Menelisik Keadilan Bagi Sebelah Mata Bagi Novel Baswedan
JAKARTA – Hari Kamis 11 April 2019, genap dua tahun kasus teror yang dialami Novel Baswedan, tanpa kejelasan. Dua tahun lalu, Selasa subuh (11/4/2017), dua orang tak dikenal menyiram wajah Novel dengan air keras.
Saat itu, Novel tengah berjalan menuju rumahnya sesuai melaksanakan salat subuh di Masjid Al-Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Akibat siraman air korosif itu, mata kiri penyidik senior KPK itu mengalami kerusakan hingga 95 persen. Mata kanannya juga mengalami kerusakan dan kini tidak lagi bisa melihat dengan sempurna.
Kondisi itu nampaknya sengaja diinginkan oleh “musuhnya”, karena sepak terjangnya dalam pemberantasan korupsi begitu “bengis”. Tak pandang bulu, siapapun yang terlibat dalam pusaran korupsi bakal kena libas olehnya.
Namun, lebih dari 700 hari sejak peristiwa itu terjadi, polisi belum berhasil menangkap pelakunya. Alhasil, kasus yang menimpa kerabat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu sampai saat ini belum juga terungkap. Padahal, Novel sudah kembali menjalani rutinitas sebagai penyidik di KPK. Polri memberikan kesan mereka kesulitan mengungkap kasus yang tesebut. Sementara itu, publik tahu bahwa Polri merupakan institusi yang ahli dalam hal ini.
Karena gemas tidak ada titik terang, untuk menunjukkan rasa solidaritas, wadah pegawai KPK membuat sayembara untuk membantu mengungkap kasus Novel. Mereka menyediakan dua hadiah berupa sepeda mini bagi orang yang bisa memberikan informasi secara akurat mengenai kasus penyiraman terhadap Novel. Aksi sayembara ini dilakukan sebagai simbol dukungan terhadap pengungkapan kasus Novel tidak akan berhenti sampai kapan pun.
Saat ini, dua sepeda mini tersebut masih dipajang di depan pelataran gedung Merah Putih KPK. Masih terbungkus rapi, meski sedikit berdebu, lantaran tak terurus.
Peringatan Dua Tahun Novel
Hari ini, untuk mengingatkan kembali kejadian teror air keras kepada Novel, WP KPK akan menggelar panggung rakyat antikorupsi di gedung KPK, Kuningan, Jakarta.
Salah satu alasan digelarnya panggung rakyat antikorupsi adalah untuk mendesak Presiden Joko Widodo membentuk TGPF independen. Bukan cuma untuk pengungkapan teror ke Novel, TGPF juga harus dibentuk untuk mengungkap teror ke pimpinan KPK dan teror lainnya ke lembaga antirasuah itu.
Untuk khidmat acara ini, WP KPK sudah menyebar 1.000 undangan kepada tokoh nasional, organisasi-organisasi yang pro pemberantasan korupsi, dan mantan pimpinan KPK serta eks pegawai KPK. Dalam acara nantinya, rencananya para undangan akan mendeklarasikan “Stop Teror” kepada pegawai dan pimpinan KPK.
Kegiatan ini juga akan diisi dengan sarasehan budaya oleh Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun dan konser musik bertema pemberantasan korupsi. “Peringatan ini sekaligus menjadi simbol bahwa rakyat Indonesia bersatu melawan korupsi,” ujar Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo.
Selain deklarasi “Stop Teror”, kegiatan itu juga akan berisi sarasehan budaya oleh Cak Nun serta konser musik antikorupsi. Lebih daripada itu, Yudi masih menyerukan pembentukan TGPF yang independen untuk mengusut teror pada Novel tersebut.
Ditarik ke Arena Politik
Meskin belum menghasilkan apa-apa, kasus teror terhadap Novel menjadi isu liar. Dari segala lini, perkara ini kemudian dikaitkan dengan urusan politik. Novel dikabarkan masuk dalam Partai Gerindra, isu yang langsung dimentahkan oleh KPK.
Adalah Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane yang mengembuskan isu Novel Baswedan sebagai `orang` Partai Gerindra. Melalui pesan tertulisnya, Neta mengatakan, “KPK perlu menjelaskan dan mengklarifikasi adanya isu bahwa penyidiknya, Novel Baswedan, sebagai `orang` Partai Gerindra di lembaga antirasuah itu.”
Klarifikasi itu menjadi penting karena menyangkut independensi KPK dalam hal pemberantasan korupsi dan tidak ditunggangi kepentingan politik tertentu, terutama menjelang Pilpres 2019. Isu itu, kata Neta, berkembang setelah Novel disebut oleh jubir Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sebagai salah seorang kandidat jaksa agung.
