Mempertanyakan Konsistensi Penegakan Hukum Terhadap Protokol Kesehatan (Prokes)
JAKARTA – Hari senin tanggal 16 November 2020 tersiar berita yang cukup mengejutkan dimana Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat Irjen Rudy Sufahriadi dicopot dari jabatannya karena dinilai lalai dalam menegakkan protokol kesehatan.
“Ada dua kapolda yang tidak melaksanakan perintah dalam menegakkan protokol kesehatan, maka diberikan sanksi berupa pencopotan yaitu Kapolda Metro Jaya, kemudian Kapolda Jawa Barat,” ucap Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Senin (16/11/2020).
Seiring dengan dicopotnya dua Kapolda tersebut, tersiar juga berita bahwa Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan dipanggil oleh pihak kepolisian untuk di dengarkan keterangannya terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan yang berada diwilayah kekuasaannya.
Bagaimana awal mula kasus ini sehingga sampai mengorbankan dua perwira tinggi kepolisian hingga pemanggilan HRS serta Gubernur Jakarta oleh pihak yang berwenang ?
Apa urgensinya sehingga penegakan hukum protokol kesehatan perlu dilakukan ?, Benarkah dalam penegakan hukum protokol kesehatan ini terjadi tebang pilih dalam pelaksanaannya ? Apa konsekuensinya jika penegakan hukum tidak dilaksanakan secara adil untuk seluruh warga bangsa ?
Awal Mula
Awal mula ramainya pembicaraan soal penegakan hukum protokol kesehtan berasal dari kedatangan HRS dari mancanegara yang disambut oleh jutaan pendukungnya. Seperti diberitakan, HRS pulang ke Indonesia saat situasi pandemi belum mereda. Tanpa isolasi mandiri, ia menghadiri berbagai acara yang dihadiri oleh ribuan massa .
Terkesan acara-acara yang digelar oleh HRS mulai pesta perkawinan anaknya sampai dengan pengajian-pengajiannya berjalan lancar tanpa kendala padahal acara itu dihadiri oleh ribuan massa yang berpotensi menjadi klaster baru virus corona.
Tak ada teguran langsung maupun pemberian sanksi kepadanya. Tindakan itu disesalkan oleh ahli kesehatan publik. Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Mouhammad Bigwanto. Dia menilai, kerumunan dalam skala besar melanggar protokol kesehatan untuk pencegahan virus corona.
Pemerintah, kata dia, seharusnya berani dan tegas memeringatkan langsung kepada masyarakat yang melangggar protokol kesehatan. Tanpa pandang bulu.
“Harusnya pemerintah tidak membeda-bedakan perlakuan terkait dengan penerapan PSBB, termasuk Pemda DKI Jakarta yang menjadi wilayahnya,” kata Bigwanto sebagaimana dikutip Tirto, Jumat (13/11/2020).
Pembiaran terhadap pelanggaran, katanya, bisa memicu kecemburuan sosial sehingga masyarakat lainnya abai terhadap protokol kesehatan.
Akhirnya, kelompok lain akan ikut membuat acara yang syarat kerumunan massa. Dengan mengabaikan isolasi mandiri, HRS dinilai telah menabrak aturan mengenai isolasi mandiri bagi WNI dari luar negeri diwajibkan karantina 14 hari sesuai dua surat edaran Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Kendati tanpa isolasi mandiri, para pejabat justru ada yang menemui HRS , di antaranya Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Riza Patria. Riza bahkan datang ke acara maulid atau peringatan kelahiran Nabi Muhammad di Tebet Jakarta Selatan yang juga dihadiri HRS.
Pembiaran atas adanya kerumunan massa yang mengiringi rangkaian kedatangan HRS dari Arab Saudi, kegiatan-kegiatan safari dakwah, dan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus pernikahan putrinya memang mendapatkan sorotan dari banyak pihak termasuk kritik keras dari Hendardi (Ketua SETARA Institute) yang menyebut Pememtintah Jokowi telah terjebak dalam politik akomodasi.
Menurut Hendardi, seharusnya sebagai seorang Presiden Jokowi segera memerintahkan Kapolri untuk menindak kerumunan, mempertegas dan menindaklanjuti kasus-kasus hukum yang melilit HRS, memerintahkan Menteri Dalam Negeri untuk mendisiplinkan kepala daerah yang pasif membiarkan kerumunan, dan seharusnya pula tidak membiarkan Bandara Soekarno Hatta lumpuh dan menyengsarakan ribuan warga.
