April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Melihat Dari Dekat Proses Kreatif Nurchaeti, Mantan PMI Produsen Kripik yang Omsetnya Tembus Miliaran Rupiah

5 min read

JAKARTA – Kondisi ekonomi, masih menjadi alasan sebagian besar warga negara Indonesia yang memutuskan untuk hijrah bekerja ke luar negeri, dengan alasan lapangan pekerjaan berikut gaji yang didapat dari luar negeri jauh lebih besar dibanding untuk pekerjaan yang sama di kampung halaman. Belum lagi faktor ketatnya persaingan memperebutkan sedikitnya lapangan pekerjaan seiring dengan semakin banyaknya jumlah pencari kerja.

Alasan itu juga yang mendasari Nurchaeti (43) nekat kerja di luar negeri menjadi pekerja migran di Singapura selama dua tahun dan Malaysia satu tahun. Saat itu, suami Nur (sapaannya) pergi meninggalkan dirinya dan kedua anaknya bersama dengan utang yang cukup banyak.

“Saya lulusan apoteker, jadi saya kerja di sektor formal bidang farmasi. Pulang tahun 2013 setelah utang-utang lunas. Saat saya berpikir akan usaha, tapi belum tahu usaha apa. Yang penting bisa bareng anak dan keluarga aja,” kata Nurchaeti saat diwawancara dinukil dari SWA, Selasa (28/02/2023).

Nur rela meninggalkan pekerjaan dengan gaji mencapai SDG 1.000/bulan (sekitar Rp11.300.000) demi bisa bersama dengan anak-anaknya. Namun saat pulang ke Indonesia, Nur merasa sedih karena anaknya yang kedua tidak mengenali dirinya sebagai ibu. Ini karena Nur meninggalkan anak bungsunya saat masih bayi. “Sebagai ibu pedih, tapi bukan salah anak juga. Setelah pendekatan sekitar 2 tahun, semakin hari semakin kenal, dia mengerti bahwa saya ibunya,” ujar Nur.

Sepulang dari Malaysia, Nur lalu membuka usaha laundry atau binatu kiloan. Di tahun pertama, laundry miliknya tidak banyak menghasilkan laba. Ia kemudian mengikuti kursus bisnis dan menjual sepeda motor miliknya untuk membayar kursus dan mulai mengembangkan usahanya.

“Tahun pertama itu usaha laundry enggak banyak berubah. Di tahun kedua baru membuahkan hasil, karena saya ikut kursus-kursus tentang bisnis, banyak belajar cara bisnis yang baik,” kata Nur.

Hingga saat ini, jasa usaha binatu milik Nur berkembang dan tersebar di lima tempat dan telah membantu 1.000 orang PMI untuk membuka usaha laundry kiloan. Omzet usaha laundry mencapai Rp 500 ribu sampai Rp 2 juta per hari. “Kalau di tempat-tempat strategis ramai. Saya sasarannya banyak mahasiswa-mahasiswa, jadi buka di dekat kampus, ada di Bogor juga Jakarta,” ucapnya.

 

Ekspansi Bisnis Keripik

Di samping menggeluti usaha binatu, Nur juga merambah usaha produk makanan ringan berorientasi ekspor. Ide terjun bisnis ini berasal dari mentornya yang mengatakan, “Membuat produk itu jangan yang kita mau, tapi produk yang disukai orang banyak.”

Pada tahun 2015, Nur diundang acara pelatihan di BP2MI yang bertema kuliner. Saat mengikuti pelatihan, Nur baru mengetahui bahwa ternyata ada unit usaha yang dapat memberikan keuntungan yang lumayan banyak. Akhirnya Nur memberanikan diri membuka satu unit usaha baru di bidang makanan.

“Tahun 2015 saya trial and error membuat sebuah produk. Pertama keripik pisang, banyak pisang dicoba, ternyata pilihan terbaik jatuh pada pisang tanduk karena pas, cocok dengan yang saya mau,” ucapnya.

Selanjutnya di tahun yang sama, Nur mendapat undangan dari Kedubes Brunei Darussalam untuk mengikuti pameran di sana. Sebagai pengusaha pemula yang belum memiliki banyak izin, Nur hanya bermodal Sertifikasi Halal dari MUI dan ternyata Brunei Darussalam hanya mewajibkan sertifikasi halal.

“Akhirnya saya memberanikan diri untuk ikut pameran. Di luar ekspektasi ternyata antusias terhadap produk kami sangat tinggi, padahal produk saya baru. Di sana bertemu banyak investor besar, salah satunya adalah distributor dari produk Indofood yang akhirnya menjadi partner dan support mulai dari peralatan, mesin, hingga permodalan,” ujar wanita kelahiran Jakarta ini.

