December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Revolusi Pangan 2023 Mendesak Dilakukan di Indonesia

2 min read

JAKARTA – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menilai perlu ada revolusi pangan pada 2023 cegah stunting dan gizi buruk. Terutama, membentuk kesadaran agar tidak bergantung pada bahan pangan tertentu saja.

BKKBN berharap, kerja sama dengan mitra dapat mencapai tujuan mewujudkan revolusi pola makan.

“Kerja sama itu harus diperkuat di tahun 2023. Kalau menurut saya harus ada revolusi pola makan,” kata Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo dikutip dari Antara di Jakarta, Senin (2/1).

Hasto melanjutkan, penguatan kerja sama ditujukan untuk meningkatkan kualitas komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) masyarakat akan pemberian asupan gizi pada anak dan pencegahan stunting.

Terkait revolusi pola makan, Hasto memberi contoh keberhasilan di Jepang. Yakni, ada keterlibatan mitra secara optimal mendorong semua warganya untuk mengonsumsi ikan guna memenuhi asupan gizi DHA dan Omega3. Di Indonesia, hal tersebut juga dapat dilakukan melalui pangan lokal yang tumbuh di wilayah masing-masing.

Keterlibatan para mitra dapat mendorong keluarga untuk tidak fokus pada sejumlah bahan pangan tertentu. Seperti, hanya konsumsi beras atau daging untuk menyediakan menu sehat bagi anak.

Akan tetapi, bisa diganti dengan makanan lain misalnya daun kelor, jagung atau singkong.

Dengan bertambah luasnya pengetahuan masyarakat dalam mengolah pangan lokal, keluarga tidak akan khawatir atau terkecoh pada komoditas pangan yang mengalami inflasi harga. Karena, keluarga sudah menyadari bahwa Indonesia kaya akan diversifikasi pangan.

“Sekarang ini yang menjadi populer adalah harga cabai, tahu dan kol. Makanan di luar itu seolah olah tidak dilirik, sehingga kalau harga cabai, tomat naik kenapa tidak cari alternatif, misalnya kelor yang ditanam di mana-mana dan bisa tumbuh, jadi itu yang saya maksudkan revolusi,” lanjut dia.

Menurut Hasto, revolusi pola makan juga akan menghindarkan anak terkena stunting dan membuat keluarga tidak terdikte oleh kartel-kartel. Apalagi Presiden Joko Widodo juga sudah mendorong masyarakat untuk tidak banyak membeli bahan impor.

Makanan Pendamping ASI (MPASI) bagi anak, juga harus direvolusikan. Hasto menilai, banyak ibu terpaku untuk memberikan susu formula ketimbang ASI eksklusif.

MPASI yang diberikan pada anak pun, lebih menggunakan makanan pabrikan dibandingkan membuatnya sendiri dengan alasan sulit, tidak tahan lama ataupun tidak memiliki cukup banyak waktu.

Padahal, dengan menggunakan pangan lokal, dapat sedikit mengurangi beban pengeluaran keluarga, juga memperkaya jenis makanan yang dikonsumsi keluarga.

“Namanya MPASI itu sudah jelas, tapi ini justru aslinya diganti susu formula, beli bubur yang sudah ada tulisannya tujuh atau sembilan bulan. Uangnya jadi lari semua ke pabrikan. Kenapa kita tidak memberdayakan produk lokal saja?” lanjut dia.

BKKBN bersama Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) dan Tim Pendamping Keluarga (TPK) saat ini terus menggaungkan manfaat pangan lokal, untuk diolah menjadi menu sehat. Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat) juga membantu mendemonstrasikan menu-menu sehat tersebut.

“Ini saja pemberian ASI eksklusif masih belum maksimal. Saya kira banyak hal yang harus kita buatkan resolusi melalui suatu revolusi,” lanjut Hasto. []

Advertisement
Advertisement