April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

[OPINI] Deforestasi Hutan di Wilayah Indonesia dan Beberapa Kontroversi yang Kontradiktif

11 min read

JAKARTA – Memasuki musim hujan fenomena alam kembali terjadi dimana mana. Musibah banjir hampir selalu tejadi ketika musim hujan tiba. Terjadinya banjir bukan semata mata karena fakror alam belaka tapi lebih banyak disebabkan oleh ulah manusia.

Bencana banjir yang cukup parah akhir akhir ini terjadi Kabupaten Sintang Kalimantan Barat yang sudah berlangsung sebulan lamanya.Berdasarkan data BPBD Kabupaten Sintang  pada Sabtu (06/11/20-21), sebanyak 24.522 KK atau 87.496 jiwa terkena dampaknya. Banjir ini  mengakibatkan dua warga, masing-masing dari Kecamatan Tempunak dan Binjai meninggal dunia.

Menurut Gubernur Kalimantar Barat (Kalbar) Sutarmidji, penyebab utama banjir karena adanya deforestasi yang sudah berlangsung lama.  Bahwa deforestasi menjadi penyebab banjir sebenarnya bukan hanya terjadi di Kabupaten Sintang saja tapi juga ditempat tempat lainnya khususnya di Kalimantan dan Sumatera.

Apa sebenarnya deforestasi, penyebab dan dampak yang ditimbulkannya  ? Kontroversi apa saja yang timbul di tengah isu deforestasi yang saat ini terjadi di Indonesia ?,

 

Deforestasi, penyebab dan dampaknya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, deforestasi adalah aktivitas penebangan hutan sehingga aktivitas apa pun yang dilakukan untuk mengurangi jumlah tanaman pada hutan bisa dinamakan deforestasi.

Selanjutnya Menteri Kehutanan juga mendefinisikan deforestasi sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.30/MENHUT-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).Menurut aturan ini deforestasi diartikan sebagai pengubahan area hutan menjadi lahan tidak berurutan secara permanen untuk aktivitas manusia.

Sementara itu Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) mendefinisikan deforestasi sebagai peristiwa hilangnya lahan tutupan hutan akibat kegiatan manusia ataupun bencana alam.

Seringkali juga deforestasi dimaknai sebagai aktifitas penggundulan hutan sehingga hutan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Proses penggundulan hutan akan mengubah fungsi utama dari hutan yang awalnya untuk melestarikan lingkungan menjadi lahan untuk kebutuhan manusia.

Tim peneliti dari Universitas Duke, Amerika Serikat, pernah merilis temuan terkait dengan deforestasi yang terjadi di Indonesia.Dalam makalah riset berjudul What causes deforestation in Indonesia (2019), tim peneliti itu menyebut tingkat deforestasi Indonesia masih tinggi sehingga mengundang kekhawatiran dunia.

Menurut para peneliti, deforestasi yang  terjadi di Indonesia disebabkan oleh beragam faktor diantaranya akibat industry kelapa sawit yang dibuka secara besar besaran di Kalimantan dan Sumatera.  Menurut analisis pencitraan satelit yang dilakukan tim peneliti, industri kelapa sawit masih menjadi penyebab deforestasi terbesar di Indonesia.Selama periode tahun 2011 – 2016, peneliti menemukan industri sawit telah mengakibatkan deforestasi seluas 2,08 juta hektar atau 23 persen dari kerusakan hutan di Indonesia.

Penyebab deforestasi terbesar kedua setelah industri sawit adalah konversi hutan menjadi semak belukar atau padang rumput/ savana. Menurut amatan peneliti, kerusakan hutan jenis ini mayoritas terjadi akibat kebakaran hutan yang hampir selalu terjadi setiap tahunnya.Sepanjang tahun 2011 – 2016, terjadi konversi hutan seluas 1,84 juta hektar atau 20 persen dari deforestasi nasional. Kerusakan macam ini paling banyak terlihat di Sumatera.

