April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mengenal Proses Kreatif Raja Burung Walet, Boedi Mranata

11 min read

JAKARTA – Pertengahan tahun 1980-an menjadi masa kelam bagi Boedi Mranata, pria yang kini dikenal sebagai Raja Burung Walet. Pada masa-masa tersebutlah Boedi harus menerima trauma karena ratusan hektare tambak udang yang dikelolanya tercemar limbah pabrik. Tidak usah tanya seberapa besar ruginya. Yang jelas pencemaran tersebut membuat tambak udang yang digarapnya hancur.

Asa tiada menyurut, walaupun trauma tetap membekas. Justru ketika tambak udang garapannya habis digempur limbah pabrik kertas yang ada di sekitarnya, ia menemukan celah lain untuk memulai usaha yang tidak rentan pencemaran serupa. Menemukan celah ini tak ubahnya seperti sifatnya sedari muda memang bisa mencari jalan lain untuk berbagai impiannya. Boedi pun sukses menemukan celah usaha lain yang tidak jauh-jauh dari basis pendidikannya sebagai doktor di bidang Biologi. Ya, usaha burung waletlah yang menjadi pilihannya.

Mengenai mencari celah untuk impian memang sudah dilakukan pria dengan zodiak Gemini ini semenjak memulai perguruan tinggi. Kala itu seperti orang kebanyakan, ia ingin menjadi seorang dokter. Maklum saja, profesi tersebut dianggap memiliki prestisius tinggi. Ingin sukses, jadilah dokter, mungkin itulah pikiran orang kebanyakan pada sekitar tahun 1980-an tersebut.

Semakin banyak peminat, tentulah kian sulit untuk bisa masuk ke jurusan yang dianggap mampu menggiringnya ke masa depan cemerlang. Belum lagi sulitnya pendidikan selama menempuh jurusan tersebut. Boedi tampaknya menyadari betul hal tersebut. Apalagi di daerah asalnya di Banyuwangi, hanya ada 3 dokter yang ada.

Bukan Boedi namanya kalau mudah menyerah. Kemungkinan diterima di dalam negeri kecil justru membuka mata Boedi untuk mencari peruntungan di luar negeri. Kebetulan pula ia didukung adanya saudara di Jerman yang menawarkannya untuk kuliah di negeri tersebut. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Boedi pun akhirnya terbang ke Jerman di sekitaran tahun 1969.

Sampai di sana, tiba-tiba saja nyalinya menciut untuk bisa mendaftar ke jurusan kedokteran. Ketakutan sedari kecil terhadap jarum suntik menyeruak kembali. Ia semakin sadar sulit mengusir ketakutan tersebut jika akhirnya menjadi dokter. Daripada tidak bisa optimal menjadi seorang dokter karena takut jarum suntik, ia pun memutuskan batal masuk ke jurusan kedokteran.

 

Boedi pun memilih jurusan yang dianggapnya lebih lain, yaitu Biologi. Pertimbangannya sederhana saja. Pertama, tidak ada urusan suntik-menyuntik di jurusan tersebut. Kedua, masuk ke jurusan Biologi dianggapnya lebih mudah dibandingkan jurusan kedokteran karena saingannya lebih sedikit.

Ketiga dan yang tidak kalah penting, Biologi dapat mendekatkannya pada sesuatu yang ia cintai, yaitu hewan-hewan. Asal tahu saja, sedari kecil Boedi memang sudah gemar terhadap berbagai binatang, entah untuk dipelihara ataupun untuk sekadar dilihat.

Hasilnya, pilihannya sukses ia rengkuh. Boedi lolos masuk ke jurusan Biologi di Universitas Hamburg. Ia pun setia di jurusan tersebut sampai bisa meraih jenjang doktoralnya sekitar 15 tahun kemudian.

 

Trauma Udang

Selama di Universitas Hamburg, Boedi cukup spesifik mengambil peminatan terhadap biologi terapan. Alasannya sederhana karena peminatan yang dulunya dikenal sebagai angowanted biology ini dianggap lebih berpeluang untuk diterapkan dalam bisnis di Indonesia.

Selama di Jerman pula, Boedi sudah berandai-andai untuk  bisa menerapkan ilmunya di sektor perikanan. Ini mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang sekitar 66% wilayahnya merupakan perairan. Jelas dengan kondisi tersebut, potensi sektor perikanan tidaklah kecil di nusantara.

