December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Membengkaknya Anggaran Polri, Untuk Kepentingan dan Menikmatkan Siapa ?

12 min read

JAKARTA – Sejak rezim Joko Widodo memimpin, alokasi anggaran yang digelontorkan pemerintah kepada korps Bhayangkara mengalami tren peningkatan. Data yang dirilis lembaga pemantau Indonesia Corruption Watch (ICW), dari tahun 2015 hingga 2020 total anggaran yang dikelola yakni sebesar Rp531,1 triliun. Sehingga rata-rata per tahunnya Kepolisian mengelola anggaran sekitar Rp106,2 triliun.

Jika dilihat dari porsinya, besarnya anggaran Polri ini merupakan masuk dalam 3 besar lembaga dan kementerian yang mendapatkan porsi anggaran terbesar, di bawah Kementerian Pertahanan dan di atas Kementerian PUPR.

Sebagai lembaga pemerintahan yang memiliki kewajiban transparan dan akuntabel dalam setiap belanja yang telah dilaksanakan. Pada tahun 2019 tercatat paket belanja barang Kepolisian sebanyak 5.632 paket dengan pagu sebesar Rp17,2 triliun.

Namun, menjelang pengesahan RUU Cipta Kerja, tanggal 2 Oktober 2020 Kapolri Idham Azis membuat Surat Telegram (STR) yang berisi 12 poin untuk merespons adanya unjuk rasa yang akan dilakukan oleh Kelompok Buruh mengenai penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.

Dari STR yang telah dikeluarkan, terdapat 2 poin yang dinilai bertentangan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Kepolisian, yakni adanya upaya Kepolisian untuk membangun opini publik untuk tidak setuju dengan aksi unjuk rasa; dan kpolisian akan melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah. Adanya perintah untuk melakukan kontra narasi dan membangun opini publik merupakan hal yang perlu disoroti di tengah polemik pengesahan UU Cipta Kerja.

Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Negara Indonesia (UU 2/2002) tidak ada satu pun wewenang Kepolisian untuk membangun opini publik terhadap aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat.

Pada Pasal 13 UU 2 tahun 2002 terdapat tiga tugas pokok Kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pada Pasal 14 yang merupakan turunan dari Pasal 13 juga tidak ada sama sekali klausul mengenai tugas Kepolisian untuk membangun opini publik dan kontra narasi isu yang mendiskreditkan pemerintah.

 

Anggaran Belanja Polisi

Bahkan pada Peraturan Kepolisian Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak ada sama sekali tugas ataupun wewenang yang berkaitan dengan kontra narasi dan membangun opini publik. Perintah yang tercantum di dalam STR menunjukkan bahwa adanya potensi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Kapolri.

Selain itu, adanya gerakan meredam unjuk rasa dilakukan Polri dengan menggelar rapat antara Kepolisian dengan Menteri Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Oktober 2020.

Belanja Polri Diduga untuk Menjegal Aspirasi

Omnibus Law alias regulasi sapu jagat telah ditolak besar-besaran selama kurun waktu beberapa bulan ke belakang oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya buruh. Regulasi tersebut dinilai bermasalah sejak awal karena pembahasannya menihilkan partisipasi publik. Padahal di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 salah satu poin penting dari isu pembahasan kebijakan hukum adalah keterlibatan masyarakat.

Alih-alih mengakomodir pendapat dari berbagai kelompok masyarakat, pemerintah dan DPR memilih memberangus aspirasi dengan menggunakan instrumen aparatur negara, yakni Kepolisian dalam membangun opini publik agar setuju dengan Omnibus Law dan melakukan kontra narasi terhadap kelompok masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja.

Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan kajian dan penelusuran informasi terhadap aktivitas digital Kepolisian yang selama ini didanai dari sumber APBN. ICW melakukan penelusuran terkait dengan belanja Kepolisian pada aspek pengadaan barang.

Aktivitas yang dipantau adalah dalam kurun waktu tahun 2017 hingga tahun 2020. Penelusuran dilakukan melalui Sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Polri. Kata kunci yang digunakan oleh ICW yakni media sosial.