Peringkat ketiga sebagai penyebab deforestasi di Indonesia menurut peneliti disebabkan oleh adanya pertanian skala keil yang tersebar luas hampir diseluruh Indonesia. Biarpun lahannya kecil-kecil dan tersebar, namun total luas hutan yang dirambah oleh kegiatan pertanian telah mencapai 1,36 juta hektar atau 15 persen dari deforestasi yang terjadi di Indonesia.Deforestasi jenis ini banyak ditemukan di Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Peringkat keempat ditempati oleh  Industri Penebangan Kayu dimana deforestasi akibat penebangan kayu ini  telah menyebabkan kerusakan hutan seluas 1,26 juta hektar atau 14 persen dari deforestasi yang terjadi di Indonesia.

Selanjutnya berdasar amatan citra satelit, peneliti menemukan ada cukup banyak deforestasi yang diakibatkan perkebunan skala besar dimana luas totalnya mencapai 616 ribu hektar atau 7 persen dari deforestasi yang ada.

Turut menjadi penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia secara berurutan yaitu adanya Industri Perkebunan Skala Kecil, jalur pengangkutan kayu, pertambangan, ekspansi kota dan faktor alam lain serta pembukaan lahan untuk pembangunan tambak.

Tahun tahun mendatang diperkirakan proses deforestasi akan semakin massif karena di dukung oleh perangkat kebijakan yang mengkondisikannya. Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan akhir tahun lalu telah  menghilangkan kewajiban pemerintah untuk mempertahankan kawasan hutan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional. Padahal, ambang batas tersebut bertujuan mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat.

Dalam laporan Tinjauan Lingkungan Hidup 2020, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti banjir bandang Bengkulu, Konawe Utara (Sulawesi Tenggara), dan Sentani (Papua) pada 2019. Ketiga bencana alam yang merugikan puluhan ribu penduduk itu salah satunya juga karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan pertambangan.

Akibat deforestasi menimbulkan dampak yang cukup besar pada masyarakat di sekitar hutan dan juga masyarakat dunia pada umumnya. Dampak  yang bisa terjadi misalnya turunnya keanekaragaman hayati baik flora atau fauna. Risiko kepunahan tidak bisa dihindarkan apalagi deforestasi berjalan cukup massif dan merata. Selain itu deforestasi memicu terjadinya aneka bencana alam mulai pemanasan global, erosi, tanah longsor, matinya sumber mata air, kesulitan air bersih, hingga hilangnya sumber pendapatan warga yang tinggal di hutan dan sekitarnya.

Dampak lainnya adalah munculnya perubahan siklus air di bumi sebab hutan merupakan sumber dari uap air yang nantinya akan menjadi awan dan hujan yang akan menyuburkan tanaman di kawasan hutan dan sekitarnya. Selain itu jadi penyebab hilangnya kawasan konservasi dan juga budaya. Hutan yang rusak bisa jadi merupakan hutan adat yang memiliki nilai budaya dan kesakralan bagi warga.

 

Kontroversi Deforestasi

Ditengah ramainya pembahasan soal deforestasi yang dituding menjadi salah satu sebab terjadinya bencana, muncul serangkaian peristiwa kontroversial yang membuat publik bertanya tanya kebenarannya.

Beberapa peristiwa kontroversial terkait dengan soal deforestasi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

 

  1. Ironi Pidato Presiden Jokowi di COP26 dan Potret Nyata Alam Indonesia

Presiden Joko Widodo  menjadi sorotan para pemerhati lingkungan setelah menyampaikan pidato di KTT PBB soal perubahan iklim (COP26) di Glasgow, Senin (1/11). Dalam pidatonya berdurasi 4 menit ini, Jokowi membeberkan klaim capaian dan komitmen Indonesia dalam menangani perubahan iklim.

Presiden Jokowi menyebutkan, laju deforestasi turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir Faktanya, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat.

Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektar kebun sawit. Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi.Deforestasi di masa depan, akan semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek PSN dan PEN dijalankan. Akan ada jutaan hektar hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini.

 

  1. Ironi Pernyataan Siti Nurbaya Soal Deforestasi

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar membuat pernyataan kontroversial yang disebut sejumlah aktivitas lingkungan telah salah kaprah karena ia mempertentangkan antara zero deforestasi dan pembangunan.

