuk  mengamankan persoalan PT ini maka antisipasinya lembaga seperti MK harus berada di bawah kendalinya, agar segala gugatan terhadap Presidential Threshold harus ditolak (sudah 15 kali ditolak). Apapun caranya, berapapun biayanya.

 

Terkulai di Pelukan Oligarki

Menurut paham negara Demokrasi modern, Partai Politik, Pemilihan Umum dan Badan Perwakilan Rakyat merupakan tiga institusi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.Wajar kalau kemudian setiap Partai Politik akan selalu berusaha untuk memperoleh dukungan rakyat pada saat Pemilihan Umum agar Badan Perwakilan Rakyat di dominasi oleh partainya.

Sayangnya peran strategis partai politik dalam negara demokrasi itu kini sudah dikuasai oleh kelompok oligarki sebagai pengendalinya. Bagaimana sebuah institusi penting demokrasi seperti partai politik bisa terjebak dalam lingkaran oligarki sebagai pengendalinya ?

Pertama, Munculnya figur utama atau elite partai yang menjadi penentunya, di partai politik biasanya adalah Ketua Umumnya. Figur yang muncul ini biasanya akan menjelma menjadi “orang kuat” yang bisa menentukan segalanya. Tampilnya figur ini kerap berlebihan sehingga memunculkan fanatisme buta di lingkungan pendukung internalnya. Tak aneh kalau kemudian sebuah partai-partai yang sejak awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh penentu itu   kemudian cenderung berpotensi mengalami oligarkis. Keberadaan figur ini, di satu sisi mampu menghadirkan stabilitas partai. Namun, di sisi lain juga berpotensi besar menghadirkan model pengaturan dan tata kelola partai yang sentralistik karena kekuasaan ada ditangannya.

Kedua, Ketergantungan pada sumber sumber finansial tertentu. Dalam hal ini Colin Crouch (2004) menggunakan istilah “firma politik” untuk menggambarkan ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai yang pada akhirnya bagaimana partai dikelola. Situasi ini sangat terasa terutama pada partai-partai yang tidak berorientasi values atau ideologi dalam aktivitasnya. Akibatnya, jaringan (networking ), konstelasi, ataupun kontestasi internal yang terbentuk saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor kekuatan material-finansial belaka.Dulu almarhum Cak Nur pernah menyinggung faktor ini dengan istilah kepemilikan “gizi”.  Karena faktor finansial inilah yang menjadi salah satu sebab partai politik semakin erat berpelukan dengan kelompok oligard yang menjadi penyandang dananya.

Ketiga, pelembagaan partai yang belum dijalankan sebagaimana mestinya. Pelembagaan partai itu sendiri singkatnya adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta dijalankan secara konsisten oleh pengurus dan jajaranya.

Namun, yang terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan formalitas sifatnya. Sistem dan aturan kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan sedemikian rupa demi kepentingan elite dan jaringan oligarkinya. Dalam momen-momen tertentu, pelaksanaan musyawarah dan agenda partai sesuai dengan yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dijalankan, namun sifatnya terkesan hanya untuk menggugurkan kewajiban saja.

Pada kenyataannya, keputusan partai kerap diambil sepihak oleh elitnya. Sementara hukuman bagi mereka yang membangkang atau dianggap tidak loyal bisa diputuskan secara cepat, tanpa harus melalui tahapan-tahapan pemeriksaan sebagaimana mestinya. Turunan dari lemahnya kelembagaan adalah proses kaderisasi yang mati suri karena tidak dijalankan secara konsisten sesuai kaidah kaidah partai yang telah disepakai bersama.

Pada akhirnya bisa muncul  “figur-figur asing” untuk bisa langsung berada dalam lingkar kekuasaan, yang kiprahnya kebanyakan cenderung mengokohkan oligarki dengan mengabaikan aturan dalam anggaran dasar maupun anggaran rumah tangga partainya.

Keempat, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai membuka peluangnya. Kuatnya peran elit partai seringkali dimungkinkan karena peraturan internal partai memang memberikan peluangnya. Peluang ini mungkin sengaja dibuka agar elite politik yang menjadi penguasa selalu terjaga keinginan dan misinya. Fenonena ini pada akhirnya melahirkan fanatisme buta kelompok kelompok internal partai yang mempunyai mental sebagai “penjilat” pimpinannya.

