April 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mengenang Almarhum BJ Habibie, Presiden Pertama di Indonesia yang Mampu Menyelamatkan Rupiah dari Rp. 14.000 Menjadi Rp. 7.000

2 min read

JAKARTA – Masa kepemimpinan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim transisi. Habibie menjadi Presiden ke-3 RI setelah Soeharto, yang telah 32 tahun berkuasa, menyatakan mundur pada 21 Mei 1998.

Salah satu tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi. Saat itu Habibie dihadapkan pada situasi yang sangat sulit, inflasi tinggi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar membumbung tinggi. Era 1998, Indonesia dihantam badai krisis moneter (krismon) hebat yang terjadi di regional Asia.

Situasi politik domestik yang panas menambah masalah kala itu. Risikonya, banyak investor yang angkat kaki, nilai rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dolar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1998/1999 yang diumumkan 6 Januari 1998.

RAPBN dinilai tak realistis. Krisis yang menandakan kerapuhan fundamental ekonomi tersebut dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional mendadak terlilit kesulitan besar.

Peringkat internasional bank-bank besar tersebut memburuk, tak terkecuali surat utang pemerintah, peringkatnya ikut lengser ke level di bawah “junk” atau menjadi sampah.

Alhasil, tingkat kepercayaan nasabah kepada bank-bank menurun, yang mengakibatkan terjadinya aksi penarikan uang secara massal dari bank tempat mereka menyimpan. Aksi ini dikenal dengan istilah rush money atau bank run.

Habibie yang memiliki latar belakang insinyur penerbangan, melihat Indonesia menggunakan kacamata ilmu aeronautika. Ia mengibaratkan perekonomian Indonesia adalah pesawat dengan posisi stall atau posisi di mana pesawat kehilangan daya angkat akibat bagian depan pesawat mengarah ke atas dengan sudut lebih dari 15 derajat.

Ia berprinsip, hal yang paling penting dalam menerbangkan pesawat yang kehilangan daya angkat adalah dengan menyeimbangkan gaya gravitasi. Dalam pengelolaan ekonomi, ia memprioritaskan upaya agar rupiah bisa stabil terlebih dahulu.

Tidak lama setelah dilantik, Habibie menerbitkan kebijakan keuangan serta moneter dan membawa perekonomian Indonesia ke masa kebangkitan. Pemerintahan Habibie menelurkan paket restrukturisasi untuk membangun kembali perbankan yang sehat pada 21 Agustus 1998 cukup efektif.

Untuk menekan gejolak rupiah ia melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara. Lalu Habibie melikuidasi beberapa bank yang bermasalah.

Lewat kebijakan ini, beberapa bank di-merger untuk menjadi bank baru yang kuat dari sisi pendanaan, salah satu hasilnya adalah Bank Mandiri. Selain itu, Habibie juga harus mengikuti sejumlah langkah reformasi ekonomi yang disyaratkan Dana Moneter Internasional (IMF) melalui Structural Adjustment Program (SAP).

Hasilnya, Habibie mampu membawa Indonesia lepas dari pertumbuhan ekonomi minus 13,13 persen pada 1998 menjadi positif 0,79 persen pada 1999. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp16.800 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Juni 1998 menjadi Rp6.500 per dolar AS pada November 1998.

Pada masa Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran eksekutif, hal ini diatur dalam Undang-Undang (UU) No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Dengan pemisahan itu, BI menjelma menjadi lembaga independen dan mendapatkan lagi kepercayaan. Kebijakan Habibie memisahkan BI dari pemerintah sangat sederhana yakni agar BI tidak lagi diperintah atau ditekan oleh penguasa seperti masa Orde Baru.

Berkat kebijakan tersebut, kini BI memiliki fungsi intervensi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah setiap terjadi gejolak di pasar keuangan.[]

 

 

Advertisement
Advertisement