April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mantera Kami Pancasila Maka Kami Ada

2 min read

Bagaimana  potret ekonomi politik 2017 yang hampir kita lewati? Jawabku singkat, “mereproduksi mantera.” Kita tahu, mantera di zaman purba begitu sakti, tetapi di zaman modern hanya kumpulan kode buntut yang makin tak berarti.

Pada mulanya, pemerintah memproduksi mantera untuk menegaskan posisinya. Selanjutnya terserah pemirsa. Sebab yang ada adalah bermiliar telenovela.

Apa posisinya? Seperti sang Muhammad yang pergi ke gua untuk menerima perintah “baca dan jajah,” pemerintah pimpinan presiden hari ini ziarah ke kampus-kampus untuk menjalani pesan pasar: realisasikan lima tugas suci.

Pertama, memerangkap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya. Kedua, memundurkan kesejahteraan umum. Ketiga, membodohkan kehidupan bangsa. Keempat, tak ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima, memastikan swastanisasi negara.

Inilah negara pasar swalayan bagi si kaya. Tempat bertelur para mafia. Arena begal para begundal. Mereka hebat-hebat sebab rakyat makin melarat. Buah revolusi mental yang kami buat. Panen nawacita yang kami ketik.

Maka ketika banyak orang “yakin” pada rezim hari ini, sesungguhnya itu “harapan.” Ya, sekadar harapan agar ada gairah untuk kita bergerak dari kekurangberuntungan. Terlebih berharap tak memerlukan alasan untuk iman dan kecewa.

Kini kita ketagihan makna. Sebab yang riil hanya presiden bertampang pribumi bermental kompeni. Apa yang kompeni itu? Politiknya stabil untuk mencuri. Bukankah semua kepala lembaga negara yang dipenjara adalah bukti.

Ekonominya stabil untuk tumbuh lima prosen tanpa kualitas berarti. Pendapatan per kapita kita pada posisi USD3.600. Kalah jauh dari Singapura USD52.900 dan Malaysia USD9.300.

Tentu dengan mantera “kami Pancasila maka kami ada,” terdapat kepuasan publik yang lumayan. Tingkat kepuasan itu berasal dari membangun jalan umum sebanyak 72 persen, perbaikan layanan kesehatan terjangkau 65 persen, pembangunan sarana transportasi umum 60 persen dan pembangunan jalan tol luar Jawa 56 persen.

Menyediakan lapangan pekerjaan 42 persen, menumpas ketimpangan 35 persen, memastikan keadilan sosial 30 persen, mengurangi konflik 26 persen, menghancurkan kemiskinan 12 persen dan merealisasikan janji kampanye 7 persen.

Bagaimana proyeksinya? Bagi kaum miskin, iman pada demokrasi liberal adalah jalan menuju kebangkrutan. Terlebih, mereka tak punya sejarah-tak punya kenangan: tepatnya tak membutuhkan.

Indonesia menjadi surga bagi aparat pengkhianat; penjaganya ruwet-mbulet dan dosanya pun tak boleh terbagi. Lalu, semua lupa hukum post kolonial yang menyebut bahwa: 1)Jika elite tidak kapabel, pemilih balik ke tribus (SARA); 2)Jika negara tidak hadir, warga negara balik ke ratu adil, dukun dan eskatologis.

So, isu ini (SARA dan Ratu Adil) akan selalu muncul di negara postkolonial karena elitenya bloon dan negaranya absen.

Tapi, tenang saja. Kita sudah punya resep manjur terukur: 1)Pastikan utang negara menggunung; 2)Pastikan APBN defisit; 3)Pastikan obral SDA dan BUMN; 4)Pastikan penilaian positif dari lembaga-lembaga internasional; 5)Pastikan mereproduksi mantera.

Itulah Pancasila-nya rezim-rezim pasca reformasi. Cerdas. Keren. Perang 17 tahun yang telah mereka menangkan. Bahkan tanpa perlawanan. [Yudhie Haryono]

SUMBER Rilis Id

Advertisement
Advertisement