Para Combatan PMI yang Berjuang Hidup Ditengah Keterpurukan Negeri Sendiri
JAKARTA – Pulang ke kampung halaman seringkali menjadi kenyataan yang tidak diinginkan oleh kalangan pekerja migran Indonesia yang sebelumnya telah mendapatkan kemapanan finansial di negara penempatan. Pasalnya, banyak diantara combatan pekrja migran yang justru kehilangan sumber finansial ideal saat telah menjalani hidup di kampung halaman.
Kenapa bisa demnikian ? Ada berbagai faktor yang berkontribusi membuat banyak kalangan mantan pekerja migran tidak bisa menemukan taraf atau sumber kehidupan yang minimal setara dengan kehidupan mereka saat di negara penempatan.
Bahkan, beberapa waktu yang lalu, sebuah survey yang dilakukan oleh IOM menyebutkan lebih dari 70% PMI yang pulang ke kampung halaman berada dalam keadaan menganggur.
Menukil ulasan CNN Indonesia, seorang pekerja migran Indonesia bernama Murtini yang kini setelah berada di negara kelahiran kembali bekerja menjadi pekerja rumah tangga mengaku hidupnya sangat pas-pasan. Antara pendapatan dengan pengeluaran setiap bulan harus benar-benar bisa seksama dalam menata anggaran keuangan, terlebih ditengah keterpurukan global akibat pandemi corona yang kini tengah melanda dunia.
“Walaupun saya tidak punya rumah dan masa depan di tanah kelahiran, Indonesia, tapi saya lebih memilih bekerja di sini daripada di negeri jiran,” tutur Murti (42), combatan pekerja migran Indonesia (PMI) yang kini mengais rupiah di Tanah Air.
Murti tadinya bekerja sebagai penjahit di pabrik garmen di Malaysia. Bertahun-tahun ia mengeruk ringgit untuk dibawa pulang ke keluarga tercinta di Jawa Timur. Kini, ibu dua anak tersebut mengais rupiah menjadi pembantu di Pulau Dewata, Bali.
Murti cuma lulusan SD. Wawasannya minim. Berbekal nekat dan keinginan bertahan hidup, ia hijrah pertama kali ke Malaysia pada 1996 silam. Mengaku beruntung, ia mengklaim pundi-pundinya di negeri jiran cepat penuh. “300 ringgit besar loh saat itu,” imbuhnya mengenang.
Dari jerih payahnya itu, ia sukses menyekolahkan anak-anak tercintanya hingga lulus SMU. Ia juga mampu mengirimi uang belanja untuk sang ibu, serta biaya pengobatan sang nenek. Wajahnya menyiratkan kebanggaan.
Tetapi, kerinduannya pada kampung halaman, anak-anaknya, ibu, dan keluarganya tak tertahankan. Ia pun memutuskan kembali ke Tanah Air sejenak. “Biarlah gaji jadi lebih kecil, asal dekat dengan keluarga,” ujar Murti lirih.
Sayang, mencari pekerjaan di kampung halaman tidak semudah yang dibayangkan. Berangkat kembali ke Malaysia di tengah pandemi pun mustahil. Karenanya, ia memilih hijrah ke Bali dan kembali bekerja sebagai penjahit di Tabanan. Cuma 6-7 bulan, sebelum akhirnya ia mendapat tawaran menjadi pembantu di sebuah guest house.
“Saya nggak diminta ijazah kan untuk bekerja sebagai pembantu, jadi saya langsung mengiyakan ketika ditawari. Di sini saya sekarang, membersihkan 16 kamar, dua kali setiap minggu, di samping mencuci dan menyetrika,” terang dia.
Jam kerjanya panjang. Dalam sehari, Murti menghabiskan 12-13 jam selama enam hari dalam sepekan. Dari sana, ia mengantongi Rp2 juta setiap bulan. Cukup tidak cukup, ia berkomitmen mengirimi ibu dan keluarganya di kampung Rp400 ribu tiap bulan.
Sisanya, ia gunakan untuk membayar kontrakan, kredit motor yang baru selesai pada Januari 2022 mendatang, termasuk makan dan minum bersama suaminya. Suaminya sendiri tidak banyak berkontribusi lantaran profesinya sebagai tukang bangunan sepi di era pandemi.
Sebetulnya, Murti bergaji Rp2,8 juta per bulan. Tapi, pandemi covid-19 menggerogoti bisnis sang pemilik guest house. Dampaknya, gaji Murti ikut terpangkas. Murti hanya bisa pasrah. Mengeluh di saat pandemi, ketika banyak orang kesulitan mencari kerja, katanya, menandakan rasa kurang bersyukur.
“Bansos corona pun cuma dengar saja di tv, orang-orang ngomongin bansos. Tapi, saya tidak dapat. Karena saya tinggal di Bali, tapi KK (kartu keluarga) kan di Jawa Timur,” jelasnya pasrah.
Cerita berbeda datang dari Dewy S, bekas pekerja migran di Sydney, Australia. Ia menyesal sempat mengeluh kelelahan bekerja di dua tempat sekaligus, berkaca pada kondisinya sekarang yang menganggur.