“Waktu saya lulus perikanan sedang booming. Sedang masa pencanangan udang nasional soalnya. Semua lulusan perikanan laris,” ceritanya saat ditemui Validnews di Jakarta, Sabtu (23/2).

Nasib baik pun menghampiri Boedi. Dimulai dari referensi dari profesornya di Jerman, Boedi pun dapat terhubung dengan Iskandar Alisjahbana yang saat itu menjabat sebagai Rektor di Institut Teknologi Bandung (ITB) itu. Kala itu, pihak Alisjahbana memang sedang gencar merekrut intelektual Indonesia di luar negeri karena memiliki misi mengembangkan perikanan Indonesia.

Dari Iskandar Alisjahbana pula ia akhirnya bisa tersangkut dalam lingkaran Grup Femina Gadis (Fega) yang merupakan milik Sofyan Alisjahbana. Di sanalah ia mulai mengawali kariernya di bidang perikanan nusantara.

Pada masa itu, Grup Fega dikenal sebagai perusahaan perikanan terbesar di Indonesia. Karier Boedi cemerlang di sana sehingga bisa menjabati kursi direktur operasional. Di kepemimpinannya, Boedi sukses membawa perusahaan menorehkan catatan gemilang dengan keuntungan terbanyak di tahun pertama jabatannya.

Capaian ini juga yang kemudian menggiringnya masuk ke lingkaran istana. Ia direkrut sebagai salah satu penasihat Presiden Soeharto khusus bidang perikanan. Sebagai pakar, pandangan teknisnya menjadi masukan bagi Pak Harto yang sedang menggarap proyek tambak inti rakyat (TIR).

Meski hanya digaji dengan makan siang hatinya tetap saja senang. Tak muluk-muluk keinginannya, hanya menurutnya, Indonesia yang dua pertiga luas wilayahnya adalah perairan seharusnya memiliki kementerian khusus yang mengurusi sektor perikanan.

Sayangnya, tumpang tindih kebijakan tata ruang, menurutnya, menjadi penghambat pengembangan sektor perikanan dulu. Tak ada batas yang jelas antara wilayah budi daya dan industri.

Hambatan ini pulalah yang dirasakan Boedi semenjak ia berkecimpung dalam usaha Grup Fega. Kala itu sekitar 300 hektare tambak udang perusahaan di kawasan Serang hancur pada tahun 1986 dikarenakan batas yang tidak jelas antara budi daya dan industri.

Ketidakjelasan tersebut membuat lokasi tambak udangnya tercemar karena jaraknya dengan dekat pabrik. Keberadaan pabrik tersebut menjadi sumber pencemaran bagi tambak garapannya.

Padahal sebelumnya ketika akan memulai usaha, Boedi telah sowan ke pemerintah daerah (pemda) untuk memastikan status lahan yang akan digarapnya. Pemda pulalah yang memastikan bahwa kawasan yang hendak dijadikan tambak udang oleh Boedi merupakan area pertanian.

Nyatanya, omongan pemda hanya menjadi pepesan kosong. Ketika tambaknya sudah terbangun, mulai berdiri pula pabrik-pabrik di sekitarnya. Bukan hanya satu, setidaknya ada empat pabrik yang ada di sekeliling tambak udang milik pria yang lahir pada 17 Juni 1951 ini.

Dekatnya pabrik membuat limbah mengalir deras ke lokasi tambak. Bukan hanya udang-udang yang tidak bisa hidup, masyarakat pun sebenarnya kesulitan dengan keberadaan pabrik-pabrik tersebut. Soalnya akibat limbah pencemaran pabrik, warga menjadi kian sulit mengakses air bersih.

 

Eksperimen Walet

Trauma tersebut tak membuat Boedi patah arang. Seperti sudah kebiasaannya sedari muda, ia selalu mampu mencari celah lain untuk terus menggapai mimpinya, tidak terkecuali dalam berbisnis.

Menyadari bahwa pencemaran pasti akan selalu ada dan memungkinkan kembali menggagalkan usaha mandirinya kelak, Boedi memutar otak mencari bisnis lain yang tak rentan jika ada pencemaran. Mengelola bisnis binatang di sektor udara pun menjadi opsinya. Ia berpikir karena pencemaran di udara pasti lebih dijaga kencang mengingat udara merupakan kebutuhan dasar manusia.

“Kalau udara sampai tercemar orang kan batuk semua. Mestinya banyak yang protes. Nah burung ini. Burung apa lagi yang bisa menghasilkan? Ya, burung walet,” pikirnya.

Usaha sarang burung walet kemudian mulai digelutinya. Namun, tak semudah sekarang di mana semua bisa dijawab lewat mesin pencari di internet. Berbagai eksperimen harus dilakukannya demi mendapat formula yang tepat dalam pembudidayaan burung walet.

Terlebih saat itu isu negatif telanjur berkembang terkait keberadaan hewan satu ini. Masalahnya di rumah penduduk yang ada sarang burung waletnya, hampir pasti  memiliki keturunan yang menderita cacat fisik.

Minimnya pengetahuan masyarakat dulu membuat fenomena itu menjadi lebih kental bau mistisnya. Padahal, ini murni masalah higienitas saja.

“Saya lihat ada fenomena seperti itu. Tapi, saya pelajari cepat. Itu toksoplasmosis,” jelasnya.

Seperti hewan lainnya, virus tokso pada kotoran burung walet memang berbahaya bagi ibu yang hamil. Oleh karena itu, Boedi pun mengambil kesimpulan, tidak seharusnya rumah burung walet dijadikan satu dengan tempat tinggal.

Tidak berhenti sampai situ. Perlu setidaknya 3-4 tahun berbagai percobaan Boedi lakukan pada awal merintis usahanya. Maklum saja, burung yang satu ini memang unik. Lain dari proses budi daya hewan umumnya yang ditangkarkan, burung walet baiknya dibudi daya dengan cara dilepas bebas, bahkan cenderung liar. Jika tak pandai membuat sarang, burung pun tak segan pergi dan tak lagi kembali. Maka sudah begitu jelas keberlangsungan usaha menjadi taruhannya.

Ilmunya sebagai doktor biologi sedikit banyak mendukung Boedi dalam proses belajar ini. Perilaku hewan ini menjadi panduannya melakukan percobaan supaya burung itu kian nyaman singgah di rumah buatannya. Yang paling dasar adalah menentukan tempat yang cocok dijadikan rumah walet. Dari pengamatannya setidaknya tiga kriteria harus dipenuhi dalam memilih lokasi rumah walet, yaitu sungai, kuburan, dan masjid.

“Zaman dulu orang bilang jangan beli dekat kuburan banyak setannya. Saya bilang tidak apa-apa, burungnya banyak,” tuturnya tergelak.

Bak pilot, walet mencari lokasi yang cukup lapang untuk akhirnya hinggap di suatu tempat. Buktinya, banyak sarang burung terbuat secara alami di rumah penduduk dekat kuburan. Sementara itu, aliran sungai menjadi area ideal bagi ketersediaan bahan makanan hewan pemakan serangga ini.

Untuk menarik perhatian burung walet, penggunaan teknologi audio digunakan. Hanya saja, pemasangan audio juga tidak bisa sembarangan. Masalahnya burung walet cukup sensitif terhadap perubahan biotanya. Maka, Boedi harus pintar mengatur siasat dalam pemanfaatan teknologi ini. Tujuannya tentu agar burung betah tinggal di rumah walet buatannya.

Soal kenyamanan jelas menjadi faktor utama yang diperhatikan. Rumah walet dinyatakannya perlu dijaga intensitas pencahayaan dan kadar airnya. Kondisi yang kering dan panas tentu membuat  burung tak betah tinggal, apalagi mau kembali. Gangguan eksternal lain juga bisa memengaruhi, seperti misalnya ada gangguan tikus, burung  hantu, atau gangguan suara yang terlalu ramai.

Faktor-faktor ini pun hanya secuil dari ratusan ilmu walet yang didapatkan dari hasil percobaannya. Setelah satu per satu ilmu terkumpul dan terbukti berhasil, duplikasi terus dilakukan hingga kini rumah waletnya tidak hanya ada di Jawa, tapi juga tersebar di Sumatra, Kalimantan, sampai Sulawesi.

“Prinsipnya kalau sesuatu repeatable, itu benar. Kalau tidak bisa diulang, berarti itu masih salah. Terus saya coba-coba terus sampai betul, ya lama-lama sudah, seperti buat McDonalds saja. Tambah lama tambah banyak (rumah burung.red),”  paparnya.

