Meski Pandemi Corona Telah Melandai, Namun Pertemuan Daring Masih Ramai
JAKARTA – Pandemi sudah cenderung melandai grafiknya. Situasi kehidupan kemungkinan bergeser menjadi endemi Covid-19. Saat ini, terjadi perubahan perilaku komunikasi terkait adaptasi teknologi. Apakah komunikasi hibrid (daring atau online) masih akan diperlukan?
“Kalau menurut saya pribadi, sebenarnya pada akhirnya yang tadinya kita harus beradaptasi ke digital dari konvensional. Itu apakah kita harus balik lagi ke konvensional? Sepertinya agak sulit. Karena orang-orang sekarang, khususnya bagi kaum muda, itu malah sudah enak di masa seperti ini,” kata Rizki Saga Putra, Magister Komunikasi Universitas Indonesia (UI).
Rizki mengungkapkan agumentasi tersebut dalam serial seminar nasional Departemen Ilmu Komunikasi (Ilkom) Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) UI di tayangan kanal FISIP UI, Senin (27/05/2022).
Menurut Rizki, orang sudah beradaptasi dan nyaman di dalam pola komunikasi hibrid. Sehingga untuk kembali lagi ke cara konvensional atau ke masa sebelum pandemi itu sudah tidak bisa lagi.
“Nanti ada teknologi baru, itu tinggal masalah waktu, ketika kita akan beradaptasi kembali,” sambungnya seraya menambahkan bahwa sifat manusia diciptakan untuk beradaptasi terus selamanya. “Apapun kita hadapi, bagaimanapun keadaannya,” katanya.
Bagaimana komunikasi hibrid masyarakat ketika wabah Covid-19 telah berlalu?
“Itu sudah terlepas dari kaum lansia (lanjut usia). Karena lansia, di lingkungan tempat saya tinggal dan sebagai objek penelitian saya, saat larangan berkumpul di gereja dihilangkan, ada surat resmi, para lansia sudah langsung memadati tempat ibadah tanpa ada imbauan untuk diminta datang lagi. Justru yang berkurang ialah golongan kaum muda seperti saya,” kata Hasian Laurentius Tonggo, alumnus Pascasarjana Ilkom UI.
Ian menjabarkan, seperti yang dikatakan masyarakat, bahwa ekosistem gereja Katolik yang cenderung tradisional dari dulu sampai sekarang, hanya sedikit perubahan. Dengan asumsi, kalau mau beribadah harus ke gereja. Tapi bagi kaum muda kini ada pilihan hibrid. Walaupun terakhir kondisi sudah aman, namun lantaran sudah terbiasa, mereka tetap ingin menjalankan ibadah online.
“Karena (kalau ibadah) offline, (orang) harus bangun pagi, harus berpakaian rapi. Saya rasa inilah dilema mengapa institusi seperti gereja masih mengadakan ibadah online. Kalau memang mau kembali ke offline, jangan ada lagi pilihan online,” tegasnya.
Dengan kata lain, kalau sudah kebiasaan, memang butuh waktu untuk beradaptasi ulang kembali. Dalam kaitannya dengan kebijakan dari gereja, sebaiknya harus ditentukan saja (luring), bukan diberikan pilihan (daring atau luring).
Mengapa ketika wabah Covid-19 mulai berlalu, komunikasi hibrid masyarakat masih perlu?
Prof. Lusiana Andriani Lubis melihat dari konteks budaya mengenai bagaimana struktur dan kelas masyarakat. Kalau dilihat dari struktur masyarakat itu, katanya, terbagi tiga: desa, pinggiran, dan masyarakat perkotaan. Dinamika komunikasi yang dikaitkan dengan budaya masyarakat itu sendiri cukup bagus tampaknya.
Profesor Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara itu mencontohkan peristiwa baru saja, Hari Raya Idul Fitri. Bagaimana macetnya jalanan ketika banyak orang mudik. Karena mereka merasa terkerangkeng tidak bisa pulang kampung selama lebih kurang tiga kali lebaran.
“Padahal sudah diimbau agar menghindari daerah-daerah macet, orang malah bertanya ke (sanak-saudara di) kampung: ‘Macet atau tidak di sana? Jam-jam berapa yang tidak bisa dilewati kendaraan?'” serunya.
Ditambahkan, komunikasi hibrid tetap saja berlaku. Lewat saluran daring, orang menasihati: Kalau mau pulang kampung, dari kota A harus jam sekian, sampai di kota B berhenti dulu sejenak, sebab akan macet total kalau memaksakan kendaraan terus berjalan. []