December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Phubbing, Fenomena Sosial yang Membawa Dampal Buruk pada Hubungan Sosial

2 min read
Ilustrasi Foto SCMP

Ilustrasi Foto SCMP

ApakabarOnline.com – Fenomena hidup dengan gadget atau gawai di tengah masyarakat saaat ini telah membuat budaya baru baik budaya etis positif hingga budaya tak etis negatif. Tak bisa dipungkiri lagi, untuk berbicara dengan orang lain tanpa memainkan telepon genggam sepertinya menjadi suatu hal yang sulit bagi kebanyakan orang, khususnya para generasi milenial.

Hal itu bisa dibuktikan, misalnya saat berada di restoran, di mana pasangan atau sekumpulan teman yang seharusnya saling berbincang akrab, tetapi ada saja yang sibuk memainkan telepon genggam, meskipun bukan soal pekerjaan mendadak. Sudah tidak khusus pada satu kalangan tertentu, saat ini semua kalangan telah tersentuh dan berperilaku demikian.

Kejenuhan seseorang ketika berbincang tatap mata, lalu beralih berbincang dengan orang lain via smartphone itu dinamakan Phubbing, yakni kependekan dari Phone Snubbing.

Istilah phubbing yang kini kembali viral sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Karena, sejak kelahiran telepon genggam yang serba canggih, banyak orang tampak sibuk sendiri dan tidak menghiraukan lawan bicaranya.

Bahkan, kampanye untuk menghentikan phubbing pun pernah digencarkan di tahun 2012 oleh agensi periklanan McCann, dan diramaikan oleh media di seluruh dunia. Istilah tersebut kemudian resmi didaftarkan dalam kamus Macquarie.

Dikutip dari Dailymail, istilah phubbing kembali viral dengan adanya studi yang dilakukan oleh Dr. James Roberts, dan Dr. Meredith David dari Baylor University, Texas.

Namun, phubbing yang sekarang terjadi justru cukup memprihatinkan sebab dilakukan saat-saat momen kebersamaan, dan ini biasanya dilakukan oleh pasangan dalam hubungan percintaan, atau para sahabat yang tengah berkumpul.

Para peneliti pun melakukan ujicoba terhadap 143 individu. Dari 143 individu yang diujicobakan, ternyata 70 persen tidak bisa lepas dari telepon genggam dan melakukan phubbing. Sementara itu 450 responden yang menjadi korban phubbing, 46 persen yang benar-benar menjadi korban dari pasangannya sendiri, dan sisanya langsung mengomel.

Banyaknya aplikasi media sosial untuk mengobrol yang menyenangkan dan adiktif, phubbing juga ternyata menjadi alasan buat seseorang yang sengja menjauhkan lawan bicaranya. Ini biasanya terjadi bila ada orang baru yang tidak disukai ikut serta dalam obrolan.

Sedangkan, bagi para pasangan, hal ini dilakukan kalau sedang merasa bosan, sehingga lebih memilih untuk mencari keseruan dari orang ketiga dengan mengobrol melalui media sosial.

Jika phubbing hanya dilakukan sekali dua kali mungkin masih bisa ditolerir bagi pasangan atau teman. Tapi, jika konsisten dilakukan maka hal ini akan berisiko merusak kualitas hubungan.

Lebih parahnya lagi, efek jangka panjangnya hal tersebut menjadi biasa dan dimaklumi, sehingga komunikasi pun dirasa sudah tidak perlu dilakukan. Bahkan, hal terburuknya adalah seseorang akan dijauhi dan tidak akan diikutsertakan lagi.

Menurut Julie Hart, pakar hubungan sosial dari The Hart Centre, Australia, bahwa ada tiga faktor hubungan sosial yang menjadi tumpul akibat phubbing. Yang pertama adalah akses informasi, yakni kemampuan mendengar serta membuka diri akan informasi dari lawan bicara.

Keduanya adalah respon, yaitu usaha untuk memahami apa yang disampaikan oleh lawan bicara, juga mengerti maksud yang disampaikan. Sedangkan, ketiganya adalah keterlibatan, yakni ketika dua faktor sebelumnya diabaikan, maka seseorang tidak akan terlibat dari wacana yang dibicarakan dan hanya mengiyakan saja. Akibatnya lawan bicara pun akan tersinggung, bahkan malas bicara lagi. []

Advertisement
Advertisement