[OPINI] Runtuhnya Wibawa KPK Akibat Ulah Para Pimpinannya
JAKARTA – Persoalan yang mendera Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini semakin panjang saja. Persoalan persoalan itu semakin menampakkan sosoknya terutama setelah adanya revisi Undang Undang KPK. Mulai persoalan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pegawainya, tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dinilai kontroversial, pemecatan pegawainya yang dinilai berintegritas sampai pelanggaran kode etik pimpinannya.
Belakangan terjadinya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli semakin menyempurnakan karut marut yang terjadi di KPK. Semuanya itu turut menyumbang kontribusi untuk rontoknya wibawa KPK sebagai lembaga yang selama ini dinilai sangat tinggi integritasnya.
Bagaimana pelanggaran etika yang dilakukan oleh pimpinan KPK mempengaruhi kredibilitas lembaganya ?, Apakah kasus seperti itu baru terjadi kali ini saja ?, Seperti apa Dewan Pengawas KPK memberikan sanksi kepada pimpinan KPK yang melanggar etika ?. Apakah sanksi yang dikenakan kepada mereka sudah memenuhi rasa keadilan rakyat Indonesia ?
Pelanggaran Etik Pimpinan KPK
Seperti diberitakan kompas 30/08/21, kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar bermula dari laporan yang dilakukan oleh mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK Sujanarko serta dua penyidik KPK, Novel Baswedan dan Rizka Anungnata, pada 8 Juni 2021.
Laporan itu terkait dua pelanggaran etik yang dilakukan oleh Lili karena terlibat dalam dugaan suap penanganan perkara korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, yang menjerat mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju.
Pertama, Lili menghubungi dan menginformasikan perkembangan penanganan kasus Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial. Syahrial merupakan tersangka dalam kasus dugaan suap penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara di Pemerintah Kota Tanjungbalai tahun 2020-2021.
Atas perbuatan tersebut, Lili dinilai melanggar prinsip integritas yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, Peraturan Dewan Pengawas KPK RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Pasal tersebut mengatur bahwa insan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang diketahui perkaranya sedang ditangani oleh Komisi kecuali dalam rangka pelaksanaan tugas dan sepengetahuan pimpinan atau atasan langsung.
Kedua, Lili menggunakan posisinya sebagai pimpinan KPK untuk menekan M Syahrial terkait penyelesaian kepegawaian adik iparnya Ruri Prihatini Lubis di Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kualo Tanjungbalai. Atas perbuatan tersebut, Lili melanggar prinsip Integritas yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, Peraturan Dewan Pengawas KPK RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Pasal tersebut mengatur bahwa insan KPK dilarang menyalahgunakan jabatan dan/atau kewenangan yang dimiliki, termasuk menyalahgunakan pengaruh sebagai Insan Komisi, baik dalam pelaksanaan tugas, maupun kepentingan pribadinya.
Kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli Siregar ini juga pernah dilakukan oleh Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Mencuatnya kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli berawal dari laporan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kepada Dewas KPK pada 24 Juni 2020 lalu.
Kala itu, Koordinator MAKI Boyamin Saiman melaporkan Firli karena menggunakan helikopter swasta dalam perjalanan pribadi dari Palembang ke Baturaja. Firli dilaporkan karena penggunaan helikopter itu merupakan tindakan bergaya hidup mewah yang tidak semestinya ditunjukan oleh ketua KPK. “Hal ini bertentangan dengan kode etik, pimpinan KPK dilarang bergaya hidup mewah,” ucap Boyamin kala itu.
Dalam menyampaikan laporannya, Boyamin membawa bukti tiga buah foto kegiatan Firli, juga saat menaiki helikopter yang berkode PK-JTO.Boyamin mengatakan, helikopter itu termasuk jenis helikopter mewah. “Helikopter yang digunakan adalah jenis mewah (helimusim) karena pernah digunakan Tung Desem Waringin yang disebut sebagai Helimousine President Air,” ucap Boyamin seperti dikutip media.
Pelanggaran etika yang dilakukan oleh pimpinan KPK tersebut semakin membuat pudar krediblitas KPK dimata masyarakat Indonesia. KPK yang awalnya menjadi harapan besar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia kini perlahan namun pasti sudah mulai menjauh dari harapan sebagai lembaga terpercaya.
