[OPINI] Semua Bisa Menjadi Wartawan, Tapi . . .
ApakabarOnline.com – Selamat datang di era ’’media baru’’. Kita hidup di zaman di mana semua orang bisa jadi wartawan. Kita mudah sekali ketak-ketik kemudian menerbitkannya di Facebook, Instagram, Twitter, atau membagikannya di Whatsapp group. Kita juga mudah sekali cuap-cuap layaknya news presenter lalu menayangkannya di Youtube atau Podcast. Pendek kata menjadi wartawan itu mudah. Mudaaah sekali. Semudah kita menulis status di media sosial.
Mengapa kita mudah menerbitkan, menyiarkan, dan menayangkan informasi di era digital? Karena kita menjadi wartawan sekaligus redaktur atau pemimpin redaksinya. Liputan-liputan sendiri, ditulis-tulis sendiri, diedit-edit sendiri, lantas diterbit-terbitkan sendiri. Termasuk ’’media’’ yang dimiliki lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, maupun lembaga lainnya.
Kita seringkali menyaksikan seseorang melakukan wawancara khusus. Menggelar talkshow. Menghadirkan tokoh atau sejumlah narasumber tertentu. Mengangkat tema-tema tertentu. Mengkritisi kebijakan-kebijakan tertentu. Kemudian mereka menyiarkannya di media sosial. Sangat mudah. Bebas!
Mereka sesungguhnya melakukan ’’kerja jurnalistik’’. Persis sebagaimana dilakukan wartawan. Namun, apakah konten itu sudah sesuai kode etik jurnalistik dan UU Pokok Pers? Apakah ’’wartawan’’ media baru memiliki kompetensi teknis? Setidaknya sudah memiliki sertifikat wartawan muda, madya, atau utama? Apakah sudah melakukan klarifikasi kepada pihak-pihak yang disudutkan? Apakah sudah melakukan verifikasi di lapangan? Cek dan ricek? Adakah yang menyortir berita atau konten sebelum dipublikasikan atau disiarkan? Apakah ’’perusahaan medianya’’ sudah terdaftar di Dewan Pers? Dan lain sebagainya.
Kenapa saya menyebut “media baru” ini sebagai ’’pers”? Karena mereka pada dasarnya melakukan kegiatan jurnalistik. Mencari, memeroleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Bisa dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik. Bisa pula dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Meski bisa disebut ’’pers’’ karena melakukan ’’kerja jurnalistik’’, mereka bukan perusahaan pers. Tidak memiliki badan hukum. Yang punya izin untuk menyelenggarakan usaha pers. Meliputi media cetak, media elektronik, dan kantor berita. Juga perusahaan lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Meski bisa disebut ’’wartawan’’ karena melakukan ’’kerja jurnalistik’’, mereka bukan wartawan. Tidak memiliki kartu pers dan mempunyai sertifikasi wartawan. Mereka juga tidak terikat dengan Kode Etik Jurnalistik, UU Pokok Pers, maupun UU Penyiaran.
Karena tidak memiliki ikatan, mereka bisa saja abai terhadap prinsip-prinsip jurnalistik seperti cover both sides. Menghadirkan narsum dari kedua pihak berselisih. Mereka juga tidak punya mekanisme hak jawab. Ketika ada seseorang atau sekelompok orang yang merasa nama baiknya dirugikan atas sebuah pemberitaan. Mereka juga tidak membuka ruang hak koreksi. Yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan baik tentang dirinya maupun orang lain. Karena tidak membuka ruang hak koreksi, maka kewajiban koreksi sudah tentu tidak dilakukan. Padahal melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar sebagaimana diberitakan merupakan sebuah keharusan .
Tidak dimilikinya seperangkat nilai, prinsip, aturan, dan kompetensi teknis membuat mereka suka-suka. Nekat menghadirkan narsum hanya dari satu sisi. Berada pada salah satu kubu. Tak ayal, acara itu tak ubahnya menjadi ajang mengolok-olok kubu yang berseberangan. Tanpa konfirmasi. Pihak lawan tidak mendapat tempat. Tidak ada hak koreksi maupun hak jawab.
Cek dan ricek ke lapangan juga sering menjadi persoalan. Seringkali hanya kutip sana-kutip sini. Itu pun mengutipnya tidak utuh. Dipenggal pada kalimat tertentu dan dilepaskan dari konteksnya. Terjadi distorsi informasi. Melahirkan interpretasi berbeda dan persepsi baru.
Tapi ini masih mending. Biasanya hanya ’’talking news’’, beropini, berasumsi, bepersepsi, berprasangka, serta tidak berbasis data dan fakta. Kalau pun menggunakan data dan fakta, terkadang disajikan dengan data fake, salah, data tahun lama tapi dibuat seolah data baru, terkini, menjadi daur ulang, serta bukan kondisi sesungguhnya. Alasannya soal metode exercises atau hanya sebagai ilustrasi. Akibatnya, informasinya bias dan menyesatkan. Padahal, publik seharusnya mendapatkan informasi yang benar dan adil. Kondisi ini banyak kita jumpai pada pemberitaan tentang deforestasi serta kebakaran hutan dan lahan. Jangankan mau mengakui angka deforestasi dan kasus karhutla yang menurun drastis. Data dan faktanya saja ’’dipelintir’’ sedemikian rupa.
Seringkali pula mereka melakukan trial by the press. Pers melakukan peradilan secara tidak langsung. Peradilan yang dimaksud dengan memberitakan secara berlebihan terhadap suatu perkara yang masih dalam proses peradilan. Mereka mencari bukti-bukti sendiri atau dengan membuat forum diskusi dengan mendatangkan saksi atau ahli.
Sebaiknya tubuh ’’media baru’’ didisiplinkan melalui regulasi-regulasi. Sebagaimana media konvensional atau arus utama yang tunduk kepada seperangkat aturan. Bukan untuk membatasi demokrasi. Bukan untuk mengekang kebebasan pers. Namun menjadikan demokrasi dan kebebasan pers ini lebih berkualitas, berperadaban, serta membawa kepada kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa. “Media baru” yang dikelola secara bertanggung jawab bisa menjadi kekuatan dahsyat dalam membawa bangsa ini jauh lebih baik. []
Penulis : Ariyanto, Penikmat Kopi Jurnalistik, Penulis Buku.