Munculnya kritik yang bertubi tubi atas adanya peristiwa kerumunan massa ini rupanya mendapatkan respons dari Presiden Indonesia. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri begitu kecewa dengan penegakan protokol kesehatan yang dirasakan begitu lemah.
“Saya ingin tegaskan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Pada masa pandemi ini telah kita putuskan pembatasan-pembatasan sosial termasuk di dalamnya adalah pembubaran kerumunan,” kata Jokowi saat menerima laporan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (16/11/2020).
Kepala Negara menegaskan tidak ada satu orang pun kebal terhadap virus corona. Oleh karena itu, pencegahan dengan disipilin protokol kesehatan mesti diambil. Jika melihat ada kerumunan, aparat bisa membubarkannya dan mengambil tindakan, bukan lagi sekadar imbauan.
“Jadi jangan hanya sekadar imbauan, tapi harus diikuti dengan pengawasan dan penegakan aturan secara konkret di lapangan,” tegasnya.
Banjir kritik dari berbagai elemen masyarakat dan respons kepala negara inilah barangkali yang kemudian berimbas pada munculnya kebijakan keras Kapolri untuk mencopot Kapolda Jawa Barat dan Kapolda DKI Jakarta serta pemanggilan HRS dan Gubernur Jakarta oleh pihak kepolisian Indonesia.
Urgensi dan Konsistensi Penegakan Hukum Prokes
Pentingnya penegakan hukum dalam pendisiplinan protokol kesehatan adalah mutlak, dimana penegakan hukum tersebut mempunyai misi dalam menyelamatkan Masyarakat indonesia dari bahaya dan pencegahan penyebaran virus corona.
Dalam hal ini Presiden Indonesia Joko Widodo telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian virus corona.
Substansi Inpres ini hakikatnya tidak jauh berbeda dari aturan yang sebelumnya telah diterapkan di PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, seperti menjaga jarak fisik (physical distancing), menggunakan masker, serta bergaya hidup sehat.
Hal ini dapat dimaklumi karena instruksi (aanschrijvinge) dalam khazanah administrasi negara masuk kategori pseudo wetgeving atau hukum bayangan atau juga disebut sebagai peraturan kebijakan (beleid regel).
Inpres tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Protokol Kesehatan merupakan sinyal bagi masyarakat bahwa protokol kesehatan merupakan hal yang serius untuk dipatuhi dan dipedomani oleh seluruh lapisan masyarakat.
Inpres Nomor 6 Tahun 2020 merupakan regulasi yang baik dalam mendorong keterlibatan berbagai unsur dalam melakukan pendekatan persuasif mengenai penegakan pelaksanaan protokol kesehatan, demikian juga dapar menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah merumuskan sanksi sesuai kearifan lokal di wilayahnya.
Dalam Inpres 6/2020 ini, addressaat norm cukup terperinci tentang siapa bertugas apa. Sebut saja Menkopolhukam, Mendagri, Ketua Satgas Covid-19, Panglima TNI, Kapolri, serta para Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Selain keluar Inpres, dalam rangka penerapan New Normal atau Adaptasi kebiasaan baru, Menteri Kesehatan juga telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi virus corona.
Berbagai upaya lain juga telah dilakukan sebagai faktor pendukung untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman secara langsung maupun tidak langsung melalui media daring maupun media sosial. Berbagai pesan, imbauan, bahkan propaganda positif terus digenjot demi kepentingan bersama.
Pendeknya, politik hukum pemerintah dalam penanganan Covid-19 telah dituangkan di pelbagai kebijakan yang diarahkan untuk menekan penyebaran Covid-19. Namun dalam kenyataannya, angka penyebaran Covid-19 hingga saat ini belum menunjukkan grafik yang melandai.
Belum lagi persoalan turunan akibat krisis kesehatan ini, seperti sektor ekonomi yang juga tak kalah serius. Antara lain pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah pekerja hingga ancaman resesi membayangi Indonesia di hari-hari mendatang ini.