Dinamika pasang surut hantaman kredibiltas terhadap KPK sebenarnya memang sudah berlangsung sejak lama mewarnai perjalannya. Periode awal KPK jilid pertama antara tahun 2003 hingga 2007 banyak persoalan yang berkaitan dengan independesi lembaga KPK. Namun demikian masyarakat saat itu masih memaklumi dan tetap menggantungkan asa yang besar terhadap lembaga KPK sebagai lembaga baru yang masih butuh banyak pengalaman dan pengetahuan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
Pada periode KPK jilid kedua, persoalan integritas pimpinan KPK juga sempat jadi masalah, tetapi penampilan KPK kala itu masih membuat bangga. Karena adanya penangkapan Jaksa Urip yang terlibat kasus BLBI, sejumlah politisi hingga Polisi berpangkat tinggi bahkan Aulia Pohan besan Presiden SBY yang saat itu berkuasa juga disikat oleh KPK.Hal ini membuat harapan masyarakat terhadap KPK masih bisa terjaga, apalagi kemudian terjadi konflik cicak vs buaya bab satu, yang membuat masyarakat menaruh simpati lebih besar pada Cicak (KPK) dibanding polisi (Buaya).
Pada periode KPK jilid ketiga periode 2011 -2015 juga terjadi persoalan di organisasi KPK. Saat itu secara keseluruhan, penataan organisasi yang terjadi membuat KPK tertatih tatih jalannya.Meskipun demikian prestasi KPK di era itu cukup moncer juga. Terbukti rangkaian korupsi yang dilakukan oleh para politisi Partai Demokrat yang saat itu sebagai partai berkuasa dihabisi oleh KPK. Saat itu harapan masyarakat terhadap KPK masih terus terjaga.
Pada periode KPK jilid keempat, pimpinan KPK 2015-2019 juga masih bisa disebut cukup baik dengan berhasil di tangkapnya mantan Hakim Konstitusi (MK), politis sekelas Setya Novanto yang terkenal licin, pengacara hingga kepala daerah berhasil digaruk KPK.Hal ini membuat masyarakat masih merasa pantas untuk menggantungkan asa pemberantasan korupsi terhadap KPK.
Pada akhirnya setelah revisi UU KPK menyusul berbagai kasus yang mendera KPK termasuk pelanggaran etika yang dilakukan olehh pimpinan KPK telah membuat KPK jilid kelima saat ini benar benar terpuruk kredibiltasnya. Selain prestasinya yang cenderung menurun, KPK saat ini disibukkan oleh permasalahan internalnya sehingga menjadikan pesimis masyarakat terhadap masa depan KPK.
Yang paling menggenaskan adalah adanya fakta-fakta bahwa diawal periode ini harus dihiasi persoalan integritas pimpinannya, sesuatu yang selama ini tak pernah terjadi pada pimpinan KPK sebelumnya.Belum lagi persoalan internal di organisasi KPK terkait TWK yang seperti nya ingin menyingkirkan para pegawai yang terbukti berprestasi dan memiliki integritas terlepas dari urusan politik didalamnya.
Sanksinya Letoy
Atas terjadinya pelanggaran etika yang telah dilakukan oleh pimpinan KPK, selanjutnya Dewan Pengawas (Dewas ) telah menjatuhkan sanksi kepadanya. Terhadap kasus Firli Bahuri, Dewas telah menyatakan bahwa yang bersangkutan dinyatakan terbukti melanggar Pasal 4 Ayat (1) huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
“Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis 2 yaitu agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya dan agar terperiksa sebagai Ketua KPK senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan mentaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK,” ujar Ketua Dewas KPK Tumpak Panggabean.
Dewas KPK saat itu menilai Firli tidak melakukan kewajibannya untuk menyadari bahwa seluruh sikap dan tindakannya melekat dalam KPK. Anggota Dewas Albertina Ho saat itu menilai bahwa tindakan Firli dapat memicu ketidakpercayaan publik pada dirinya dan pimpinan KPK yang lainnya.