Berdasarkan hasil pemantauan ditemukan bahwa ada sebanyak sembilan paket pengadaan barang yang dilakukan oleh Kepolisian untuk aktivitas digital dengan kata kunci media sosial. Total anggaran untuk membeli barang sebesar Rp1,025 triliun. Per tahun Kepolisian menggelontorkan anggaran sebesar Rp256 miliar untuk aktivitas digital.

Yang mencengangkan, sejak tahun 2017 hingga 2020, satuan kerja yang paling banyak membeli peralatan untuk aktivitas digital yaitu Badan Intelijen Keamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Baintelkam Polri). Ada sebanyak empat paket pengadaan dengan anggaran sebesar Rp483 miliar yang digunakan oleh Baintelkam Polri untuk membeli peralatan yang berkaitan dengan aktivitas digital.

Pada tahun 2019 Kepolisian mengalokasikan anggaran untuk pembelian peralatan kontra dan cipta kondisi media sosial sebesar Rp97,4 miliar. Pemenang paket pengadaan tersebut yaitu PT. Silfarano Perdana (PT. SP). Pemegang saham perusahaan tersebut yakni Zacharia Wali Darmawan (Rp30 juta), Michael Purwadi Limarga (Rp30 juta), dan PT. TJ Silfanus (Rp540 juta).

Sementara itu, pada tahun 2020 Baintelkam Polri membeli peralatan social media intelligence untuk persepsi publik seharga Rp98,8 miliar. Pemenang paket pengadaan tersebut yakni PT. Alpha Cipta Raya (PT. ACR). Pemegang saham perusahaan tersebut antara lain Ichwan Sumarsono (Rp200 juta), Suriyani (Rp200 juta), William Silfanus (Rp1,1 miliar), dan PT. TJ Silfanus (Rp8,5 miliar).

Berdasarkan penelusuran ICW, didapati bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki banyak fokus pekerjaan. Hal tersebut terlihat dari maksud dan tujuan pada akta perusahaan. Maksud dan tujuan perusahaan tersebut diantaranya konstruksi, real estate, penyewaan dan sewa guna usaha, event organizer, reparasi mobil, perdagangan, aktivitas informasi dan komunikasi, dan sebagainya.

 

Belanja Infrastruktur Digital dan Perangkat Surveillence

Selain belanja Polri untuk pengadaan perangkat yang mendukung aktivitas digital, pada bulan September 2020, LPSE Polri mencatat sejumlah pengadaan barang yang bersumber dari APBNP dan tercatat sebagai kebutuhan dan anggaran mendesak, yang diduga berkaitan dengan antisipasi aksi massa penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Beberapa peralatan yang dibeli antara lain pengadaan sentralized command control system for intelligence target surveillance Baintelkam Polri tahun anggaran 2020 yang dipesan Korps Brimob dengan total anggaran Rp 179 miliar lebih. Sedangkan, pengadaan helm dan rompi danti peluru Brimob dengan menggunakan anggaran mendesak-APBNP dipesan oleh Baintelkam Polri dengan anggaran Rp 90 miliar lebih.

Selain itu, Polri juga tercatat membeli peralatan tactical mass control device dengan skema kebutuhan mendesak dari anggaran APBNP yang dipesan oleh SLOG Polri

pada 28 September 2020 dengan total anggaran belanja Rp 66,5 miliar. Tak hanya itu, ada juga pembelian peralatan counter UAV and surveillance Korbrimob dengan besaran anggaran Rp 69 miliar lebih.

Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa terdapat aktivitas pembelanjaan yang ditengarai dapat digunakan untuk membentuk opini publik melalui aktivitas digital. Kedua alat yang telah dibeli oleh Kepolisian misalnya, tidak menutup kemungkinan dapat digunakan untuk menjalankan perintah sesuai dengan STR yang dikeluarkan oleh Kapolri.

Kondisi yang serupa juga pernah terjadi pada saat penolakan terhadap revisi UU KPK dan aksi #Reformasi Dikorupsi September 2019 lalu.