Siti Nurbaya bilang deforestasi tak dapat jadi alasan menghentikan pembangunan. “Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” twit dia di akun @SitiNurbayaLHK.

Menteri yang merupakan kader Partai Nasdem itu berkata menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat Undang Undang Dasar (UUD) 1945 untuk menetapkan nilai dan tujuan membangun sasaran nasional demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, Siti Nurbaya menyatakan penolakan terhadap penggunaan terminologi deforestasi yang menurutnya tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia.

Pernyataan Siti Nurbaya ini ditanggapi oleh Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak. Menurutnya, Siti Nurbaya ini menggunakan cara berpikir lama yang sudah ketinggalan zaman karena mempertentangkan pembangunan dengan perlindungan lingkungan.

“Itu sudah jauh kita lampaui karena sudah muncul berbagai konsep pembangunan yang saya kira payung besar adalah pembangunan berkelanjutan atau pembangunan rendah karbon yang konsepnya dikeluarkan Bappenas, dan salah satu instrumen utamanya adalah zero deforestasi,” kata Leo kepada pers.

Selain itu, pernyataan Menteri LHK Siti Nurbaya dinilainya tak menunjukkan keterdesakan dalam upaya mengatasi perubahan iklim saat Indonesia menjadi negara dengan 10 besar penyumbang emisi di dunia. Pernyataan lain yang menyebut bahwa menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat Undang Undang Dasar (UUD) 1945, menurut Leo juga “misleading atau menyesatkan”. Sebab zero deforestasi, adalah bagian upaya mengatasi krisis iklim global yang bisa dimaknai ikut serta dalam perdamaian dunia sebagai amanat pembukaan UUD 1945.

Selain itu, zero deforestasi juga merupakan bagian dari hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan layak, sesuai dengan amanat konstitusi. “Bagaiamana mewujudkan itu kalau kita menolak zero deforestasi,” kata Leo mempertanyakan. Dan saat ini krisis perubahan iklim itu terus terjadi, bencana hidrometeorologi yang mendominasi di Indonesia menurutnya tak bisa dilepaskan dari krisis iklim.

 

3.Hilangnya Kewajiban Mempertahankan 30 Persen Kawasan Hutan

Lebih dari 100 negara di dunia termasuk Indonesia berjanji untuk mengakhiri deforestasi (penebangan hutan) dan degradasi lahan pada 2030 mendatang. Komitmen itu dibentuk pada KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada Senin (1/11).

Di bawah The Glasgow Leaders’ Declaration on Forest and Land Use (Deklarasi Pemimpin Glasgow atas Hutan dan Pemanfaatan Lahan), negara-negara pemilik hutan terbesar dunia juga sepakat untuk melestarikan hutan dan lahan mereka.

Tapi ironisnya komitmen tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan yang menunjukkan arah kesana. Pemerintah Indonesia sendiri justru membuat Undang Undang yang substansinya bertentangan dengan komitmen untuk melestarikan hutan di Indonesia. Diantaranya kewajiban untuk mempertahankan minimal 30 persen kawasan hutan dalam Undang Undang  Kehutanan dicoret lewat UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Maklumat yang ditetapkan langsung sebelumnya oleh mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie setelah reformasi, tapi kini dihapus dalam Omnibus Law yang diusulkan oleh Pemerintah yang sekarang berkuasa.

Dalam Omnibus Law, angka 30 persen hilang dan pengaturan diserahkan kepada pemerintah pusat di tingkat yang lebih rendah dari Undang Undang  yaitu Peraturan Pemerintah (PP).”Pemerintah pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS (Daerah Aliran Sungai) dan/atau pulau,” demikian tertulis dalam Pasal 36 Omnibus Law Cipta Kerja.

Pada hal dahulu  maklumat 30 persen kawasan hutan yang tercantum dalam Pasal 18 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut dimaksudkan agar pemerintah  tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutan, sekalipun di daerah yang memang hutannya sudah di atas 30 persen. “Luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada,” demikian penegasan di UU Kehutanan.

Pertimbangan lainnya Indonesia sebagai negara dengan intensitas hujan yang tinggi, peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, hingga sedimentasi. Maka, ditetapkanlah luas kawasan hutan dalam setiap DAS dan/atau pulau, minimal 30 persen dari luas daratan.