Sementara itu akibat pelanggaran etik yang dilakukannya, wakil Ketua KPK Lili Pintauli disanksi dengan dipotong gajinya. Oleh Dewas ia dinyatakan telah terbukti melakukan pelanggaran etika. Hal itu diungkap oleh Ketua Dewas Pengawas Tumpak Panggabean dalam konferensi persnya.
“Mengadili, terperiksa Lili Pintauli Siregar bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku selaku pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf b dan a Peraturan Dewan Pengawas Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK,” ujar Tumpak, Senin (30/08/2021) seperti dikutip media.
Sanksi yang dikenakan oleh Dewas terhadap pelanggaran etika yang dilakukan oleh pimpinan KPK dinilai terlalu ringan sehingga banyak yang mempertanyakan kualitas penegakan kode etik di KPK. Sebagai contoh putusan Dewas KPK yang telah menjatuhkan sanksi berupa teguran tertulis II kepada Ketua KPK, Firli Bahuri dalam kasus penggunaan moda helikopter dinilai sangat ringan hukumannya.
Mengingat secara kasat mata tindakan Firli Bahuri yang menggunakan moda transportasi mewah itu semestinya telah memasuki unsur untuk dapat diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri sebagai Pimpinan KPK, Demikian penilaian dari ICW dalam siaran persnya tanggal 24/08/21 di Jakarta.
Kritik terhadap sanksi Dewas yang dinilai ringan dalam pelanggaran etika yang dilakukan oleh pimpinan KPK ini ternyata masih diulangi lagi pada penjatuhan sanksi bagi Lili Pintauli Wakil Ketua KPK dimana yang bersangkutan hanya disanksi untuk dipotong gajinya.
8Ringannya sanksi yang dikenakan kepada wakil Ketua KPK ini mendapatkan tanggapan dari banyak pihak antara lain Zaenur Rochman Pegiat antikorupsi sekaligus peneliti PUKAT UGM (universitas Gajahmada).
Zaenur Rochman menyayangkan putusan dari Dewas KPK. “Putusan Dewas KPK terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli sangat lembek,” kata Zaenur seperti dikutip Tirto 30/8/21.
Pada hal menurut Zaenur, Lili Pintauli layak dihukum pengajuan pengunduran diri sesuai Pasal 10 ayat 4 huruf b Perdewas 02/2020. Ia menilai Lili tidak pantas lagi menjabat sebagai pimpinan KPK karena telah menyalahgunakan kewenangan yakni berhubungan dengan pihak berperkara.
Bagi Zaenur, Lili tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga perbuatan pidana sesuai Pasal 36 UU 30/2002 jo Uu 19/2019 tentang KPK. Apabila dilanggar, pelanggar terancam hukuman 5 tahun penjara sesuai Pasal 65 UU KPK. Hukuman akibat berhubungan dengan pihak berperkara, kata Zaenur, penting agar tidak menimbulkan aksi jual-beli perkara.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto yang menilai putusan Dewas semestinya ditindaklanjuti dengan pemberhentian Lili sebagai pimpinan KPK. Ia mengacu pada Pasal 32 huruf c Undang-Undang KPK yang mengatur pemberhentian pimpinan KPK jika melakukan perbuatan tercela. Bambang berharap putusan itu bisa digunakan Pimpinan KPK saat ini untuk mengembalikan kehormatan KPK.
“Pada akhirnya publik menunggu apakah pimpinan KPK sungguh-sungguh menggunakan momentum putusan Dewas untuk mengembalikan kehormatan KPK dengan menindaklanjuti putusan tersebut,” katanya.
Secara terpisah, mantan pimpinan KPK Saut Situmorang mengkritik putusan Dewas karena hanya menjatuhkan sanksi pemotongan gaji. Ia menilai sanksi tersebut tidak serius. Meski gaji pokoknya dipotong 40 persen, namun tunjangan yang diterima Lili mencapai Rp 107.971.250 setiap bulan. “Jadi satu bulan itu cuma dipotong satu juta koma sekianlah itu kalau dilihat gaji pokok. Jadi itu sangat sangat ecek-ecek, sangat lucu,” kata Saut, seperti dikutip media (30/8/2021).