Polanya yaitu mendistorsi suara dari publik yang kontra terhadap pemerintah. Selain itu adanya penggiringan opini publik terhadap para pihak yang melakukan unjuk rasa. Terdapat 2 kejadian yang dicatat pada September 2019 lalu. Pertama, Akun resmi milik Kepolisian yaitu @TMCPoldaMetro disinyalir menyebarkan disinformasi mengenai ambulan milik Provinsi DKI Jakarta yang diduga membawa batu. Tidak lama berselang informasi tersebut hilang.

Kedua, adanya grup WhatsApp dengan mengatas namakan siswa Sekolah Teknis Mesin (STM) yang diduga dibuat oleh Kepolisian. Tujuannya yakni untuk melakukan kontra narasi terhadap para aktor yang mengikuti unjuk rasa.

 

Penindakan Perkara Korupsi oleh Kepolisian

ICW mencatat, performa Polri dalam penegakan hukum perkara korupsi justru masih dalam kategori buruk. Hal ini dikarenakan, capaian penyerapan anggaran dibandingkan dengan DIPA anggaran untuk penindakan perkara korupsi, masih di bawah 50%.

Berdasarkan Daftar Isian Pelaksana Anggaran tahun 2020, target penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi kepolisian sebanyak 1.539 kasus per tahun. Jumlah institusi kepolisian di seluruh Indonesia sebanyak 483 kantor yang terdiri dari satu Direktorat Tindak Pidana Korupsi di nasional, 33 Polda di tingkat Provinsi, 449 Polres di Kabupaten/Kota. Terdapat satu provinsi yang tidak diketahui karena data yang ada di dalam DIPA merupakan tahun anggaran 2019, yakni Provinsi Sulawesi Utara.

Setiap kepolisian yang berada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota memiliki target yang beragam. Ada kepolisian yang memiliki target satu kasus, ada pula yang mewajibkan untuk menyelesaikan 75 perkara, seperti yang terjadi Polres Pelabuhan Tanjung Perak dan Polres Jombang. Sedangkan di Bareskrim Mabes Polri target penanganan perkara yang harus dicapai sebanyak 25 kasus.

Setiap semester diasumsikan bahwa kepolisian mampu menangani sebanyak 770 kasus korupsi atau sekitar 50 persen dari target yang harus dicapai. Faktanya realisasi penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh kepolisian pada semester I 2020 hanya sebanyak 72 kasus. Jika dibandingkan antara target penanganan perkara korupsi per tahun dengan realisasinya, maka kontribusi kepolisian dalam mencapai target penyidikan kasus korupsi hanya sebesar 4,7 persen. Artinya kinerja kepolisian dalam penanganan kasus korupsi buruk.

ICW menilai bahwa Polri tidak punya prioritas dan arah yang jelas dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Polri. Polri dapat dipandang gagal melakukan reformasi internal yang lebih transparan, akuntabel, dan anti-korupsi.

Global Corruption Barrometer yang diluncurkan oleh Transparency International Tahun 2017 mencatat, Kepolisian masih masuk dalam 3 (tiga) “peringkat” tertinggi institusi penerima suap dan juga masuk dalam “peringkat” tiga besar dalam hal institusi paling korup. Hal ini menunjukkan bahwa prioritas anggaran dan belanja pengadaan barang Polri salah sasaran.

 

Rekomendasi BPK Soal Anggaran Polri Mangkrak

Setali tiga uang, sistem pengendalian internal Polri dinilai Badan Pemeriksa Keuangan tidak berjalan maksimal. Walau pun Polri mendapatkan predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama lima tahun terakhir.

ndaklanjuti.Hal itu menunjukkan keganjilan, padahal dari data yang rilis oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selama kurun waktu 2015-2019 ada sekitar 1.574 rekomendasi yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Namun, dari jumlah itu ada sekitar 65 rekomendasi yang tidak sesuai dan 181 rekomendasi yang belum ditindaklanjuti dari 12 rekomendasi yang tidak bisa diti

Sehingga memunculkan ada kongkalikong antara Badan Pemeriksa Keuangan dan Polri terhadap audit anggaran belanja Polri yang seharusnya memberikan status Wajar Dengan Pengecualian (WDP) kepada lembaga tersebut.