Pelbagai kebijakan pemerintah dalam merespons persoalan Covid-19 yang terbit sejak Maret lalu hingga kini sebenarnya yang utama dibutuhkan tak lain adalah soal konsistensi.
Sejumlah aspek yakni substansi kebijakan, aparat pelaksana serta masyarakat yang ujungnya harus memberi nilai manfaat bagi publik. Kebermanfaatan kebijakan tersebut kuncinya terletak pada konsistensi.
Namun, jika dilihat praktik di lapangan, persoalan substansial dalam menekan angka penyebaran Covid-19 tidak sepenuhnya berjalan efektif. Seperti seruan menggunakan masker, menjaga jarak, termasuk mencuci tangan dengan sabun, belakangan justru tidak sama situasinya saat pertama kali Covid-19 diidentifikasi masuk ke Indonesia.
Bahkan, di sejumlah daerah kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah dilakukan berjilid-jilid, namun implementasi kebijakan tersebut tidak maksimal.
Tidak sedikit warga tidak lagi memakai masker. Termasuk rendahnya pengawasan aparat pemerintah di lapangan. Belum lagi mengenai masih minimnya populasi yang dites Covid-19 ini.
Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) membuat standar tes Covid-19 yakni 1.000 per 1 juta penduduk. Hingga saat ini, baru Provinsi DKI Jakarta yang memiliki angka tertinggi dalam melakukan tes Covid-19 yakni hingga per 11 Agustus lalu mencapai 469.582 warga atau 44.133 tes per 1 juta penduduk.
Pesan penting dari pelbagai kebijakan yang telah diambil pemerintah dalam penanganan Covid-19 serta pemulihan ekonomi akibat dampak turunan dari pandemi ini tak lain dibutuhkan konsistensi dan keajekan dalam perumusan kebijakan publik. Hal ini penting untuk memastikan politik hukum pemerintah dapat berjalan efektif di lapangan.
Lebih dari itu, koordinasi antar instansi pemerintah harus semakin dikuatkan baik di level internal pemerintah pusat maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Inpres 6/2020 memberi pesan kuat mengenai kebutuhan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Seperti di diktum kedua angka 2 Inpres 6/2020 disebutkan agar Menteri Dalam Negeri diminta untuk memberi panduan teknis dan pendampingan kepada kepala daerah dalam menerbitkan peraturan kepala daerah (perkada).
Di samping itu, Menteri Dalam Negeri diminta untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi terkait pelaksanaan peningkatan disiplin dan penegakan hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19.
Lebih dari itu, pemerintah pusat juga semestinya melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan di pelbagai daerah di Indonesia terkait penanganan pencegahan Covid-19 ini.
Pemerintah pusat juga semestinya memberi perhatian khusus kepada daerah-daerah yang memiliki angka tinggi warga yang terpapar Covid-19.
Tebang Pilih ?
Satu hal yang banyak mendapat sorotan dari publik mengenai penegakan hukum Prokes akhir akhir ini adalah masalah adanya dugaan tebang pilih dalam penegakan hukumnya.
Pasca terjadinya peristiwa kerumunan massa yang disebabkan oleh kegiatan HRS, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, Keamanan Mahfud MD sempat `memanggil` aparat keamanan hingga tiga kali saat menyampaikan permintaan pemerintah untuk menindak tegas pelanggaran protokol kesehatan, termasuk kerumunan massa di tengah pandemi.
Mahfud juga menyatakan bahwa pemerintah akan memberikan sanksi kepada aparat keamanan yang tidak bertindak tegas dalam memastikan terlaksananya protokol kesehatan Covid-19.
Selain itu, Mahfud mengingatkan kepada kepala daerah, pejabat publik, dan masyarakat di seluruh Indonesia bahwa pemerintah akan menindak tegas dan lakukan penindakan hukum bila masih melakukan pengumpulan massa dalam jumlah besar.
Tindak lanjut dari “ancaman” Mahfudz ini telah memunculkan korban dengan dicopotnya dua Kapolda menyusul pemanggailan HRS dan Gubermur DKI Jakarta.
Tetapi pencopotan jajaran petinggi kepolosian dan disusul pemanggilan HRS dan Gubernur DKI Jakarta ini telah memunculkan “protes” dari sebagian masyarakat yang menganggap penegakan hukum dalam rangka Prokes terkesan tebang pilih karena hanya menyasar pihak pihak tertentu saja.