Saut menilai Dewas tidak paham aturan terkait pemberian sanksi berat terhadap pimpinan KPK yang terbukti melanggar kode etika. Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK juga mengatur sanksi berat lain, yakni permintaan untuk pengunduran diri. “Jadi memang mereka sendiri tidak paham sama aturan yang mereka buat, kalau menurut saya. Ya memang begitulah kalau hati tidak dipakai, padahal di situ kan ada bekas jaksa dan bekas hakim,” ujarnya.
Mengusik Rasa Keadilan
Vonis ringan yang dijatuhkan oleh Dewas kepada pimpinan KPK yang melanggar etika telah mengusik rasa keadilan masyarakat Indonesia. Ringannya sanksi itu tentu saja tidak akan membuat mereka menjadi jera dan berpotensi akan mengulangi perbuatannya. Selain itu akan membuat pimpinan KPK yang lain beserta jajarannya berpeluang meniru perbuatannya.
Wajar kalau kemudian banyak suara yang menginginkan agar pimpinan KPK pelanggar etika itu dituntut untuk mengundurkan diri atau dimundurkan dari jabatannya. Mereka dituntut mundur karena dinilai telah melanggar ketentuan yang ada.
Pasal 29 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah tegas menyebutkan bahwa untuk menjadi Pimpinan KPK harus memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya: cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi memiliki reputasi yang baik tidak dan pernah melakukan perbuatan tercela.
Selain itu TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyebutkan bahwa penyelenggara negara harus mengundurkan diri apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam kaitan dengan hal tersebut sudah barang tentu pimpinan KPK yang melanggar etika tidak lagi memenuhi syarat sebagai pejabat negara yang berintegritas , sebab telah terbukti melanggar kode etik KPK.
Selain dituntut mundur atau dimundurkan, mereka bahkan ada yang meminta supaya kasusnya dibawah ke ranah pidana sesuai dengan Undang Undang KPK.Karena kalau tidak akan menghilangkan rasa percaya masyarakat (trust) terhadap kinerja KPK. Jangan sampai seperti kata pepatah :” akibat nila setitik rusak susu sebelanga”.
Yang lebih menggenaskan atas kasus pelanggaran etika wakil Ketua KPK adalah tiadanya rasa menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya. Tiadanya perasaan menyesal ini sungguh sangat disesalkan karena merefleksikan kapasitas dan moralitas seorang pejabat negara.
Tiadanya perasaan menyesal atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pejabat negara mengandung makna bahwa yang bersangkutan mengesankan sebagai orang yang sombong dengan jabatannya. Pantaskah orang sombong menjadi komisioner KPK?. Kalau jawabnya “tidak pantas”, mestinya, segera mengundurkan diri, atau dimundurkan dari jabatannya.
Karena sebagai negara yang berfalsafah Pancasila, moralitas komisioner KPK menjadi segala galanya. Mana mungkin ada keadilan dan kemanusiaan beradab, bila moralitas diabaikan dalam penegakan hukum di Indonesia ?
Di dunia penegakan hukum kita mengenal adanya moralitas hukum atau legal ethics sebagai standar profesi yang seharusnya dipegang teguh oleh para penyelenggaranya untuk tercapainya penegakan hukum yang berkeadilan bagi semua. Seyogyanya mereka yang telah melanggar etika dianggap telah melanggar legal ethic ini sehingga tidak ada ada lagi alasan untuk tetap mempertahankannya.
Fenomena tersebut sejalan dengan Perspektif Moral Penegakan Hukum yang Baik atau yang seharusnya. Dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials, Article 1, dinyatakan bahwa : “Para petugas penegak hukum sepanjang waktu harus memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh hukum, dengan melayani masyarakat dan dengan melindungi semua orang dari perbuatan-perbuatan yang tidak sah, konsisten dengan tingkat pertanggungjawabanyang tinggi yang dipersyaratkan oleh profesi mereka.
Oleh karena itu jika ternyata para pelanggar etika di KPK masih tetap bertahan disana menduduki jabatannya maka akan ada beban psikologis terhadap kelembagaan KPK sebagai lembaga yang selama ini termasuk paling terpercaya. Apakah semua ini memang sengaja didesain untuk meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap KPK ? Atau jangan jangan semua ini merupakan satu paket agenda untuk program pelemahan KPK ?. []
Penulis : Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI