Pernikahan Dini dan Kriteria Siap Menikah Menurut Fiqh
JAKARTA – Pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah dimana seorang lelaki dan juga perempuan melakukan akad yang bertujuan untuk mendapatkan kehidupan sakinah [tenang dan damai], mawaddah [saling mencintai dengan penuh kasih sayang] dan warahmah [kehidupan yang dirahmati Allah SWT]. Tujuan utama dari sebuah pernikahan adalah memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat sehingga dasar hukum Islam dari sebuah pernikahan bisa dikatakan sunnah, wajib atau bahkan mubah.
Sementara pernikahan dini merupakan ikatan pernikahan antara pria dan wanita yang dilakukan saat kedua belah pihak masih berusia dibawah 18 tahun atau masih dalam sekolah menengah yang sudah akil baliqh. Pernikahan disebut dengan pernikahan dini jika kedua belah pihak atau salah satu orang masih berusia dibawah 18 tahun. Islam sendiri merupakan agama yang sesuai dengan tabiat manusia sehingga sangat jelas jika kesucian dan juga kebersihan seksual akan mengembalikan kita ke dalam ajaran ajaran Islam.
Hukum Islam sendiri memiliki beberapa prinsip yakni perlindungan pada agama, harta, jiwa, keturunan dan akal. Menikah muda menurut Islam sendiri tidak melarang adanya sebuah pernikahan asalkan sudah baligh dan sudah sanggup memberikan nafkah jasmani serta rohani. Istilah pernikahan dini sendiri merupakan istilah kontemporer yang dikaitkan dengan awal waktu tertentu.
Untuk masyarakat yang hidup pada era awal abad ke-20 dan sebelumya, pernikahan wanita di usia 13 atau 14 tahun dan juga pria pada usia 17 atau 18 tahun menjadi hal yang biasa untuk dilakukan. Namun pada masyarakat sekarang ini, pernikahan dini menjadi hal yang aneh dan wanita berusia dibawah 20 dan pria dibawah 25 tahun sudah dianggap sebagai pernikahan dini.
Menurut pendapat dari Imam Muhammad Syirazi dan juga Asadullah Dastani Benisi, budaya pernikahan dini dibenarkan dalam Islam dan ini sudah menjadi norma muslim sejak mulai awal Islam. Pernikahan dini menjadi kebutuhan vital khususnya akan memberikan kemudahan dan tidak dibutuhkan studi terlalu mendalam untuk melakukannya.
Ibnu Syubromah menyikapi pernikahan yang dilakukan Nabi SAW dengan Aisyah yang saat itu masih berumur 6 tahun dan ia menganggap jika hal ini adalah ketentuan khusus untuk Nabi SAW yang tidak dapat ditiru oleh umat Islam. Akan tetapi menurut pakar mayoritas hukum Islam memperbolehkan pernikahan dini dan menjadi hal yang lumrah di kalangan para sahabat dan bahkan sebagian ulama melumrahkan hal tersebut yang merupakan hasil interpretasi Surat al Thalaq ayat 4.
“Dari Aisyah ra (menceritakan) bahwasannya Nabi SAW menikahinya pada saat beliau masih anak berumur 6 tahun dan Nabi SAW menggaulinya sebagai istri pada umur 9 tahun dan beliau tinggal bersama pada umur 9 tahun pula” [Hadis Shohih Muttafaq ‘alaihi].
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” [QS At-Thalaq : 4]
Hukum asal sunnah sendiri bisa berubah menjadi wajib atau haram berdasarkan dari kondisi orang yang akan membangun rumah tangga dalam Islam. Jika ia tidak bisa menjaga kesucian atau ‘iffah dan akhlak kecuali dengan menikah, maka hukum menikah menjadi wajib untuknya. Hal ini dikarenakan kesucian dan akhlak menjadi hal yang wajib untuk semua umat muslim. Hukum bisa berubah menjadi haram jika pernikahan dilakukan karena alasan ingin menyakiti istri atau karena harat dan sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya untuk agama.
Hukum Islam Berhubungan Dengan Pernikahan Dini
Menikah dini pada dasarnya merupakan sebuah pernikahan seperti lainnya, namun dilakukan oleh pasangan yang masih berusia muda. Karena pernikahan dini sama halnya dengan pernikahan pada umumnya, maka hukum yang berhubungan dengan pernikahan dini juga harus ada di semua pernikahan. Akan tetapi, ada hukum khusus yang bertolak dari kondisi khusus contohnya mahasiswa yang masih kuliah sehingga belum bisa memberikan nafkah dan sebagainya.
Kesiapan Pernikahan Dini Dalam Tinjauan Fiqih
Dilihat dari hukum umum, maka kewajiban dalam memenuhi syarat persiapan pernikahan ditinjau dari fiqih pernikahan, maka setidaknya diukur dalam tiga hal yakni:
- Kesiapan Ilmu
Kesiapan ilmu adalah kesiapan pemahaman dalam hukum hukum fiqih yang berhubungan dengan pernikahan baik dalam hukum sebelum menikah seperti hukum khitbah atau melamar, hukum pada saat menikah seperti syarat dan rukun aqad nikah dan juga kehidupan setelah menikah yakni hukum nafkah, talak serta ruju’.
