[OPINI] Masalah Pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI)
JAKARTA – UU No 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) sudah diundangkan semenjak 22 november 2017. Terlepas dari berbagai aturan turunan yang sudah dikeluarkan Pemerintah, terdapat beberapa aturan turunan penting yang hingga saat ini (Januari 2021, 3 tahun lebih sesudah lahirnya UU 18/2017) , masih juga belum terselesaikan. Diantara aturan turunan yang belum diselesaikan adalah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tugas dan Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, amanat UU 18/2017 pasal 43. PP ini berkaitan erat dengan UU 18/2017 pasal 39, 40, 41, dan 42. Terdapat hal-hal esensial yang harus diperjelas dalam PP tersebut, diantaranya adalah kejelasan didalam siapa melakukan apa dalam keseluruhan proses Pelindungan CPMI/PMI. Tulisan ini hanya khusus membahas masalah siapa melakukan apa pada program pelatihan CPMI
Pelindungan CPMI/PMI : Kewajiban Pemerintah
Didalam rezim UU 18/2017, sebenarnya konsep Pelindungan CPMI/PMI meliputi seluruh tahapan pelindungan terhadap CPMI/PMI, baik Pelindungan Sebelum Bekerja, Selama Bekerja, dan Setelah Bekerja. Demikian juga konsep Pelindungan CPMI/PMI meliputi seluruh aspek pelindungan, baik Pelindungan Hukum, Pelindungan SosiaL, maupun Pelindungan Ekonomi. Semua tahapan dan aspek pelindungan , menjadi kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah , baik pemerintah pusat, propinsi, kabupaten-kota, dan bahkan desa, sesuai proporsi dan kewenangannya , sebagaimana yang seharusnya diatur secara rinci dalam aturan turunan UU 18/2017. Pihak swasta, yaitu Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) memilki tugas dan tanggung jawab dalam 3 hal : mencari peluang kerja, menempatkan PMI, dan dan menyelesaikan permasalahan PMI yang ditempatkan, sesuai amanat pasal 52 UU 18/2017.
Pelindungan Sebelum Bekerja
Tahapan pelindungan sebelum bekerja meliputi pelindungan administratif dan pelindungan teknis. Pelindungan administrati sekurangnya mencakup kelengkapan dan keabsahan dokumen penempatan, serta penetapan kondisi dan syarat kerja. Sedangkan pelindungan teknis meliputi beberapa hal, diantaranya termasuk sosialisasi dan diseminasi informasi, serta pendidikan dan pelatihan kerja.
Siapa Melakukan Apa
Sebenarnya, dalam UU 18/2017 pasal 39 ,40, 41, dan 42,, telah diatur mengenai pokok-pokok tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 39 menjelaskan tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat, pasal 40 menjelaskan tugas dan tanggung jawab Pemerintah Propinsi, sedangkan pasal 41 menjelaskan tugas dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten-Kota, dan terakhir pasal 42 menjelaskan tugas dan tanggung jawab Pemerintah Desa.
Akan tetapi, terdapat kesan adanya pengulangan/repetisi dari pasal 39 huruf O, dengan pasal 40 huruf G, serta pasal 41 huruf i. Ketiga-tiganya berbunyi : menyediakan dan memfasilitasi pelatihan CPMI melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan. Hal ini saja sudah dapat menjelaskan, mengapa diperlukan adanya aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP), seperti yang diamanatkan pasal 43 UU 18/2017, yang berbunyi ” Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah ” .
Pertanyaan sederhana yang segera muncul adalah, bagaimana porsi dan tanggung jawab memberi pelatihan kepada CPMI, diantara Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten –Kota . Apakah anggaran untuk memberi pelatihan kepada CPMI, hanya menjadi kewajiban mutlak Pemerintah Kabupaten-Kota, karena Pemerintah Kabupaten-Kota lah yang ” memiliki” penduduk? Atau bagaimana kontribusi Pemerintah Propinsi dalam program pelatihan CPMI? Bagaimana pula kontribusi Pemerintah Pusat ?
Banyak hal yang harus diperjelas dalam masalah ini. Bagi Kabupaten-Kota yang jumlah PMI nya sangat banyak, bukan mustahil anggaran pelatihan CPMI ini tidak sanggup mereka pikul sendiri , karena melibatkan investasi sarana-prasana yang cukup besar , menyiapkan tenaga pengajar yang handal dan bersertifikasi, serta anggaran operasional pelatihan yang tidak sedikit . Apalagi mengingat selama puluhan tahun , Kabupaten-Kota tidak pernah memberikan dan membiayai pelatihan CPMI yang merupakan rakyatnya sendiri, karena pelatihan CPMI dilaksanakan atau diatur oleh P3MI , dan biaya pelatihan tersebut ditanggung oleh CPMI nya sendiri, dengan cara ditalangi dulu oleh P3MI, dan akan ada potongan gaji sesudah bekerja di Negara tujuan.
Belum lagi kalau kita memperdalam kalimat ” pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan”. Apakah anggaran tersebut berasal dari APBD Kabupaten — Kota, melalui Dinas Tenaga Kerja ? Ataukah Dinas Pendidikan ? Ataukah dari APBD Propinsi, meskipun belum jelas melalui Dinas Tenaga Kerja, atau Dinas Pendidikan?