 

Pasar Internasional

Masalah rumah walet selesai lewat eksperimennya yang cukup panjang. Namun, permasalahan lainnya tetap ada. Kali ini soal pasar. Memasuki awal 1990-an, tidak banyak ketertarikan masyarakat terhadap sarang burung walet. Alhasil, sulit pula Boedi mencari peluang pasar domestik untuk bisnis burungnya ini.

Ekspor pun menjadi tumpuan. Utamanya di China, sarang burung walet telah dikenal lama kayak akan khasiat. Tidak hanya dipercaya dalam menjaga stamina, kandungan asam sialat dalam sarang burung walet diyakini juga bermanfaat bagi pertumbuhan otak bayi.

Namun, berdagang hingga ke Negeri Tirai Bambu pun tak semudah membalikkan telapak tangan. Masalahnya sejak dulu Indonesia tercatat sebagai negara endemik virus H5N1  yang membawa avian influenza atau yang banyak dikenal virus flu burung. Ini menyebabkan unggas dari China sulit diperdagangkan bebas ke China.

Padahal, negara lain seperti Malaysia dan Singapura bebas berdagang ke China. Akhirnya, jalur belakang mau tak mau diambil Boedi untuk dapat menjual produk sarang burungnya.

“Pada tahun 88-90-an, setelah memiliki beberapa rumah burung walet, bingung jualan di mana zaman itu. Ya sudah, bawa saja per 20 kg ke Singapura dan Hong Kong,” tukasnya.

Hampir 20 tahun kemudian, kesempatan emas pun datang bagi bisnis sarang burung walet yang dikelola Budi. Tepat  pada tahun 2010, ada sebuah pertemuan internasional antara Indonesia dan China di Yogyakarta. Boedi mencoba mencari jalan keluar atas hambatan perdagangan ini. Atas bantuan Menteri Perdagangan Maria Elka Pangestu, Boedi mendapat kesempatan berdiskusi dengan Menteri Perdagangan China yang datang saat itu.

Hasil pertemuan cukup membuat Boedi terkejut. Soalnya selama ini berbagai hambatan yang dirasakan Boedi untuk memasukkan sarang burung waletnya ke China tidak banyak diketahui oleh otoritas perdagangan di sana.

Boedi pun menjelaskan bahwa saat itu sudah ada jalan keluar terbaik untuk mengatasi isu virus H5N1 itu. Menanggapi penjelasannya, diskusi pun ditutup dengan satu pertanyaan penting yang dilemparkan oleh pejabat pemerintah China itu.

“’Kalau kamu bisa langsung ekspor ke China harganya lebih murah, ya?’ Ya lebih murah saya jawab. Oh ya sudah, kata dia,” cerita Boedi mengingat diskusi malam waktu itu.

 

Raja Burung

Gayung bersambut. Hanya dalam 2—3 minggu utusan pemerintah China datang kembali ke Indonesia. Solusi dari masalah perdagangan dua negeri ini coba dipecahkan yang ternyata sederhana saja penyelesaiannya. Sebab diketahui, virus H5N1 ini akan mati setelah dipanaskan dalam suhu 70 derajat Celsius selama 3,5 detik. Maka semenjak itu, prosedur ini menjadi pedoman wajib ekspor sarang burung walet dari Indonesia ke China.

Selain itu, Boedi mengaku, memang masih banyak syarat yang harus dipenuhi eksportir burung walet untuk dapat tembus ke pasar China. Pemerintah China memang sangat menjaga berbagai komoditas pangan yang masuk ke negara itu. Sebab pasar China yang besar kerap menjadi incaran pedagang nakal yang hanya mau cari untung. Hingga tak heran berbagai produk selundupan berusaha merangsek masuk tanpa jaminan keamanan dan kesehatan yang jelas.

“Kalau mau serius berbisnis ini ya harus mempelajari aturan-aturan internasional. Sebab memang begitu aturannya. Di Indonesia sama lah aturannya. Itu kan demi memproteksi masyarakat negaranya. Ya, sah-sah saja,” tegasnya.

Beruntung Boedi dapat memenuhi segala syarat tersebut dan dengan gemilang terus menjual sarang burung waletnya ke Negeri Panda. Sampai kini, usahanya mampu menyuplai sekitar 70% dari permintaan sarang burung walet.