Syarat pertama ini didasari dengan prinsip jika fardhu ain hukumnya untuk seorang muslim mengetahui apa saja hukum hukum perbuatan yang dilakukan sehari hari atau yang akan segera dilakukan.
- Kesiapan Materi
Yang dimaksud dengan kesiapan materi atau harta terdiri dari dua jenis yakni harta sebagai mahar atau mas kawin dan juga harta sebagai kewajiban laki laki setelah menikah yakni nafkah suami pada istri untuk memenuhi segala kebutuhan primer, sandang, pangan dan papan. Mengenai mahar sebetulnya bukan mutlak berupa harta akan tetapi juga dapat berupa manfaat yang diberikan suami pada istri seperti mengajarkan ilmu pada istri. Sementara kebutuhan primer adalah wajib diberikan dalam kadar yang layak atau bi al ma’ruf yakni setara dengan nafkah yang diberikan pada wanita.
- Kesiapan Fisik
Kesiapan fisik khususnya untuk laki laki adalah bisa menjalani tugasnya sebagai seorang laki laki alias tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam juz III hal. 109 berkata, “al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab pernah memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hal.163).
Hukum Menikah Dini Masih Menuntut Ilmu
Untuk seseorang yang ingin melakukan pernikahan dini seperti saat masih bersekolah atau kuliah, maka ini mengartikan orang tersebut masih menjalani sebuah kewajiban yakni menuntut ilmu. Sementara hukum asla menikah adalah tetap sunnah untuknya, tidak wajib selama masih bisa menjaga kesucian jiwa dan akhlaqnya serta tidak menjurus pada perbuatan haram meski tidak menikah. Oleh karena itu, hal tersebut harus ditetapkan dalam kaidah aulawiyat atau prioritas hukum yakni wajib harus didahulukan dibandingkan dengan sunnah. ini mengartikan menuntut ilmu masih menjadi prioritas utama dibandingkan menikah.
Namun, apabila tetap ingin melangsungkan pernikahan, maka hukumnya tetap sunnah, tidak wajib akan tetapi orang tersebut dituntut untuk bisa menjalani dua hukum yakni menuntut ilmu dan menikah dalam waktu yang bersamaan dan dilakukan dengan baik serta tidak mengabaikan salah satunya. Selain itu, harus juga diikuti dengan pemenuhan kesiapan pernikahan seperti ilmu, fisik dan harta.
Hukum Pernikahan Dini Untuk Menghindari Maksiat
Sebagai seorang muda yang mungkin tidak bisa menjaga dirinya dan dikhawatirkan bisa terjerumus kedalam perbuatan maksiat yakni zina dalam Islam, maka pernikahan dini hukumnya berubah dari sunnah menjadi wajib untuk menghindarkan orang tersebut dari perbuatan dosa sesuai dengan kaidah syariat.
Hukum pernikahan yang menjadi wajib ini berarti orang tersebut harus sanggup melakukan dua kewajiban yakni menuntut ilmu dan menikah meskipun terasa sulit dilakukan secara bersamaan.
“Dan (orang-orang beriman) adalah orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” [TQS Al Mu`minun: 8].
Hindun pernah berkata kepda Rasulullah,”Wahai Rasulullah, Abu Sufyan (suaminya) adalah seorang lelaki bakhil, dia tidak mencukupi nafkah untukku dan anakku, kecuali aku mengambil hartanya sedang dia tidak tahu.” Nabi SAW bersabda,”Ambillah apa yang mencukupi untukmu dan anakmu secara ma’ruf.” [Abdurrahman Al Maliki, 1963, As Siyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla, hal. 166].
Tujuan pernikahan dalam Islam pada dasarnya merupakan fitrah yang sudah diberikan oleh Allah SWT dan dianjurkan untuk meneruskan keturunan pada kelangsungan hidup manusia. Akan tetapi, pernikahan dini yang dilakukan pada usia masih belia memang memiliki banyak hal yang mengkhawatirkan dan bisa menimbulkan perceraian dalam pernikahan tersebut. Selain itu, pernikahan dini juga akan berdampak buruk untuk wanita secara biologis belum dewasa dan juga terputusnya dalam mewujudkan segala yang sudah menjadi cita cita wanita tersebut.
“Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama” [HR. Ibnu Majah].
Demikian ulasan dari kami mengenai pernikahan dini dalam Islam yang hukumnya bisa wajib, sunnah, haram dan sebagainya menyesuaikan dengan tujuan dilakukannya pernikahan dini tersebut. Semoga bisa bermanfaat dan menambah pengetahuan seputar Islam khususnya mengenai pernikahan. []
Sumber Islamic Base