 

Represifitas yang Kelewat Batas

Carut marut proses pembentukan Omnibus Law yang tidak transparan itulah yang diprotes oleh publik sehingga ribuan orang turun ke jalan di berbagai daerah. Sayangnya, lanjut Haris, pemerintah dan aparat kepolisian menyikapi aksi unjuk rasa itu dengan cara-cara yang represif.

Gelombang unjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja disikapi secara represif oleh pihak kepolisian. Di seluruh Indonesia, tidak kurang dari 5000 pengunjung rasa ditangkap karena dituding menjadi dalang kerusuhan. Puluhan orang di antara mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan delik melakukan tindakan kekerasan kepada polisi dan pengrusakan fasilitas publik.

Direktur Kantor Hukum Lokataru Haris Azhar menilai, ada gerakan yang terstruktur dari pemerintah dan aparat kepolisian untuk membendung aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law. Pemerintah pusat, misalnya, terus menerus memunculkan isu hoaks tentang RUU Cipta Kerja.

“Selalu menuduh kita-kita ini sebagai penyebar hoaks, padahal naskah finalnya sampai hari ini belum ada yang dipublikasi secara resmi,” kata Haris.

Isu tentang perubahan naskah Omnibus Law cipta kerja masih hangat diperbincangkan hingga hari ini. Tebal halaman draft UU Cipta Kerja Omnibus Law yang beredar di publik terus mengalami metamorfosa, 1.028 halaman pada Februari, 905 halaman pada 5 Oktober, 1035 halaman pada 12 Oktober, hingga berujung pada 812 halaman yang diserahkan kepada Presiden. Belakangan, tebal naskah RUU Cipta Kerja kembali berubah menjadi 1.187 halaman, sesuai dengan yang diterima oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah. Seiring dengan perubahan jumlah halaman tersebut, beberapa pasal pun turut berubah atau hilang.

“Jadi tidak logis menyalahkan demonstran hanya karena mereka belum membaca semua draft RUU Cipta Kerja. Omnibus Law itu mencakup lebih dari 70 UU yang diatur di dalamnya,” ucap Haris.

“Inilah kualitas pemerintah kita dalam merespon aspirasi dan partisipasi publik terhadap Omnibus Law yang tertutup. Ketika diprotes, massa malah digebuk. Persis cara-cara otoriter,” ujar Haris.

Menurut Haris, apa yang terjadi hari ini mirip dengan gejolak aksi #ReformasiDikorupsi tahun lalu yang menolak pengesahan beberapa RUU kontroversial. Polisi cenderung menggunakan cara-cara provokatif untuk membendung aksi massa. Anak-anak muda yang protes dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap stabilitas negara.

Di beberapa tempat, Haris juga menyoroti keterlibatan kepala daerah yang mengintimidasi pengunjuk rasa dengan modus ingin mengajak berdialog. Padahal pengunjuk rasa tersebut sudah ditangkap terlebih dahulu oleh pihak kepolisian karena dianggap sebagai dalang kerusuhan.

“Ada kepala daerah yang mendatangi para demonstran yang sudah ditangkap seolah-olah mau dialog. Padahal itu masuk dalam kategori intimidasi. Menginterogasi dalam keadaan terpaksa itu masuk dalam tindak kekerasan dan penyiksaan. Itu bukan dialog,” pungkas Haris.

Pernyataan Haris diperkuat oleh Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani. PBHI merinci, laporan penangkapan yang masuk ke mereka berasal dari Jawa Barat (221 orang), Sulawesi Selatan (250 orang), Lampung (242 orang), Kalimantan Barat (32 orang), Jawa Tengah (260 orang), Jakarta (1000 orang), Sumatera Barat (251 orang), Jogja (146 orang), Sumatera Utara (241 orang). Korban dari massa aksi juga terdapat anak yang belum dewasa, misalnya di Sumatera Barat sekitar 83 pelajar.

