Semunya Janji Perbaikan Tata Kelola PMI
JAKARTA – Maraknya kasus kekerasan terhadap para buruh migran, nyatanya tak menyurutkan animo masyarakat untuk tetap mengadu nasib di negeri orang. Peningkatan jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) dalam tiga tahun terakhir menggambarkannya.
Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melaporkan per Oktober 2018, tercatat 228.918 orang yang menjadi PMI. Angka tersebut mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2017 yang jumlahnya mencapai 218.906 orang. Jumlah PMI di tahun 2017 juga lebih banyak, jika dipadankan dengan jumlah PMI pada tahun 2016 yang mencapai 195.546 orang.
Terlebih data yang dicatat oleh BNP2TKI tersebut belum termasuk jumlah PMI yang menempuh jalur ilegal. Ketua BNP2TKI, Nusron Wahid, kepada Validnews, Rabu (21/11), memperkirakan setiap tahunnya terjadi pemberangkatan 30 ribu PMI secara ilegal.
Keluhan terkait rumitnya birokrasi pendaftaran yang dibuat oleh pemerintah, dan keluhan perihal maraknya pungutan dalam proses pendaftaran, tampaknya menjadi salah satu penyebab.
Sekretaris Jenderal Migrant Care Anis Hidayah mengakui, kendala yang biasa dihadapi masyarakat dalam proses pendaftaran untuk menjadi PMI di antaranya memang terkait panjangnya prosedur birokrasi yang panjang. Masalah ini banyak diadukan calon PMI pada Migrant Care.
Selain itu, aduan calon PMI katanya juga sering mengeluh karena harus mengeluarkan biaya yang mahal guna memenuhi prosedur yang telah ditentukan pemerintah, seperti pembuatan visa dan paspor.
Tak hanya itu, Anis mengungkapkan, jika calon PMI kerap dibebankan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh sejumlah oknum. Calon PMI, ujarnya, kerap dikenakan pungli pada semua tahapan.
“Mereka jadi mengalami pungli di berbagai tahapan, seperti mau keberangkatan dikenakan pungli, mau meminta bantuan dikenakan pungli, mau pulang juga dikenakan pungli,” kata Anis, dinukil dari Validnews, Kamis (15/11/2018).
Sejumlah persoalan tersebut menurut Anis akhirnya menjadi celah bagi sindikat tertentu untuk mencari keuntungan. Caranya dengan menawarkan jasa untuk membantu keberangkatan PMI ke luar negeri melalui jalur yang ilegal.
“Itulah konsekuensi bagi pemerintah karena birokrasinya yang rumit dan mahal,” terangnya.
Anis memperkirakan, saat ini mayoritas PMI atau buruh migran dari Indonesia tidak berdokumen resmi. Dengan kata lain, banyak PMI bekerja di luar negeri dengan cara ilegal.
“Hal itu masif terjadi karena pemerintah juga berkontribusi besar menyebabkan hal itu terjadi,” katanya.
Anis pun mencontohkan perihal rumitnya prosedur pendaftaran dan keberangkatan calon PMI. Berdasarkan aduan yang diterima Migrant Care, terdapat peserta program kerja sama antarpemerintah atau Government to Government (G to G), yakni antara pemerintah Indonesia dan Korea Selatan yang mengalami kendala.
Anis menceritakan, meskipun peserta telah memenuhi persyaratan dan prosedur pendaftaran, akan tetapi tak kunjung diberangkatkan.
“Dia sudah lolos dari bulan Januari, tapi sampai sekarang belum juga diberangkatkan. Sedangkan, dokumen-dokumennya sebentar lagi juga akan habis masa berlakunya,” jelasnya.
Anis menilai keadaan ini bisa jadi akan membuat para calon PMI lebih memilih jalur yang ilegal, meski tahu itu berisiko. Temuan Migrant Care selama ini menunjukkan buruh migran yang tidak berdokumen kerap mengalami diskriminasi karena statusnya yang tidak resmi tersebut.