 

  1. Kritik Greenpeace Berujung Pelaporan Polisi dan Aksi Minta Audit

Seperti di singgung diatas, LSM Greenpeace telah memberikan kritikan pedas terhadap Presiden Jokowi terkait dengan soal deforestasi yang menurut Presiden telah turun secara signifikan. Pada hal faktanya , deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019).

Tapi rupanya  kampanye dan kritik yang dilancarkan oleh Greenpeace  tersebut justeru dianggap menebarkan berita bohong.  Adalah Husin Shahab selaku Ketua Cyber Indonesia yang melaporkan Greenpeace  ke Polda Metro Jaya pada Selasa (9/11/2021).

Husin mengatakan pihaknya merasa dirugikan oleh lapor Greenpeace, terkait data deforestasi di Indonesia. Menurutnya, data yang disampaikan Greenpeace Indonesia tidak sesuai fakta dan menyesatkan.”Informasi yang disampaikan Greenpeace menyesatkan, karena data yang disampaikan soal deforestasi tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Justru selama pemerintahan Jokowi yang berusaha untuk menekan peningkatan deforestasi dari tahun ke tahun dan tidak terjadi kebakaran hutan,” ujar Husin dalam keterangan tertulis kepada wartawan seperti dikutip Kompas, Sabtu (13/11/2021).

Tak cukup pelaporan ke polisi, bahkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam sebuah wawancara di televisi swasta,   pun merasa terusik hingga akan mengaudit LSM yang dianggapnya menyebarkan berita tidak benar.

Pada hal secara hukum,  untuk mengaudit sebuah lembaga  seperti LSM itu harus  ada perintah pengadilan dan bukan hanya berdasarkan keinginan dari  pihak eksekutif atau kekuasaan eksekutif semata.

 

  1. Gugatan Banjir Akibat Deforestasi, Menang Tapi Tidak Di eksekusi

Dampak dari deforestasi adalah terjadinya musibah banjir yang terjadi ketika musim hujan tiba. Terjadinya bencana banjir ini telah mendorong LSM seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melakukan gugatan kepada para tergugat.

Untuk melakukan gugatan tersebut, setidaknya ada tiga jalur hukum yang bisa diajukan berkaitan dengan  perkara bencana banjir yang disebabkan oleh deforestasi yaitu : citizen law suit, class action, dan gugatan individu.

Namun berangkat dari pengalaman selama ini, gugatan tersebut pada akhirnya harus berakhir dengan harapan hampa. Seperti pengakuan yang disampaikan oleh  Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Wahyu Perdana. Ia menyebut permasalahan banjir di Indonesia bisa dibawa ke jalur hukum. Namun bila pun menang di pengadilan, pihaknya pesimis para tergugat beriktikad baik melaksanakan putusannya.

Kepesimisan itu bukan tak berdasar, Wahyu berkaca pada gugatan-gugatan terkait lingkungan sebelumnya. Ia mengatakan, jika tak kandas di tengah jalan, maka hasil putusannya tak dilakukan para tergugat.

“Kami kehilangan kepercayaan, kami akan timbang betul. Karena berbagai jenis gugatan, berulang kali menang. Sudah diputus di final aja di Mahkaham Agung masih aja tidak dilakukan,” kata Wahyu seperti dikutip  CNNIndonesia.com, Rabu (10/11/2021).

 

  1. Obral Ijin Alih Hutan

Salah satu penyebab deforestasi adalah karena adanya alih fungsi lahan hutan menjadi areal penanaman sawit dan pertambangan. Mengomentasi hal ini, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang mengatakan, pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak mengobral izin baru untuk membuka tambang dan perkebunan sawit

Dia menyebut, di masa pemerintahannya, Presiden Jokowi justru tidak mengeluarkan izin baru. “Saya pikir zamannya Pak Jokowi itu, tidak mengeluarkan izin-izin baru. Jadi mungkin perlu kita lihat lebih dalam seberapa banyak sih, izin-izin yang sudah diberikan dalam kepemimpinan beliau?,” ujarnya di Gedung Bina Graha, Rabu (20/1/2021).