Pada Oktober 2020 lalu, saat pandemi masih melanda, ia memutuskan pulang ke Pontianak, Kalimantan Barat. Ia ingin mendampingi sang ayah yang sakit. Namun, dia tak membayangkan terjebak selamanya.
Ia ditolak masuk kembali ke Australia karena tak memiliki status tinggal permanen. Ia juga kehilangan pekerjaannya sebagai bartender di sebuah kelab di Sydney dan juru masak pastry di sebuah kafe. Ketika itu, Australia memperketat aturan keluar masuk di tengah lonjakan kasus covid-19.
Alhasil, Dewy menyandang status pengangguran sudah 10 bulan terakhir. Ia sempat menjajal bisnis menjual buah stroberi, tapi usahanya gagal. Dagangannya tidak laku seiring dengan lemahnya ekonomi masyarakat di daerah.
“Sedih sudah pasti. Kerja keras (di Sydney) 7 tahun sia-sia. Suka nangis kalau flashback (mengenang kembali), aku sudah usaha keras, tapi kok begini hasilnya gara-gara covid-19,” ucapnya lesu.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyebutkan ada 174 ribu pekerja migran yang kembali ke Tanah Air selama pandemi tahun lalu. Angka TKI pulang kampung bertambah 65 ribu orang pada semester I 2021. Mereka yang kembali terpaksa menetap karena tak diterima lagi di negara tujuan.
Menyiapkan Peluang Usaha untuk Pekerja Migran yang Terpaksa Purna
Wahyu mengatakan pekerja Indonesia sebagai tenaga kerja berisiko tinggi covid-19 kerap ditolak negara luar. Berbagai negara yang menjadi tujuan TKI, seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Singapura menutup pintu mereka rapat-rapat.
Bantuan dari pemerintah masih minim, mereka dipaksa berdikari di negeri sendiri. Mereka, lanjut Wahyu, hanya bisa bertumpu dari sisa uang yang didapatkan saat bekerja di luar negeri.
Makanya, Wahyu menilai pekerja migran yang terkena dampak pertama pandemi seharusnya menjadi prioritas pemerintah. Namun, tidak begitu faktanya.
Berbagai bantuan sosial (bansos) yang digelontorkan selama pandemi minim menyasar pekerja migran. Ia menyebut banyak TKI yang tidak tercatat dalam data DTKS Kementerian Sosial, sehingga mereka tak mendapat bansos tunai atau sembako.
Apalagi, insentif upah dari Kementerian Ketenagakerjaan. “Mereka itu kan tidak tercatat di BPJS Ketenagakerjaan jadi tidak bisa menerima. Kalau ada paling BLT Dana Desa. Kartu Prakerja pun jarang ada yang dapat,” bebernya.
Tak Lagi Menjadi Pekerja Migran, Dua Pemuda Kediri Fokus Menjalankan Usaha Angkringan
Ia mengatakan memang pemerintah lewat Kemenaker berupaya untuk menempatkan TKI di beberapa negara yang masih terbuka seperti Jepang dan negra-negara di Benua Afrika, namun lowongan sangat terbatas untuk pekerja yang memiliki keahlian di sektor khusus seperti keperawatan dan energi.
Sedangkan, mayoritas pekerja migran Indonesia tergolong dalam pekerja skill (keahlian) rendah, seperti pekerja rumah tangga (PRT). Sehingga, aturan dinilai salah sasaran dan tidak menyentuh kebanyakan pencari kerja.
Mirisnya, lowongan terbatas ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum untuk menipu dan melakukan perdagangan manusia (human trafficking).
“Di akar rumput para calo memberi informasi yang tidak utuh dengan menyatakan ada pembukaan penempatan pekerja migran, ini yang berpotensi human trafficking,” jelasnya.
Wahyu mendesak pemerintah untuk segera mencari solusi bagi pahlawan devisa mengingat banyak dari mereka merupakan tulang punggung keluarga sekaligus penggerak ekonomi daerah.
Berkat 100K dapat Tiga, Niat Sri Wigati Kembali ke Hong Kong Sirna
Ia mencatat terjadi penurunan remitansi sekitar 17 persen dari US$11,7 miliar pada 2019 menjadi US$9,7 miliar pada 2020. Diharapkan, pemerintah bisa mengurangi beban calon TKI yang akan keluar dengan menanggung biaya tes kesehatan dan menjadikan mereka kelompok prioritas vaksinasi.
Sedangkan bagi pekerja yang pulang, ia meminta agar pemerintah membebaskan biaya penampungan sebelum dikirim ke daerah masing-masing. Pasalnya, ia mengatakan banyak perusahaan pengerah menahan pekerja migran yang tidak bisa membayar uang jaminan.
Mengutip data BNP2TKI, memang terjadi kemerosotan jumlah penempatan pekerja selama pandemi. Misal, penempatan TKI pada 2020 sejumlah 113.173 orang, merosot lebih dari setengahnya dari penempatan 2019 yang mencapai 276.553 orang.
Dari data itu, mayoritas pekerja didominasi oleh pekerja perempuan dan pekerja lulusan SMP dan SD alias pekerja berkemampuan rendah. []
Sumber CNN