Pentingnya Pembuatan Panduan Prokes untuk PMI
JAKARTA – Berdasarkan data dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia per 08 September 2020, ada 34.863 orang pekerja migran terdampak akibat Covid-19.
Masih berdasarkan data yang sama, dikutip pada Rabu (16/12/2020), dari total pekerja migran Indonesia (PMI) yang terdampak ada 24.912 orang adalah PMI perempuan, dan sisanya 9.951 orang adalah PMI laki-laki.
Jika mengacu pada data lainnya, berdasarkan data dari Dinas PPPA Provinsi seluruh Indonesia pertanggal 11 September 2020 total pekerja perempuan dalam negeri yang terdampak juga cukup besar. Pasalnya, total pekerja perempuan yang terdampak selama pandemi ini mencapai 74.041 orang.
Menurut Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Rafael Walangitan, kondisi ini membuat pemerintah perlu membuat panduan dan protokol bagi perempuan di masa pandemi.
Hal ini mengingat, kekerasan berbasis gender dapat terjadi di ranah privat dan publik misalnya tempat bekerja, rumah majikan, penampungan balai pelatihan kerja, serta perjalanan dari dan menuju negara tujuan. Harapannya, panduan dan protokol tersebut, mampu meningkatkan perlindungan hak perempuan PMI pada masa pandemi dan memberikan layanan optimal kepada perempuan PMI yang menjadi korban kekerasan dan perdagangan orang.
“Panduan dan protokol ini menyasar penyelenggara layanan di tingkat pusat dan daerah, serta di negara tujuan PMI Perempuan UPTD, P3MI, lembaga pengada layanan berbasis komunitas, organisasi PMI dan anggota keluarganya, termasuk di dalamnya 117 kelompok Bina Keluarga TKI di 13 propinsi, serta lembaga swadaya masyarakat lainnya yang bekerja bersama PMI,” kata Rafail.
Dia menjamin, panduan dan protokol dari KPPPA bekerjasama dengan UN Women ini memiliki dasar menjaga keselamatan dan keamanan, menjaga privasi dan rahasia korban, penghormatan dan non diskriminasi, serta menghormati perbedaan tiap individu.
Oleh sebab itu, ada lima layanan yang disediakan yakni; layanan rehabilitasi kesehatan, layanan rehabilitasi sosial, layanan bantuan hukum, layanan pemulangan, khususnya untuk perempuan pekerja migran korban perdagangan orang, penempatan non prosedural, dan deportasi, serta layanan reintegrasi sosial.
Sinthia Harkrisnowo dari National Project Coordinator ILO Safe and Fair menambahkan, kondisi ketidaksetaraan gender yang ada dan diskriminasi dalam kebijakan serta segregasi gender dan stereotip perempuan pekerja migran di pasar tenaga kerja tampaknya memengaruhi pengalaman migrasi mereka secara negatif bahkan lebih banyak daripada kasus yang dihadapi oleh pekerja migran laki-laki.
“Sementara, ada 67 persen dari total pekerja migran adalah perempuan. Dan ada 52 persen pekerja migran yang bekerja di sektor rumah tangga,” pungkasnya.
Adapun panduan dan protokol yang diberlakukan harus mengacu pada konsep safe and fair migration. Konsep safe artinya migrasi yang aman itu bebas dari kekerasan dan praktik-praktik yang buruk misalnya fisik, seksual, perdagangan manusia, psikologis, yang dilakukan oleh pasangan dan pihak lain termasuk kekerasan pada proses eksploitasi kondisi kerja dan migrasi.
Kedua, konsep fair yakni migrasi tenaga kerja yang adil, ada gender equitable dalam akses, kesempatan, dan kondisi kerja. Selain itu menghormati hak fundamental pekerja migran dan memberikan kesempatanya yang nyata untuk pekerjaan yang layak. Akses kepada survivor centered response.
Sementara konsep kerja layak artinya peluang bagi perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang layak yakni poduktif secara bebas, adil, aman dan bermartabat. []