Ketimpangan Agraria Menjadi Pemicu Warga NTT Lakukan Migrasi Hingga Menjadi Pekerja Migran
JAKARTA – Saban hari kita mendengar cerita tentang warga Nusa Tenggara Timur [NTT] yang meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di daerah lain, seperti Jawa, Bali, Kalimantan dan Papua. Banyak juga yang kemudian menjadi buruh migran di negara lain, umumnya di negara tetangga Malaysia.
Mengapa mereka meninggalkan kampung halaman? Jawaban yang kerap kita dengar adalah karena tidak ada pekerjaan di kampung halaman yang membuat mereka mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanah rantau lalu ‘menggoda’ mereka, dengan impian bisa mendapat nafkah yang cukup, yang kemudian dikirimkan ke kampung halaman.
Sejumlah lembaga advokasi menyebut mayoritas buruh migran NTT menempuh jalur non prosedural – istilah halus yang kini lebih sering dipakai untuk ilegal. Banyak kemudian di antaranya yang kembali dengan peti mati, karena berbagai pemicu, termasuk kekerasan fisik oleh majikan dan beban kerja yang berlebihan. Selama 2018–2022, setidaknya 516 pekerja migran asal NTT meninggal di luar negeri, 499 orang di antaranya pekerja migran nonprosedural.
Fakta demikian, nyatanya tidak menyurutkan warga NTT lain yang terus-menerus merantau.
Lewat sebuah artikelnya dalam buku ‘Kelas Pekerja dan Kapital di Indonesia; Tinjauan Awal,’ Emilianus Yakob Sese Tolo, seorang pengajar di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero dan kini menempuh studi doktoral di Inggris, menyoroti kaitan migrasi warga NTT ini dengan soal yang kian pelik di wilayah pedesaan: ketimpangan agraria. Konsentrasi kepemilikan tanah pada segelintir orang membuat kian banyak warga yang kehilangan akses pada sumber-sumber ekonomi.
Di bawah judul “Buruh Migran, Ketimpangan Agraria, dan Pembangunan di Nusa Tenggara Timur” Emil, dengan memakai lensa ekonomi politik Marxis, memotret kondisi keluarga petani di Mbay, Kabupaten Nagekeo. Banyak warga di wilayah itu, kata dia, yang merantau sebagai respon atas ‘keadaan,’ di mana luas lahan pertanian mereka sangat kecil. Dua sosok yang ia sebut dalam artikelnya, Markus dan Mikael, misalnya memilih bermigrasi ke Malaysia dengan alasan itu, membawa mimpi mendapatkan penghasilan yang cukup [hal. 185-190].
Fenomena Ketimpangan Agraria
Ketimpangan agraria yang menjadi salah satu pemicu kemiskinan di wilayah pedesaan sudah menjadi masalah serius. Soal ini tentu tidak hanya menjadi kasus khas NTT.
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria [KPA], 68% tanah di Indonesia dikuasai oleh kelompok pengusaha dan korporasi skala besar. KPA juga menyebut kurang lebih 16 juta rumah tangga petani hanya menguasai tanah di bawah 0,5 hektare, yang dalam terminologi Maxis, dikenal sebagai petani semi proletar. Bahkan, ada sebagian rumah tangga petani yang sama sekali tidak memiliki tanah [petani proletar penuh].
Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi [2011] dalam buku ‘Enam Dekade Ketimpangan; Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia’ juga menunjukkan bahwa sejak 1960 – 2000an, ada peningkatan jumlah petani miskin yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar di seluruh Indonesia. Hal ini membuat kelas petani gurem menjadi kelompok mayoritas rumah tangga petani selama 40 tahun.
Hal ini juga terafirmasi lewat Sensus Badan Pusat Statistik [BPS] pada 2018. Menurut BPS, 15,89 juta petani hanya memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektare dan 4,34 juta petani memiliki lahan pertanian di kisaran 0,5-0,99 hektare.
Di NTT, fenomena ketimpangan agraria ini juga terjadi, seperti yang ditunjukkan dalam kajian Emil. Menurutnya, ketimpangan agraria memicu terbentuknya diferensiasi kelas dalam masyarakat, yakni kelas tuan tanah kapitalis, petani kapitalis, petani produsen kecil komoditas, petani lahan kecil [petani semi proletar] dan petani tak bertanah [petani proletar penuh]. Hal seperti ini, kata Emil, terjadi misalnya dalam konteks di Mbay. Sayangnya ia tidak merinci persentase petani per kelas-kelas itu.
Salah satu pemicu pembentukan kelas-kelas, urainya, adalah karena penetrasi kapitalisme ke pedesaan yang hadir melalui mekanisasi pertanian. Ia menyebut contoh mekanisasi pertanian yang didorong oleh Presiden Joko Widodo lewat pemberian bantuan traktor kepada petani melalui kelompok-kelompok tani, yang ternyata berkontribusi bagi hilangnya lapangan pekerjaan bagi ‘kelas-kelas pekerja’ di sektor pertanian [hal. 194]. Kelas pekerja di sektor pertanian ini utamanya adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki lahan pertanian garapan. Untuk menyambung hidup, mereka mengandalkan hubungan baik dengan pemilik tanah [relasi patron klien] lewat pemberian pekerjaan.