Selain itu, PBHI menilai bahwa polisi telah melakukan berbagai pelanggaran HAM seperti aksi sweeping menjelang demonstrasi, tindakan brutal saat terjadi unjuk rasa, dan penangkapan yang sewenang-wenang.

“Kepolisian tidak memahami situasi dan kondisi bahwa pemicu utama publik berdemonstrasi itu adalah masalah transparansi RUU Cipta Kerja. Pemahaman itu justru dibalik, menganggap demonstrasi sebagai tindakan kriminal yang harus dilawan,” kata Julius kepada Law-Justice.co.

Dia menilai, reaksi represif polisi terhadap aksi unjuk rasa pada akhirnya berdampak negatif pada institusi kepolisian. Kepercayaan publik bahwa polisi bertindak sebagai pelindung masyarakat akan tergerus.

“Independensi polisi dipertanyakan. Publik akan berpikiran bahwa polisi punya kepentingan yang sama dengan pembentuk UU Cipta Kerja. Kita bisa melihat di media sosial bagaimana banyaknya sentimen negatif terhadap tindakan polisi kepada pengunjuk rasa.”

Sikap kepolisian semakin tampak jelas dengan adanya 12 perintah Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis yang tertuang dalam surat telegram nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020, dan ditandatangani As Ops Kapolri, Irjen Imam Sugianto atas nama Kapolri tertanggal 2 Oktober 2020.

Dua dari 12 perintah tersebut, ada poin agar polisi melakukan patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unjuk rasa di tengah pandemi Covid-19 serta melakukan kontra narasi terhadap isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah.

“Ketika polisi menyatakan diri bertindak untuk melawan opini publik yang menyerang pemerintah, itu jelas menyalahi tupoksi. Sebuah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Saya pastikan aturan seperti itu tidak ada dalam UU Kepolisian,” tegas Julius.

Menjelang aksi unjuk rasa besar-besaran, Ombudsman Jakarta Raya telah mengeluarkan imbauan kepada polisi untuk tidak bertindak represif terhadap massa aksi. Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P. Nugroho mengatakan, Polri wajib untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengawal aksi unjuk rasa. Berpedoman pada Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Dalam merespon situasi chaos, cara bertindak harus sesuai prinsip proporsional dengan tetap memberikan jaminan tidak adanya kekerasan serta melakukan tindakan yang terukur. Pelaksanaan tugas tetap mengacu kepada penerapan prinsip dan standar HAM bagi Kepolisian,” ucap Teguh.

Teguh mengatakan, pihaknya akan mengkonfirmasi tentang adanya keluhan dari masyarakat tentang dugaan maladministrasi berupa pembatasan akses para pengacara dalam mendampingi pengunjuk rasa yang sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka.

“Kami meminta kepolisian tidak melakukan pemeriksaan berlebih kepada para tersangka tanpa didampingi oleh penasihat hukum, sebagaimana hak tersangka yang diatur dalam KUHAP,” ujar Teguh.

Selain itu, Ombudsman juga menyoroti tentang surat STR Polri dalam menyikapi aksi unjuk rasa. Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala mengatakan, polisi tidak memiliki kewenangan untuk melawan balik isu negatif terhadap pemerintah, dalam hal ini yang berkaitan dengan pembentukan RUU Cipta Kerja. Adrianus menilai, pemerintah hari ini cenderung menggunakan semua kekuatannya untuk mensukseskan Omnibus Law.

“Sebetulnya tidak ada (wewenang Polri menggiring opini publik yang mengkritik pemerintah). Kelihatannya pemerintah at all cost alias habis-habisan,” ujar Adrianus.

Polri telah membantah bahwa lima item belanja digital yang bersumber dari APBNP 2020 merupakan upaya sistematis dalam membungkam aksi massa menolak UU Omnibus Law. Lima item ini nantinya akan digunakan untuk pengamanan Pilkada serentak Desember 2020 mendatang.