Pada hal sebelum sebelumnya marak terjadi pelanggaran terhadap Prokes yang dilakukan oleh berbagai pihak tanpa sanksi apa apa.
Banyak peristiwa dan kejadian yang menunjukkan bahwa sebelum ini telah terjadi pelanggaran pelanggaran itu sebagai contoh pada Rabu (23/9/2020) yang lalu, Wakil Ketua DPRD Tegal Wasmad Edi Susilo menggelar hajatan dengan konser dangdut yang dihadiri oleh ribuan orang di Lapangan Tegal Selatan. Penonton dan tamu undangan berjubel dan dipastikan melanggar protokol kesehatan dimasa pandemi.
Sebelumnya, pasangan bakal cawali dan cawawali Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa pada saat mendaftar membawa massa dalam jumlah banyak sehingga terjadi kerumunan di kator KPU. Hal itu melanggar aturan protokol kesehatan COVID-19 yang telah ditetapkan pemerintah. (6/9/2020).
Masih di Jawa Tengah, sebanyak 9.999 anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Kabupaten Banyumas melakukan longmars ditengah guyuran hujan deras dengan membentangkan bendera merah putih sepanjang 1.000 meter atau satu kilometer.
Kegiatan itu dilakukan pada Minggu (15/11/2020). Kegiatan bertajuk Parade Merah Putih digelar dalam rangka memperingati Hari Pahlawan.
Dikutip dari law-justice.co – acara Kliwonan Habib Luthfi bin Yahya atau Wantimpres Jokowi di Pekalongan, 16 Oktober 2020 lalu, dihadiri ribuan orang. Tak terlihat jaga jarak dan pakai masker dalam acara itu.
Video ini diunggah di You Tube oleh akun MT Darul Hasyimi Jogja. Video ini berdurasi 2 jam 36 menit. Video ini dibuatkan judul Kliwonan 16 Oktober 2020.
Selain peristiwa peristiwa diatas, serangkaian kejadian yang mengindikasikan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan juga terjadi diberbagai daerah di Indonesia beberapa diantaranya terekam dalam link pemberitaan sebagai berikut :
- https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200926183442-32-551329/kubu-mantu-jokowi-langgar-protokol-di-hari-pertama-kampanye
- KPU Izinkan Peserta Pilkada Gelar Konser di Masa Pandemi.https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200915153220-32-546755/kpu-izinkan-peserta-pilkada-gelar-konser-di-masa-pandemi
- Peringati HSN 2020, Ansor Cerme Gresik Gelar Shalawatan hingga Lomba Futsalhttps://nugresik.or.id/peringati-hsn-2020-ansor-cerme-gresik-gelar-shalawatan-hingga-lomba-futsal/
- MWC NU, PAC. Ansor , IPNU-IPPNU,Banser meriahkan Hari Santri Nasional 2020https://www.korancirebon.com/2020/10/mwc-nu-pac-ansor-ipnu-ippnubanser.html
- Pandemi Covid-19, Kepala Kemenag Mantu, Undang Ratusan Tamu di Hotel.https://radarjombang.jawapos.com/read/2020/10/04/217268/pandemi-covid-19-kepala-kemenag-mantu-undang-ratusan-tamu-di-hotel
- Heboh Konser Dangdut di Tegal, Wali Kota Naik Panggung Nyawer Penyanyi.https://jateng.suara.com/read/2020/09/27/120206/heboh-konser-dangdut-di-tegal-wali-kota-naik-panggung-nyawer-penyanyi
- Kasat Intel Gelar Pernikahan Tanpa Masker. https://www.kompas.tv/article/113262/viral-kasat-intel-gelar-pernikahan-tanpa-masker-langsung-dicopot-dari-jabatannya
- Gelar Konser Dangdut di Deklarasi Calon Bupati, Paslon Kena Tegur Gubernur. https://www.kompas.tv/article/106758/gelar-konser-dangdut-di-deklarasi-calon-bupati-paslon-kena-tegur-gubernur
- Duet Bupati Muna Barat Dengan Fildan, Jawara Dangdut Academi Indosiar. https://sulawesion.com/terkini/duet-bupati-muna-barat-dengan-fildan-jawara-dangdut-academi-indosiar/
