Kasus Leptosirosis di Jatim Alami Peningkatan, Begini Penyebab dan Cara Pencegahannya
SURABAYA – Usai merebaknya kabar kasus flu burung, beberapa pekan terakhir kasus leptospirosis juga turut menjadi perhatian di dunia kesehatan. Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira Sp yang pada umumnya ditularkan melalui kencing tikus.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (Unair) Prof Dr Lucia Tri Suwanti, drh MP memberikan respon. Ia mengatakan bahwa kasus leptospirosis sejatinya tidak hanya ditularkan oleh tikus, melainkan semua hewan yang terkontaminasi oleh bakteri Leptospira Sp bisa menjadi agen penularan.
“Tikus itu memang agen penyakit. Salah satunya leptospirosis. Tapi, saya pernah menemukan kasus unik yang mana anak bimbingan saya itu meneliti adanya leptospirosis dari seorang peternak yang ternaknya tidak pernah dimandikan,” ujar Prof Dr Lucia pada Senin (14/3/2023).
Prof Dr Lucia juga mengatakan, hal itu (kasus peternak, red) bisa terjadi karena kondisi kandang yang tidak dibersihkan dengan baik. Kondisi tersebut, sambungnya, membuat ternak menjadi kotor dan ketika peternak itu berkontak langsung dengan hewan ternaknya maka menyebabkan infeksi leptospirosis.
“Kalau dari udara tidak menular, tapi kalau dari luka yang terbuka kemudian makanan dan minuman itu pasti,” tambah Prof Dr Lucia.
Prof Dr Lucia juga menuturkan bahwa leptospirosis tidak menular dari manusia ke manusia lainnya. Hal itu, sambungnya, terjadi karena manusia adalah inang terakhir. “Namun perlu diwaspadai juga mengingat pada dasarnya penularan antar hewan masih dapat terjadi,” pungkasnya.
Perihal pencegahan, Prof Dr Lucia menjelaskan bahwa hal yang perlu diwaspadai adalah kebersihan lingkungan. Terlebih saat musibah banjir. “Budayakan untuk selalu menggunakan sepatu anti boots, sarung tangan, dan rajin mencuci tangan,” ujarnya.
Pada akhir, Prof Dr Lucia juga berpesan agar mengelola bangkai tikus dengan baik. Hal tersebut, sambungnya, bisa dilakukan dengan membakar atau mengubur. “Dengan demikian diharapkan bangkai tersebut tidak dimakan oleh binatang lain sehingga meminimalisir potensi penyakit yang bisa ditularkan,” pungkasnya. []