“Tidak benar kalau ada anggapan bahwa pengadaan untuk pengamanan demo UU Cipta Kerja,” tegas Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Polisi Argo Yuwono awal Oktober lalu.

Penegasan itu disampaikan Argo menyusul temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) lewat laman Sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Polri. Terdapat lima item belanja beberapa satuan kerja di Korps Bhayangkara dengan total Rp408,8 miliar.

Rinciannya, pengadaan centralized command control system for intelligence target surveillance oleh Korbrimob Polri dengan nilai Rp179,4 miliar, pengadaan helm dan rompi anti peluru Brimob (Rp90,1 miliar), peralatan tactical mass control device (Rp66,5 miliar), peralatan counter UAV and surveillance (Rp69,9 miliar) dan pengadaan drone observasi tactical (Rp2,9 miliar).

ICW ‘mencium’ pengadaan barang yang bersumber dari APBNP 2020 dan tercatat sebagai ‘kebutuhan dan atau anggaran mendesak,’ yang berkaitan dengan aktivitas Polri mengantisipasi aksi massa penolakan UU Cipta Kerja.

Argo menyebut, belanja digital itu untuk keperluan tahun depan dan akan diajukan ke DPR RI tahun ini. Tujuan pengadaan peralatan pengamanan juga tidak digunakan untuk wilayah DKI semata melainkan seluruh wilayah di Indonesia.

“Dan yang diutamakan yang ada Pilkadanya,” ujar Argo.

Sementara itu Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menilai besarnya anggaran Polri untuk kegiatan multimedia dan pemantauan media sosial sebagai bagian upaya hukum untuk menjaga keamanan tahapan Pilkada.

“Anggaran polisi besar untuk multimedia dan pemantauan medsos adalah untuk keperluan harkamtibmas dan penegakan hukum khususnya dalam tahapan-tahapan pilkada, karena pengalaman pada masa pemilu dan pilkada, banyak beredar hoax dan ujaran kebencian guna memainkan politik identitas untuk berebut kemenangan,” ujar Poengky ketika dihubungi pada Kamis (22/10/2020)

“Dengan patroli siber, Polri dapat mencegah sekaligus melakukan penegakan hukum pada para pelaku kejahatan siber,” tambah Poengky yang juga bekas pendiri Imparsial.

Menanggapi soal kekerasan selama penanganan aksi penolakan pengesahan UU Cipta Kerja, Poengki menilai kepolisian sudah menjalankan pengamanan sesuai dengan prosedur. Namun kata dia, kekerasan polisi terjadi karena tersulur aksi anarkis dari kelompok tertentu sehingga kepolisian mengeluarkan tahapan-tahapan pembubaran massa.

“Kami melihat aparat Kepolisian berupaya melaksanakan prosedur pengamanan sesuai standar. Termasuk tidak menggunakan peluru tajam. Ketika demo sudah mengarah pada aksi anarki, aparat Kepolisian membubarkan massa dengan tahapan himbauan lisan untuk membubarkan diri, semprotan water canon hingga gas air mata,” kata Poengki.

“Polisi juga menangkap para pelaku anarki dan mendata mereka, setelah sebelumnya dilakukan rapid test. Bagi yang terbukti melakukan tindakan anarki statusnya ditetapkan sebagai tersangka. Bagi yang hanya ikut-ikutan akan dikembalikan pada orang tuanya,” tambah Poengki.

Poengki juga meminta agar kepolisian melakukan penyelidikan untuk menemukan dalang dan penyandang dana aksi kekerasan selama penolakan pengesahan UU Cipta Kerja.

“Kami mendorong Kepolisian melakukan penegakan hukum kepada para pelaku anarki dan orang-orang yang menyuruh lakukan aksi anarki serta penyandang dananya. Demokrasi di Indonesia tidak boleh dicederai dengan tindakan-tindakan anarki,” pintanya.

[Tim Liputan Investigasi Law forJustice]

Sumber Law for Justice

Advertisement
Advertisement