- Artis Dangdut Ketahuan Konser di Deklarasi Pilkada Gorontalo. https://zonajakarta.pikiran-rakyat.com/regional/pr-18729338/artis-dangdut-ketahuan-konser-di-deklarasi-pilkada-gorontalo-jokowi-tidak-ada-tawar-menawar
- Hadirkan Ratusan Orang dan Gelar Dangdutan, Deklarasi Arhawi-Hardin La Omo Abaikan Imbauan Mendagri?.https://wakatobi.mediakendari.com/hadirkan-ratusan-orang-dan-gelar-dangdutan-deklarasi-arhawi-hardin-la-omo-abaikan-imbauan-mendagri/82970/
- Bupati MALANG Dangdutan, Peneliti Sebut Dalih Dan Pembenaran Sanusi Jadi Bola Liar.https://www.jatimtimes.com/baca/220659/20200811/092000/bupati-malang-dangdutan-peneliti-sebut-dalih-dan-pembenaran-sanusi-justru-jadi-bola-liar
- Lapor Pak Tito, Kader PDIP Surabaya KONVOI Tanpa Protokol Kesehatan, Apakah Dapat Sanksi?.https://m.bizlaw.id/read/28815/Lapor-Pak-Tito-Kader-PDIP-Surabaya-Konvoi-Tanpa-Protokol-Kesehatan-Apakah-Dapat-Sanksi
- Ngeyel LANGGAR Protokol Kesehatan Bawaslu Bubarkan Paksa Konser Kampanye Pilkada.https://ayosemarang.com/read/2020/09/19/63937/ngeyel-langgar-protokol-kesehatan-bawaslu-bubarkan-paksa-konser-kampanye-pilkada
Serangkaian kejadian yang mengindikasikan adanya pelanggaran protokol kesehatan tersebut sepertinya berjalan lancar lancar saja tanpa adanya sanksi bagi pelakunya.
Tidak kedengaran adanya pemanggilan Gubernur atau Bupati/ Walikotanya. Demikian juga tidak ada kedengaran adanya Kapolda yang dicopot dari jabatannya karena dugaan pelanggaran terhadap protokol kesehatan yang terjadi diwilayahnya.
Bisa jadi bebasnya mereka melakukan kerumunan karena merasa sudah tidak ada lagi ketentuan yang melarangnya. Karena pernah tersiar kabar Kapolri Jenderal Idham Azis mencabut maklumat Nomor MAK/2/III/2020 yang diterbitkan pada 19 Maret 2020 tentang kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan penyebaran Covid-19.
Pencabutan dilakukan melalui Surat Telegram Rahasia Nomor STR/364/VI/OPS.2./2020 tanggal 25 Juni 2020 yang ditandatangani oleh As Ops Kapolri Inspektur Jenderal Herry Rudolf Nahak.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan maklumat penanganan Covid-19 dicabut dengan alasan mendukung kebijakan pemerintah terkait tatanan kehidupan normal baru atau New Normal.
Dengan adanya maklumat Kapolri tersebut warga mungkin memahaminya sebagai sebuah kebijakan Kapolri untuk mencabut larangan bagi warga melakukan kegiatan kumpul-kumpul. https://nasional.tempo.co/read/1358247/new-normal-kapolri-cabut-maklumat-pel…
New Normal, Kapolri Cabut Maklumat Pelarangan Berkumpul
Kalau memang demikian halnya mengapa ada sanksi pencopotan jabatan Kapolda dan pemanggilan Gubernur DKI Jakarta serta HRS dengan alasan melanggar protokol kesehatan ?
Wajar juga kalau kemudian masyarakat bertanya mengapa hanya Gubernur DKI Jakarta yang dipanggil untuk dimintai keterangannya sementara Gubernur Banten tempat dimana Bandara Soekarno Hatta berada tidak di usik oleh pihak yang berwenang. Demikian juga Kapoldanya yaitu Kapolda Banten tidak di permasalahkannya.
Dalam kasus yang terjadi di DKI Jakarta, HRS telah dinyatakan melanggar pergub Nomor 79 Tahun 2020 tentang protokol kesehatan, dan pergub Nomor 80 tentang PSBB. Sanksi atas pelanggaran kedua pergub ini adalah denda 50 juta rupiah.