Atau bahkan anggaran intervensi dari Pemerintah Pusat, meski lagi-lagi belum jelas , apakah yang mengkoordinirnya Ditjen Binalattas Kemnaker, ataukah Ditjen Pendidikan Vokasi ( Diksi) , Kemendikbud yang baru seumur jagung? Memang hal-hal ini melibatkan persoalan ego sektoral baik di tingkat Kabupaten-Kota, Propinsi, maupun Pusat. Mohon maaf, terdapat kelakar yang bisa saja tidak sepenuhnya benar, di kalangan masyarakat, bahwa oknum pejabat Negara diberbagai tingkatan itu, akan bersikeras mempertahankan, kalau sudah bicara tentang anggaran, dan akan saling lepas tangan kalau sudah menyangkut tanggung jawab. Sekali lagi ini hanya anggapan yang belum tentu benar.
Nah, hal-hal yang disebutkan diatas merupakan bukti bahwa memang sangat dibutuhkan segera lahirnya PP tentang Tugas dan Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang menjelaskan secara rinci tentang siapa melakukan apa, untuk program pelatihan PMI. Kalaupun belum memungkinkan terbitnya PP, bisa saja alternatifnya adalah lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) diantara sekurangnya lima Kementrian/Lembaga , yakni Kemenaker, Kemendikbud, Kemenkeu, Kemendagri, dan BP2MI tentang PROGRAM PELATIHAN CPMI.
Tentu saja dibutuhkan kerelaan , kerendahan hati , dan semangat mencari solusi, dari semua stake holder yang terkait, agar dapat diterbitkan PP ataupun SKB sesegera mungkin, sehingga pengalaman ” pahit dan rasa sakit” yang dirasakan oleh Kepala BP2MI pada tanggal 15 Januari 2021 lalu, tatkala menunda pelaksanaan Peraturan Badan 09/2020 hingga 15 Juli 2021, tidak terulang kembali. Kita sangat berharap masalah pelatihan CPMI ini bisa segera diselesaikan, karena menyangkut nasib ratusan ribu PMI serta ratusan P3MI, setiap tahunnya, terlebih dengan mengingat bahwa penempatan PMI adalah salah satu solusi dari situasi sulit ekonomi saat ini , akibat pandemi covid 19. Semoga
A Komisi IV DPR Ma’mur Hasanuddin menyayangkan belum adanya aturan tata niaga kentang yang seharusnya sudah menjadi amanat UU Hortikultura yang telah disahkan sejak Oktober 2010.
Padahal, ujarnya di Jakarta, Jumat (14/10), Undang-Undang Hortikultura ini merupakan representasi rakyat sebab pengesahannya didukung 9 fraksi di DPR, antara lain Partai Demokrat, PDIP, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.
“Satu tahun lebih undang-undang ini digodok, dan 13 hari lagi Undang-Undang hortikultura menggenapkan satu tahun berlaku, tetapi sungguh aneh, amanatnya pada tataran kementerian pelaksana tidak dilakukan,” ungkap Ma’mur.
Yang paling menyesakkan, lanjut Ma’mur, UU ini salah satunya ditujukan untuk memberi perlindungan bagi petani usaha hortikultura, menyediakan lapangan pekerjaan, dan memberi devisa negara.
Namun, pemerintah, melalui Menteri Perdagangan, seolah-olah meremehkan undang-undang dengan baru akan diusulkan dibuat tata niaganya pada rapat koordinasi terbatas bidang pangan di Menko Perekonomian.
Pengakuan Kementerian Perdagangan melalui plt Dirjen Perdagangan Luar Negeri tentang tiadanya tata niaga kentang dan menganggap filter kentang masuk ke Indonesia cukup dari Badan Karantina Kementerian Pertanian sudah dikemukakan secara terbuka.
Sedangkan, Kepala Badan Karantina dan Dirjen Hortikultura Kementan mengatakan seharusnya tata niaga produk hortikultura termasuk kentang diatur Kementerian Perdagangan.
“Saling melempar tanggung jawab lembaga setingkat kementerian ini sungguh sangat memalukan. ‘Ngatur’ negara selayaknya anak kecil yang sedang melakukan kesalahan,” keluh Ma’mur.
Dengan tiadanya aturan tata niaga kentang ini, tambah Ma’mur, itu merupakan penyimpangan Undang-Undang Hortikultura yang mengatur masalah usaha distribusi, perdagangan, dan pemasaran yang diatur pada Pasal 72 hingga Pasal 75.
“Hampir seluruh anggota komisi IV yang mewakili seluruh fraksi di DPR sudah sangat meradang dengan perilaku kementerian perdagangan ini, terutama masalah importasi pangan,” cetus Ma’mur.
Karenanya, menurut dia, pertemuan dengan Kementerian Perdagangan di Komisi IV menjadi sangat perlu untuk menyelesaikan berbagai hal terkait importasi produk pangan. []
Penulis Wisnu Wisaksono, Pemerhati Penempatan PMI