Dengan konsentrasi kepemilikan tanah di tangan sekelompok kecil orang seperti tuan tanah kapitalis (landlord capitalist), petani kapitalis, dan para mafia tanah, sementara pekerjaan bagi kelas petani pekerja juga makin terbatas, petani kehilangan akses terhadap tanah untuk pemenuhan jaminan kebutuhan hidup keluarga. Kebutuhan yang makin meningkat tentu memberatkan keluarga petani. Mereka harus bertarung melawan himpitan pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini pula yang membuat mereka jatuh dalam perangkap utang bank dan koperasi.
Untuk keluar dari kesulitan ini, mau tidak mau, mereka bermigrasi mencari pekerjaan di tempat lain. Melonjaknya angka migrasi buruh migran pada tahun 2018, termasuk ke Malaysia, kata Emil, disebabkan oleh dinamika perubahan agrarian ini di daerah pedesaan di NTT [hal. 193]. Tidak mengherankan ketika setiap tahun NTT mengirimkan 2.000 – 4.000 buruh migran ke luar negeri, terutama Malaysia, baik secara legal maupun ilegal [hal. 194].
Sorotan Khusus Terhadap Gereja Katolik
Di NTT, terutama Flores, Gereja Katolik adalah lembaga keagamaan dominan, dengan jumlah pemeluk di atas 80 persen populasi di setiap kabupaten, bahkan ada yang di atas 90 persen. Di masa lalu, banyak kelompok masyarakat yang dengan mekanisme adat menyerahkan tanah berhektare-hektare kepada Gereja. Emil, dalam uraiannya, menyoroti secara khusus posisi Gereja Katolik sebagai salah satu dari kelompok yang menguasai tanah dalam jumlah besar, meski tidak dilengkapi data kuantitatifnya.
Hal ini penting menjadi catatan karena warga yang terdesak untuk migrasi adalah warga Gereja juga. Ia mengutip riset yang dilakukan oleh Hasulie pada tahun 2020 di 46 paroki di lima kabupaten di Flores. Riset itu menemukan bahwa dari 158 orang buruh migran internasional, mayoritas hanya menamatkan pendidikan sekolah dasar. Mereka adalah petani [60,5%] dan buruh tani yang tidak memiliki kerja yang tetap [36,3%] sebelum menjadi buruh migran di luar negeri [hal. 194]. Ini menunjukkan situasi kontras antara Gereja yang di satu sisi menguasai banyak tanah dengan umat yang ketiadaan tanah.
Sayangnya, kata Emil, Gereja Katolik, seperti halnya pemerintah tidak melihat ketimpangan agraria ini sebagai pemicu migrasi. Sikap pemerintah dan Gereja di NTT cenderung abai melihat keterhubungan di antara pilihan orang untuk bermigrasi dengan persoalan agraria yang mereka hadapi. Kecenderungan ini sebetulnya dibentuk oleh cara pikir pemerintah dan Gereja yang melihat masalah buruh migran ke luar negeri karena pilihan individual, bukan pada persoalan perubahan agraria yang membuat petani tersingkir.
Cara pandang seperti ini yang menurut saya juga membuat pemerintah dan Gereja cenderung diam atas berbagai masalah agraria di NTT belakangan ini. Misalnya di tengah ekspansi industri pariwisata dan upaya pengembangan berbagai proyek geothermal di wilayah pedesaan yang akan membuat masyarakat makin berjarak dari tanah mereka. Sementara warga bertarung ‘mempertahankan ruang’ dari ancaman proyek skala besar, dua entitas ini tidak berbuat banyak memperkuat perjuangan warga.
Gerak Bersama Pemerintah dan Gereja
Dari kajian Emil, jelas bahwa migrasi bukanlah persoalan yang hanya terkait dengan keputusan individual semata. Migrasi perlu diletakan serta perlu dilihat dari kerangka ekonomi politik agraria, yang membentuk sikap, pemikiran, dan pilihan individu.
Lantas, Emil menekankan pentingnya pemerintah dan Gereja untuk bersikap, terutama hadir dalam persoalan yang dihadapi petani semi proletar dan petani tak bertanah. Sebagai pengambil dan perumus kebijakan, pemerintah juga mesti mampu memformulasikan masalah petani di sektor agraria dengan melihat persoalan yang mereka hadapi. Ini akan menghasilkan produk kebijakan yang tepat sasaran.
Berangkat dari cara pandang ini, menurut saya, solusi konkrit yang bisa ditawarkan misalnya melakukan reforma agraria skala kecil di tingkat kabupaten atau di setiap paroki. Tanah milik pemerintah atau Gereja, terutama yang tidak dimanfaatkan, bisa didistribusikan ke setiap kelompok tani yang tak bertanah, dengan harapan mereka mengelola dan mengoptimalkannya untuk peningkatan ekonomi.
Solusi ini penting diupayakan, demi memberdayakan petani. Sedangkan bagi petani dengan luas lahan kecil, pemerintah dan Gereja bisa menyokong lahan mereka lewat berbagai cara, seperti pendistribusian bibit, pupuk dan lain-lain, juga mencanangkan program-program pemberdayaan. Dengan cara ini, ketimpangan agraria, sebagai pemicu migrasi bisa teratasi. Toh, di tanah rantau, petani NTT yang tidak berbekal pendidikan dan keterampilan, juga bekerja di sektor pertanian. Lantas, mengapa harus bermigrasi, alih-alih berdaya di tanah sendiri. []
—————————-
Penulis Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila, adalah alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik. Berasal dari Manggarai Timur, NTT, saat ini bekerja dan berdomisili di Jakarta.