Di sisi lain, ia menyayangkan banyak pengusaha yang langsung mutung ketika harus berhadapan dengan aturan perdagangan yang ketat ini. Hal inilah yang membuat beberapa pengusaha burung walet tidak lama bertahan di pasar. Bukan soal besarnya modal yang telah dikeluarkan. Tapi, lebih pada kemauan untuk mengikuti aturan yang berlaku di tingkat internasional.

Sebab modal kata dia bukan satu-satunya indikator keberhasilan usaha. Ia bahkan menemukan pengusaha sarang burung walet bermodal yang besar yang usahanya rontok hanya dalam waktu singkat. Mereka ini kata dia hanya mementingkan masalah penjualan dengan promosi yang besar-besaran saja. Ironisnya bagian produksi tidak dijaga dengan baik, hingga produk sarang burung walet yang dihasilkan pun rendah kualitasnya.

“Konsumen sarang burung walet ini kan masyarakat kelas atas. Jadi, mereka standar kualitas mereka ya tinggi juga,” kata dia.

Boedi menyatakan, itulah pentingnya sebagai seorang pengusaha untuk menjaga keberlangsungan sektor produksi hingga perdagangannya dari ujung ke ujung menjadi sangat penting. Meski disadari, kebersatuan industri seperti yang ia lakukan dalam usaha sarang burung waletnya ini tak mudah dilakukan. Ia sendiri perlu setidaknya perlu 10-20 tahun untuk membangun usahanya hingga saat ini.

“Ilmunya harus dikuasai. Soalnya yang namanya lendirkan air, mudah hilang. Jadi, kan harusnya nyucinya jangan terlalu banyak, nyabutnya dari samping. Banyak sekali trik-trik kecil sperti itu. Kalau dia langsung buka besar tapi produksinya jelek-jelek ya enggak laku,” tukasnya.

Kini setidaknya sekitar 30 tahun sudah Boedi menggeluti usaha sarang burung walet. Suka duka hingga pasang surut usaha jelas dialaminya. Namun baginya, yang namanya bisnis pasti ada untung dan ada rugi. Walau rugi pun, pengusaha mesti mencari cara agar bisa bertahan dalam kerugian. Maka dengan perkembangan usahanya saat ini pun membuat dia dan mitra kerjanya makin berhitung dalam melangkah.

Wejangan terus disampaikan pada seluruh mitra kerjanya agar bisa membuat skala prioritas masalah mana yang lebih layak untuk diselesaikan terlebih dahulu. Sebab, tak semua usaha menghasilkan uang tentunya. Bukan soal uangnya. Tapi dengan besarnya usaha yang ia miliki kini, hidup ribuan jiwa menjadi tanggung jawab yang harus ia jaga sehingga harapannya semua karyawan tetap hidup sejahtera. Jadi menurutnya, sudut pandang pengusaha harus diubah, yaitu ya harus demi kemajuan usaha.

Meski bisa dikatakan telah merajai pasar dunia, Boedi mengakui, tantangan perdagangan kian ketat ke depannya. Maka tugas terberat kini mempertahankan posisi di piramida yang paling atas dalam perdagangan. Sebab mata pembeli dan pesaing kini tertuju pada produk yang dipasarkannya.

“Saya takut sumber daya manusia yang kita punya terlalu tereksploitasi sehingga tidak fokus,” katanya khawatir.

Ke depannya ia berharap produk sarang burung walet Indonesia bisa jadi produk andalan ekspor yang berkontribusi baik bagi devisa negara. Menurutnya sarang burung walet ini merupakan anugrah Tuhan untuk Indonesia. Sebab hanya satu jenis burung ini saja di seluruh dunia yang dengan sarangnya yang terbuat dari liur memiliki khasiat dan manfaat yang luar biasa sehingga bisa dijadikan produk makanan dan diekspor.

“Anugerah ini harus benar diapresiasi dan dijadikan andalan untuk kemakmuran bersama. Sebab yang namanya petani itu di rumah-rumah yang kecil ada saja (sarang burung walet). Jadi, semua bisa nikmati,” tutur Boedi.

Ia pun berharap potensi besar ini bisa dijaga bersama baik oleh asosiasi maupun pemerintah yang mendukung dari sisi regulasi. Pun juga masyarakat bisa menjaga lingkungan agar ekosistem tempat tinggal hewan ini bisa lestari. (BAderi)

Advertisement
Advertisement