December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Menolak Diajak “Jeruk Minum Jeruk”, PMI Asal Purwakarta Disiksa Sesama PMI

2 min read

PURWAKARTA – Bekerja menjadi pekerja migran Indonesia di negara penempatan tak selalu seperti yang diharapkan. Saat aral datang melintang, cobaan yang menuntut kesabaran, hingga tuntutan untuk segera mencari jalan keluar, sering mewarnai sisi lain kehidupan pekerja migran di negara penempatan.

Seperti yang dialami Neng Oyah Aipah (43), seorang pekerja migran Indonesia asal Purwakarta Jawa Barat ini. Deritanya yang tak tertahankan, dengan terpaksa dia sampaikan kepada sang suami Wahyudin (46) di kampung halaman dengan harapan bisa membantu mencarikan jalan keluar.

“Dia minta diurus secepatnya karena tertekan oleh majikannya,” kata Wahyudin, dikutip dari Harian Pikiran Rakyat, Sabtu, (18/01/2020).

Wahyudin menduga istrinya mengalami trauma setelah mendapatkan perlakuan tidak adil dari majikannya di sana. Istrinya menceritakan perlakuan majikannya berawal dari tiga karyawati yang melarikan diri dari tempat mereka bekerja di salon.

Ketiga karyawati itu juga merupakan sesama PMI asal Indonesia, masing-masing dari Lampung, Karawang dan Cianjur.

“Istri saya memang tidak akrab dengan ketiga orang itu karena kelakuannya buruk. Bahkan ada yang lesbi dan menyiksa istri saya gara-gara menolak berhubungan (seksual),” kata Wahyudin.

Sudah jatuh tertimpa tangga, kepergian mereka tanpa pamit juga menimbulkan masalah lainnya. Sang majikan malah menuduh korban memprovokasi karyawati lain hingga membuat mereka kabur. Selain itu, korban juga dituding mencuri barang berharga milik majikannya untuk membiayai kepergian ketiga karyawati tersebut.

“Padahal istri saya tidak tahu apa-apa. Langsung dibawa oleh aparat keamanan di negara tersebut dan diintrogasi. Istri saya dipaksa mengaku dengan disatukan dalam sel tahanan laki-laki. Untungnya tidak terjadi penyiksaan fisik di sana,” tutur Wahyudin.

Selain itu, istrinya juga mengaku kerap digaji terlambat, dicicil sampai dipotong dari harusnya 1.800 riyal menjadi 1.000 riyal per bulan. Wahyudin pun merasa terpukul dengan kejadian yang dialami istrinya dan meminta bantuan pemerintah untuk segera memulangkannya.

Korban saat ini mengaku sangat dibatasi oleh majikannya untuk berkomunikasi dengan keluarga dan lingkungan sekitar tempat kerjanya. Namun, berkat bantuan seseorang, akhirnya ia sempat melapor ke kedutaan besar Indonesia di sana.

“Sejak bekerja di Arab 2015, dia baru pertama kali mengalami tekanan seperti ini dari majikannya. Malahan karyawati dari negra lainnya sudah berhasil keluar, jadi tinggal istri saya sendiri di sana,” ujar Wahyudin. Ia bersikeras untuk memulangkan istrinya meskipun masa kontrak kerjanya berakhir Mei 2020.

Pihak keluarga semakin khawatir dengan keselamatan korban di sana setelah beredar pemberitaan miring di media massa siber belakangan ini. Dalam beberapa berita disebutkan bahwa korban mengalami penyiksaan hingga kurungan selama enam bulan.[]

Advertisement
Advertisement