Dua Wakil Ketua Umum Gerindra, yaitu Fadli Zon dan Arief Poyuono, menurut Neta, juga mengungkap kedekatan Novel dengan Prabowo. Bahkan, masih kata Neta, Arief Poyuono menyebut Novel dengan sebutan `orang kita`.
“Pernyataan ketiga tokoh itu harus disikapi pimpinan KPK agar independensi lembaga itu tetap terjaga sehingga KPK tidak ditunggangi dan diperalat kekuatan partai politik tertentu untuk mengkriminalisasi lawan-lawan politiknya dengan isu atau kasus-kasus korupsi,” ujarnya.
Tudingan Neta buru-buru ditangkal KPK. Lembaga tersebut menegaskan, dari jajaran pimpinan hingga stafnya tak ada yang terkait dengan partai politik. “KPK, mulai dari unsur pimpinan sampai pada unsur pegawai, memastikan tidak akan terkait pada kelompok politik praktis mana pun,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Dia berharap semua pihak bisa menempatkan KPK sebagai lembaga independen dalam hal ini. Febri meminta semua pihak tak menarik KPK ke isu politik praktis. “Jangan tarik KPK ke isu politik praktis karena itu hanya akan merugikan upaya pemberantasan korupsi kita. Novel juga sudah jelas mengatakan bahwa informasi-informasi tersebut tidak benar,” ujarnya.
Keadilan Sebelah Mata
Langkah demi langkah terus digerakan, tetapi aksi nyata petinggi negara seolah acuh. Hal itu membuat Novel kembali bersuara atas kasus yang menimpanya. “Saya mau berkata apalagi?” kata dia ketika berbincang dengan Justice For Law, Sabtu (06/04/2019).
Meski pun, katanya, saat ini sudah ada tim gabungan penyelidik dan penyidik yang dibentuk Polri. Hanya saja, dirinya tidak mengerti apa yang saat ini mereka lakukan terhadap langkah-langkah pengungkapan itu.
“Saya tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Saya pikir karena timnya sama dengan penyidik sebelumnya, yang dibuat itu-itu saja,” katanya lagi. Novel melihat saat ini ada langkah-langkah yang mengalihkan isu. Salah satunya terkait dengan dirinya disebut-sebut sebagai partisan pasangan capres 02, Prabowo Subianto.
Oleh karena itu, dia menampik bahwa dirinya terikat dengan partai politik. Termasuk dugaan dirinya yang diisukan sebagai orang Prabowo Subianto di Partai Gerindra. “Enggak benar itu. Dari KPK juga sudah memberikan pernyatan bahwa itu tidak benar,” kata Novel.
Tudingan-tudingan itu menurut Novel merupakan segaja yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengalihkan isu menjelang dua tahun penyerangan dirinya. “Saya kira itu hanya upaya pengalihan isu saja. Karena minggu depan tepat dua tahun penyerangan saya, dan tetap tidak ada kemauan untuk diungkap. Begitu juga dengan serangan terhadap orang-orang KPK lainnya yang sama sekali tidak diungkap,” lanjutnya.
Novel Baswedan menganggap pemerintah sampai saat ini hanya tetap diam, dan seolah tidak peduli walau teror terhadap dirinya telah memasuki 700 hari. “Tidak ada kejelasan pengungkapan pelaku penyerangan dan sikap pemerintah tetap diam, seolah membiarkan atau tidak peduli,” kata dia, “Seperti kebanyakan kasus kekerasan terhadap pejuang antikorupsi dan HAM lainnya,” ujarnya lagi.
Untuk itu, Novel mendesak Jokowi segera membentuk TGPF independen dan bebas kepentingan politik. Dia mengatakan pembentukan tim itu dapat membuka jalan pengungkapan kasusnya. Tak hanya itu, Novel juga menganggap pembentukan Tim Gabungan Kasus Novel Baswedan oleh kepolisian juga belum menunjukkan hasil.
Tim tersebut dibentuk Kapolri Jenderal Tito Karnavian pada awal Januari 2019, yang terdiri 65 anggota, termasuk unsur kepolisian dan tim pakar. Pembentukan tim itu merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Tim Pemantau Komnas HAM untuk Kasus Novel.
Meski pun begitu, Novel meragukan kinerja tim tersebut dalam mengungkap kasusnya. Dia menganggap tim tidak menunjukan kesungguhannya dalam mengungkap serangan terhadap pegawai KPK. [Neby/Net]