Hal ini kerap terjadi kendati negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada seluruh PMI yang telah bekerja di luar negeri. Terlepas dari status PMI tersebut legal maupun bukan.
Ironinya, seiring persoalan birokrasi berbelit ini, Anis menilai koordinasi antarkementerian terkait juga masih lemah. Padahal, tahun lalu komite pekerja migran dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah guna memperbaiki tata kelola terkait penempatan dan perlindungan migran.
“Rekomendasi tersebut seperti perbaikan kebijakan, pengawasan, peningkatan rehabilitasi kepada korban, penyediaan data, dan koordinasi antarpemerintah,” katanya.
Anis menyayangkan lemahnya implementasi perbaikan tata kelola itu. Sebab meski pendaftaran TKI dengan jalur ilegal lebih mudah, namun hal ini sebenarnya sangatlah berisiko bagi calon TKI terkait.
PMI yang menggunakan jalur ilegal tidak memperoleh hak-hak dan jaminan perlindungan.
“Seperti jaminan sosial dan hak untuk memilih dalam pemilu. Pada pemilu tahun depan, misalnya buruh migran yang terdaftar hanya dua juta. Padahal jumlah mereka ada tujuh juta,” paparnya.
PMI yang tak berdokumen resmi juga dikatakan Anis lebih rentan berhadapan dengan persoalan hukum, seperti dirazia, dideportasi dan dipenjara.
Berkaca pada sejumlah persoalan-persoalan tersebut, Anis pun menekankan bahwa pemerintah perlu membenahi persoalan-persoalan tersebut agar dapat melindungi pekerja migran.
Data dari Kemenaker sendiri mencatat, sepanjang pada tahun 2018 ini jumlah pengaduan berdasarkan jenis masalah yang dialami PMI mencapai 3.789 aduan. Latar belakangnya masalahnya pun beragam, seperti masalah perekrutan PMI ilegal, PMI tidak berdokumen, hingga kekerasan dan pelecehan seksual.
Persoalan Di Hulu
Problem perihal mekanisme pemberangkatan PMI ternyata memiliki persoalan di hulu. Hal itu sebagaimana pernyataan yang disampaikan salah seorang PMI yang tengah bekerja sebagai penjaga anak di Singapura, Risna (26).
Risna mengungkapkan, dokumennya dimanipulasi oleh agen yang memberangkatkannya. Hal itu dikarenakan usia Risna yang saat itu baru berusia 18 tahun sehingga belum dapat mengais rezeki di luar negeri. Waktu itu, pihak agen mengganti tahun kelahiran Risna agar sesuai persyaratan.
“Saya pribadi usia di paspor kelahiran 1986, sedangkan yang asli 1992. Agen ganti semua karena peraturan masuk Singapura minimal 23 tahun,” terang Risna Rabu (21/11/2018).
Pada akhirnya Risna sangat menyesalkan tindakan tersebut. Menurut wanita yang sudah bekerja selama 8 tahun di Singapura itu, jika usia PMI sesuai dengan apa yang diminta pencari kerja, tentunya PMI akan memiliki mental yang kuat dalam menyelesaikan pekerjaan. Risna yakin, pembatasan usia pasti ada alasannya.
Sayangnya, saat ini banyak PMI yang kesulitan mengakomodasikan haknya selama di negeri orang. Kebanyakan dari mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Salah seorang pekerja di apartemen di dekat Risna, misalnya kerap kali ia dibentak majikan karena tidak mengerti apa yang diperintahkan.
“Bahasa juga sangat penting untuk kita di sini, setidaknya kita bisa berkomunikasi dengan baik,” jelas Risna.
Persoalan tersebut menurut Risna muncul karena mereka tidak dipersiapkan secara matang. Risna sendiri mengaku telah mengikuti pelatihan selama satu setengah bulan di bilangan Bekasi sebelum akhirnya diberangkatkan. Akan tetapi, tidak semua PMI mendapat pelatihan dengan rentang waktu yang sama.