Sebaliknya bagi intenal partai yang tidak mempuyai sikap ketundukan pada “dawuh” pimpinan partai tidak akan mendapatkan tempat bahkan bisa tersingkir dari posisinya.Fenomena ini pada akhirnya turut menyuburkan lahirnya kelompok oligark di sebuah partai akibat kuasa mutlak elit partainya.

Kelima, Secara Formal belum ada ketentuan yang mengatur upaya untuk menetralisir kehadiran oligark dalam sistem politik di Indonesia.  Saat ini aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya.Sejauh ini belum ada ketentunan yang mengatur tentang  keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu menetralisasi peran oligarki yang semakin menggurita.Peraturan yang ada justru menyuburkan hadirnya kelompok oligark didalam struktur kekuasaan yang ada.

Adanya syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elite partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elite maupun ketergantungan kader pada manuver elitenya.

Sementara itu pada sisi lain, kurang kritisnya masyarakat atau civil society pada kondisi internal partai-partai telah menyebabkan elite partai merasa nyaman karena  tidak merasa terusik apalagi terpicu memperbaiki diri agar bisa benar-benar menjadi lembaga demokrasi yang mampu bersikap dan berperilaku demokratis untuk kepentingan bersama.

Itulah kiranya kondisi kelembagaan partai politik yang merupakan pilar utama demokrasi di Indonesia yang sudah terkulai di pelukan oligarki sebagai pengendalinya. Jika jajaran eksekutif mulai Presiden dan pejabat pejabatnya sudah juga menikmati kemesraan di pelukan oligarki, rupanya jajaran legislative dan termasuk partai politik  sedang menikmati menu yang sama. Kenikmatan semu perselingkuhan antara legislative dan eksekutif dalam kehidupan demokrasi di Indonesia dibawah asuhan kelompok oligark ini begitu terasa saat ini ditengah pandemi virus corona.

Melihat fenomena diatas banyak elemen bangsa yang kemudian berusaha berjuang untuk membendung gurita oligark di Indonesia. Sebagai contoh  para aktivis, pakar hukum, ekonom pernah berkumpul di Jakarta Selatan bicara upaya menggoyang oligarki  di Indonesia.  Mereka mengkritik keadaan politik saat ini yang dikuasai kelompok tertentu atau oligarki sebagai pengendalinya

Beberapa sosok yang hadir dalam pertemuan itu antara lain Rocky Gerung, Ferry Juliantono, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Refly Harun, Arief Poyuono, Akbar Faisal dan beberapa tokoh lainnya.

Salah satu inisiator pertemuan yang membawa tema “Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia” Ferry Juliantono dalam sambutannya sempat menyinggung ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold yang dianggap sebagai penghambat demokrasi di Indonesia.

“Mudah-mudahan dengan tekanan, dukungan dari kita semua masyarakat Indonesia yang ingin supaya PT itu bisa 0 persen itu bisa dimenangkan. Itu salah satu cahaya kecil ruang yang insyaallah kalau kita niatkan, kita satukan itu bisa akan tercapai,” kata Ferry, Kamis (28/10) seperti dikutip CNN. Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, pemerhati sosial politik Rocky Gerung menyindir bahwa sistem pemilu nasional saat ini telah membentuk oligarki yang terus beternak politisi muda.Rocky mengatakan sistem ketatanegaraan perlu diperbaiki secara mendasar, salah satunya lewat reformasi aturan presidential treshold 0 persen.”Dengan cara itu kita mencegah oligarki, beternak politisi baru di 2024. Sebetulnya itu strateginya yang bisa kita pikirkan sama-sama,” katanya.

Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai sistem pemilu saat ini hanya menguntungkan kelompok tertentu saja.Lewat revisi UU Pemilu dengan mengubah syarat pencalonan presiden, dia yakin demokrasi di Indonesia akan lebih sehat ke depannya.”Artinya apa? kalau oligarki atau kekuatan Istana ini solid, maka tidak ada lagi kekuatan oposisi yang akan berkembang. Mereka bisa menciptakan 2-3 calon untuk pemilu gajah,” katanya.

Harus diakui banyak harapan dan keinginan disampaikan untuk mengakhiri domoninasi oligarki dalam perpolitikan di Indonesia namun keberadaan kaum oligark itu saat ini memang sangat perkasa sehingga bisa mematikan kehidupan demokratis di Indonesia. Mereka sukar untuk di enyahkan dari gurita perpolitikan di Indonesia karena kekuatan finansial dan pengaruh kekuasaannya.Sampai kapankah kiranya fenomena ini terus terjadi di negara kita ? []

Penulis Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR

Advertisement
Advertisement