Atas pelanggaran ini, Pemprov DKI Jakarta melalui Kasatpol PP DKI melayangkan surat pemberian sanksi denda kepada Habib Rizieq. Surat Nomor 2250/-1.75 telah diterima, dibaca, lalu HRS membayar denda tersebut dengan segera.
Dalam kasus Jakarta, terlihat tidak adanya tebang pilih, karena Anies menegakkan aturan untuk semua. Siapapun yang melanggar aturan pergub covid, maka akan diberikan sanksi. Tak peduli dia pejabat atau rakyat. Konglomerat atau tokoh masyarakat. Semua sama di depan hukum.
Anies, sebagai kepala daerah sudah tepat mengambil sikap tegas ini. Atas sanksi denda tersebut, HRS berjiwa besar. HRS bahkan mendukung langkah dan sikap tegas Anies ini.
Mungkin pertimbangannya kalau HRS tidak diberi sanksi, bagaimana nantinya umat, semua bisa ikut ikutan melanggar tanpa sadar. Kalau Anies tidak menegakkan aturan, bagaimana dia bertanggung jawab di depan rakyat Jakarta. Orang-orang yang pernah mendapat denda bisa protes dan minta duitnya kembali.
Dari sini sebenarnya terlihat bahwa Gubernur DKI telah memiliki komitmen untuk menegakkan aturan yang berlaku. Apalagi, pergub Nomor 79 dan 80 Tahun 2020 ini dibuat dan ditanda tangani oleh Anies sendiri.
Tentunya Gubernur DKI Jakarta ini tahu konsekuensi atas tanda tangannya. Ini bukti bahwa Anies telah membaca semua pasal di dalam aturan itu sebelum dia menandatanganinya
Dari kasus ini sesungguhnya Anies dan HRS telah memberi contoh yang sangat baik untuk bangsa ini. Meski keduanya berkawan, tetapi hukum tetap harus ditegakkan.
Menurut pengakuan Anies sendiri, penanganan kegiatan kerumunan di Petamburan sudah dilakukan secara proaktif, mulai dari pengiriman surat yang dilakukan Wali Kota Jakarta Pusat Bayu Meghantara perihal peringatan ketentuan yang harus ditaati hingga penindakan sanksi administrasi.
“Dan ini dilakukan oleh Jakarta. Anda boleh cek wilayah mana di Indonesia yang melakukan pengiriman surat mengingatkan secara proaktif bila terjadi potensi pengumpulan. Anda lihat Pilkada di seluruh Indonesia sedang berlangsung, adakah surat (resmi) mengingatkan penyelenggara tentang pentingnya menaati protokol kesehatan,” ujar Anies di DPRD DKI Jakarta, Senin (16/11/2020).
Di berbagai tempat banyak aktivitas pertemuan yang menimbulkan kerumunan. Apakah ada penindakan?. Jakarta memilih untuk melakukan tindakan dalam waktu kurang dari 24 jam.
“Jadi yang dikerjakan sesuai ketentuan peraturan yang ada. Dan itulah fungsi dari pemerintah. Pemerintah menjalankan sesuai ketentuan. Ketentuannya diatur dimana? Ada Peraturan Gubernur dan itu yang menjadi rujukan,” kata Anies.
Alhasil pemeriksaaan terhadap Anies Baswedan pada akhirnya justru menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemerintah Pusat meningkat.
“Pemeriksaan Anies oleh Polda Metro Jaya membuat kelompok-kelompok yang awalnya netral makin curiga terhadap pemerintah sehingga meningkatkan ketidakpercayaan terhadap penguasa,” kata pengamat kebijakan publik Amir Hamzah sebagaimana dikutip suaranasional, Senin (16/11/2020
Menurut Amir Hamzah, pemeriksaan Anies oleh Polda Metro Jaya memunculkan masalah baru. “Padahal yang dilakukan Anies melakukan pengawasan terhadap kegiatan pernikahan putri HRS di Petamburan dalam konteks admnistrasi pemerintahan,” ungkap Amir Hamzah.
Selain itu, Amir Hamzah mengatakan, kalau sikap Anies yang berkaitan dengan kegiatan HRS dianggap menyimpang dari aturan maka bisa digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukannya diperiksa oleh Kepolisian.