“Menurut saya bisa dikatakan sangat kecil. Saya tidak tahu persis ya. Saya akan cari ya. Namun intinya bahwa selama pemerintahan Presiden Jokowi tidak obral dengan izin-izin. Poinnya di situ,” lanjutnya menegaskan.

Namun Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyanggah klaim Moeldoko tersebut dengan memaparkan data yang diolah dari Sistem Informasi Pinjam Pakai Kawasan Hutan (SIPPKH) di situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Faktanya, data tersebut menunjukkan bahwa sejak 2016 hingga 2020 terdapat total 592 unit Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

“Atau 241.613,25 hektar luas IPPKH yang dikeluarkan oleh Menteri LHK untuk digunakan bagi kepentingan non kehutanan termasuk sawit dan pertambangan,” kata Merah seperti dikutip Kompas.com, Jumat (22/1/2021). Berdasarkan data itu, ia berpendapat bahwa sepanjang pemerintahan Jokowi, izin baru untuk tambang dan sawit terus dikeluarkan bahkan, kata dia, jumlah dan luas IPPKH meningkat drastis dari rezim pemerintahan sebelumnya.

 

  1. Maraknya Pemburu Rente

Pemerintah pusat boleh boleh saja mengklaim bakal menyelamatkan hutan Indonesia dan mencegah terjadinya deforestasi  beserta dampaknya. Tapi komitmen ini rupanya belum sampai ketingkatan structural pemerintah di bawahnya.

Hal ini bisa diketahui karena dalam dalam praktiknya, masih banyak terjadi penyimpangan dalam proses pengambilalihan kawasan hutan,  sejak era Orba  hingga pemerintahan yang sekarang berkuasa.Salah satu bentuk penyimpangan tersebut adalah aktivitas ‘suap’ yang dilakukan oleh para investor atau pengusaha untuk mendapatkan ijin atas usahanya.

Pola atau metode suap atau korupsi yang terjadi, antara lain : 1) memberikan suap untuk mendapatkan rekomendasi tukar-menukar kawasan hutan, 2) pengajuan revisi alih fungsi hutan menjadi bukan kawasan hutan, 3) penilaian dan pengesahan Usulan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman pada areal yang diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), 4) proses permohonan alih fungsi hutan lindung menjadi industri ekstraktif dan sebagainya.

Studi dari Universitas Indonesia tahun 2018 yang lalu menunjukkan bahwa korupsi yang berkaitan dengan perizinan konsesi lahan dan kehutanan menempati urutan pertama dalam daftar pola korupsi Pemerintahan Daerah tahun 2010-2018.

Banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi terkait dengan pemberian izin kawasan hutan, seperti Annas Makmun, mantan gubernur Riau periode 2014-2019, terbukti menerima suap atas alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit atau Amran Batalipu, mantan bupati Buol, Sulawesi Tengah, divonis 7,5 tahun penjara karena menukar surat rekomendasi izin penggunaan lahan kepada perusahaan perkebunan dengan sejumlah uang.

Maraknya fenomena bagi-bagi konsesi lahan telah menyuburkan praktik korupsi. Praktik-praktik ini akhirnya berujung kepada hilangnya luasan hutan terutama pada kawasan hutan alam yang seharusnya perlu mati matian dijaga demi kesejahteraan anak cucu nantinya.

Demikianlah rangkaian ironi yang mewarnai perjalanan tekad pemerintah dalam upaya mengurangi deforestasi di Indonesia.Tekad dan komitmen yang sudah di canangkan bersama sama dengan pemimpin dunia untuk menyelamatkan hutan sebagai paru paru dunia.

Namun komitmen tersebut sepertinya  baru sebatas manis dibibir saja karena realisasinya tidak seindah komitmen yang dicanangkannya . Adanya ironi ironi sebagaimana dinyatakan diatas menjadi indikator betapa komitmen untuk menyelamatkan hutan Indonesia masih sekadar menjadi wacana belaka. Tapi apakah memang demikian kenyataannya ? []

Penulis Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

 

Advertisement
Advertisement