Lalu Nur mulai serius menggeluti usaha makanan hingga melakukan inovasi membuat makanan yang lain selain pisang. Bermodalkan mencari di internet mengenai makanan yang banyak disukai masyarakat global, Nur akhirnya membuat makanan ringan sehat yaitu snack buah-buahan nanas, nangka, dan kripik pisang krispi.

“Kami menggunakan teknologi vacuum frying dalam proses pembuatannya. Teknologi yang hanya menarik kadar air dalam buah-buahan tetapi serat alaminya masih ada, sehingga memberikan manfaat kesehatan pada tubuh dan cocok untuk diet. Inilah yang kami bawa dalam produk kami ke luar negeri,” kata Nur.

Sebelum ekspor ke Eropa, Nur diminta untuk memperbaiki standar. Nur bercerita bahwa ide dan tujuan untuk bisa ke Eropa sempat tidak disetujui oleh tim karena terlalu tinggi. Nur keukeuh dengan beralasan “Jika kita pasang target tinggi, walaupun tidak sampai setidaknya kita bisa setengahnya. Kalau targetnya sudah rendah, kita enggak naik-naik,” ucap Nur menceritakan situasi saat itu.

Setelah berusaha, Nur akhirnya direkomendasikan oleh distributor Brunei Darussalam kepada distributor di Belanda dan pada tahun 2016 ekspor keripik buah-buahan Nur dimulai. Nur di bawah naungan CV NN International Nur mengirim keripik dalam bentuk bal dengan netto per sak 5 kilogram.

“2016 kami mulai aktif ekspor ke berbagai negara di Asia seperti Dubai, UAE, Arab Saudi, Qatar, Oman, dan Bahrain. Lalu ke Eropa seperti Jerman, Perancis, Belgia, dan Belanda, alhamdulillah lancar sampai pandemi datang. Kami bisa meng-hire ibu-ibu sampai 200 orang di sekitar tempat produksi dan bisa berkolaborasi dengan UKM di sekitar yang memproduksi produk yang sama dengan standar yang sama dengan yang kami kerjakan,” katanya.

Alasan mengajak UMKM karena sebagai UMKM seringkali tidak bisa memenuhi kuota yang diminta. “Kami tahu kapasitas produksi mesin kami berapa, waktu menyelesaikan orderan dalam berapa hari. Alhamdulillah kita bermitra dengan mitra binaan Bank Indonesia yang memproduksi produk yang sama dengan kami,” ucap Nur.

Saat pandemi Covid-19 terjadi, ekspor ditutup. Sehingga Nur harus merumahkan 200 orang karyawannya. Untuk survive, Nur akhirnya menjajaki pasar lokal dengan membuat produk keripik kemasan sekali makan bernama BFF. Produk dimasukkan melalui ritel dengan target pasar masyarakat ekonomi menengah ke atas.

“Kita sudah mencoba pasar yang luas melalui ritel yang banyak tersebar di daerah, tapi gagal. Produk kami hilang 40% dan pihak ritel tidak mau bertanggung jawab. Hanya setahun, akhirnya kami putus kontrak,” ujarnya.

Selain melalui ritel, Nur juga memasarkan produk BFF melalui media sosial Tiktok dan Instagram. Di Tiktok Shop, dalam 14 hari pertama, pendapatan penjualan mencapai Rp 300 juta. “Meski pasarnya tidak sebesar ekspor tetapi cukup membuat kami survive selama pandemi Covid-19,” ucap Nur yang kini didapuk sebagai salah satu menjadi mentor untuk mitra binaan BI.

Untuk omzet ekspor keripik ke luar negeri, Nur mengungkapkan bahwa harga paling mahal per satu kontainer  adalah Rp 400 juta.  Sebelum pandemi Covid-19, perbulan Nur bisa mengirimkan 15 kontainer ke berbagai negara tujuan. “Walaupun dalam nilai dalam satu kontainer untung bersih untuk saya pribadi di bawah 5%. Saya sebagai owner tidak ambil untung banyak karena bagi-bagi dengan yang lain,” katanya.

Selama membangun bisnis, Nur mengaku sudah sering mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Meski begitu, dirinya tetap berpikir positif dan tidak menyerah.

“Yang namanya usaha ditipu, dibohongi, dan difitnah itu sering, bahkan oleh karyawan sendiri. Itu sepertinya sudah makanan kita sebagai pengusaha. Tapi yang penting bagaimana kita menyikapinya, mempunyai mental yang positif, semuanya itu kita harus lewati tanpa harus frustasi apalagi sampai memiliki niat untuk bunuh diri,” kata Nur menutup keterangannya. []

Advertisement
Advertisement