Menimbulkan Kecurigaan
Dicopotnya dua Kapolda menyusul pemanggilan Gubernur DKI Jakarta dan HRS yang didakwa melanggar protokol kesehatan memang menimbulkan serangkaian pertanyaan dan kecurigaan sementara pelanggaran serupa ditempat lain tidak ada tindakan apa apa.
Sebagai contoh pada kasus yang terjadi di Jawa Tengah, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo jtidak dipanggil Polda Jateng. Padahal, tidak ada kabar Ganjar mendenda pelaku pelaku kerumunan massa yang ada diwilayahnya.
Karenanya, pemanggilan Anies Baswedan oleh Polda Metro Jaya meski dengan nomenklatur Undangan Klarifikasi, dicurigai mengandung motif lain.
Maksudnya, alasan penegakan protokol kesehatan dimasa pandemi, serta sejumlah pelanggaran yang dipersoalkan, bukanlah tujuan pemanggilan, namun ada motif yang lain yang bersifat politis.
Boleh jadi yang menjadi motif dan latar belakang pencopotan sejumlah Kapolda dan pemanggilan (undangan) kepada Anies Baswedan, tak lepas dari adanya wacana Reuni 212 yang rencana diadakan 2 Desember nanti.
Sebagaimana beredar viral, Ust Haekal Hasan menegaskan akan melakukan kegiatan Reuni 212, jika pemerintah tetap melanjutkan agenda Pilkada. Padahal, menunda atau apalagi membatalkan Pilkada adalah sesuatu yang mustahil
Pemanggilan Anies Baswedan sangat penting agar `izin penggunaan Monas` dapat di `intervensi` dengan dalih penegakan protokol kesehatan di musim pandemi.
Target politik yang hendak dituju adalah upaya menggagalkan Reuni 212 dengan alasan pandemi. Lebih jauh, target politik yang hendak diraih adalah melanjutkan politik isolasi terhadap HRS agar pengaruhnya tak semakin membesar. Karena sebagaimana diketahui, jika Reuni 212 tetap dilaksanakan, momentum ini akan membesarkan pengaruh HRS.
Bisa jadi hal inilah, yang ditakutkan penguasa sehingga bisa menjadi `Hulu Ledak` gerakan Revolusi Akhlak yang jelas akan menenggelamkan Revolusi Mental yang di usung oleh pemerintah. Apakah memang demikian kiranya ?
Yang jelas ketidak penegakan hukum dilakukan secara tidak adil akan menimbulkan berbagai permasalahan karena hukum akan menjadi alat untuk menindas yang lemah tidak berdaya sebab hukum bisa di permainkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan.
Mereka yang berkuasa akan dapat bertindak semena-mena terhadap kaum yang lemah. Selain itu berpotensi memunculkan kekacauan di segala sektor karena adanya ketidapuasan.
Masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemimpinnya. Karena seorang pemimpin diharapkan untuk mampu bersikap tegas dan adil. Jika ketidakadilan terus terjadi, maka masyarakat akan kecewa dan kehilangan kepercayaan kepada pemimpin dan pemerintahnya.
Masyarakat tidak akan patuh lagi kepada pemimpinnya dan menjadi apatis terhadap segala bentuk implementasi dari hukum dan pemerintahan.
Pada akhirnya tanpa adanya Keadilan tidak akan ada Perdamaian. Tanpa adanya keadilan, manusia akan saling menyakiti satu sama lain. Protes akan terjadi dimana-mana, kudeta bisa terjadi disetiap pemerintahan karena tanpa adanya keadilan maka tidak akan ada lagi perdamaian.
Semoga saja kasus yang terjadi di Jakarta terkait dengan penegakan hukum protokol kesehatan menjadi momentum bagi pemeirntah untuk bisa menegakkan hukum secara adil untuk seluruh wilayah Nusantara dengan sebenar benarnya dan selurus lurusnya untuk mencegah terus menyebarnya virus corona.
Tetapi kalau kemudian momentum ini tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya atau justru ingin bermain main dengan keadilan maka percayalah suatu saat pasti akan menuai hasilnya.[]
Penulis H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Sumber Law Justice