Karenanya, Risna berpendapat masih banyak yang harus dibenahi oleh berbagai pihak, baik perekrut, agen, maupun penyalur.
Menurut Risna, perlu pembenahan dari segi konten pelatihan selama di penampungan. PMI seharusnya tidak hanya dibekali pelatihan bahasa dan keterampilan pekerjaan semata, tetapi juga cara mengakomodasi haknya.
Kemudian, dokumen milik PMI juga tidak seharusnya dimanipulasi. Selain manipulasi usia, manipulasi kontrak juga tak jarang terjadi. Salah satunya, agen sering menyetujui kontrak PMI untuk bekerja tanpa cuti tanpa seizin calon PMI.
“Banyak agen yang menyarankan pekerja untuk menyetujui tanpa libur, tapi apa mereka bisa merasakan betapa susahnya kita yang over work tanpa libur dan istirahat,” sesal Risna.
Risna mengungkapkan, jika selama dua tahun pertama, dirinya tidak mendapat cuti. Ia juga tidak diperbolehkan memiliki alat komunikasi untuk sekadar berkabar dengan keluarga.
Pada keberangkatannya yang kedua di tahun 2013, ia akhirnya memberanikan diri berkonsultasi dengan majikan keduanya dan akhirnya diberi cuti.
Berdasarkan pengalamannya tersebut, Risna berharap agar pekerja migran dapat berbicara dengan majikannya tentang hak dan kewajiban yang dimilikinya, serta selalu mendapatkan perlindungan.
Sederet persoalan di hulu tersebut diperkuat oleh pernyataan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Lalu Muhammad Iqbal. Menurut Iqbal, pembenahan di hulu harus segera dirumuskan.
Iqbal menerangkan, setiap tahunnya pihaknya menangani sekitar 15.000 kasus WNI di luar negeri, baik yang melibatkan PMI maupun warga bukan PMI. Sebanyak 80% dari kasus itu melibatkan PMI yang persoalannya sudah dimulai dari awal.
“Sebagian besar masalah yang muncul adalah di hulu. Jadi tata kelola di hulunya yang harus dibenahi. Contoh kasus Tuti Susilawati yang baru dihukum mati,” ungkap Iqbal.
Iqbal mencontohkan pada kasus Tuti misalnya, hal itu merupakan bukti kegagalan pihak-pihak di hulu dalam menyiapkan kapabilitas PMI. Seandainya Tuti diberi pembekalan yang cukup mengenai perlawanan atau pembelaan diri ketika dilecehkan majikan sehingga statusnya defensif dan bentuk hukumannya berbeda.
Selain Tuti, masih banyak sekali kasus PMI yang mengalami disharmoni dengan majikan. Iqbal menilai hal tersebut berawal dari ketidaksiapan PMI dalam memahami kultur, bahasa, dan hukum di negara tujuan.
Karena persoalan di hulu tersebut, Kemenlu selaku pihak yang berwenang melakukan perlindungan di hilir harus turun tangan. Diterangkan Iqbal, perspektif yang Kemenlu gunakan dalam memberi perlindungan adalah perspektif WNI. Baik perlindungan terhadap PMI maupun yang tidak PMI akan disamakan.
“Jadi, tidak ada diskriminasi antara TKI dan yang bukan TKI, juga apakah dia TKI prosedural atau nonprosedural. Semua kita berikan perlindungan,” tuturnya.
Memang sejauh ini, kata Iqbal, mayoritas PMI yang bermasalah adalah mereka yang diberangkatkan ilegal. Sampai saat ini, di sejumlah shelter Kemenlu di negara-negara Timur Tengah hampir 100% diisi oleh PMI ilegal.
Iqbal menilai tingginya angka PMI ilegal tersebut merupakan konsekuensi dari moratorium pengiriman PMI ke Timur Tengah yang dibuat tanpa jalan keluar.
Faktanya sekarang, lebih dari 60% angkatan kerja Indonesia adalah lulusan SD atau bahkan tidak lulus SD. Dengan latar belakang pendidikan tersebut, susah bagi mereka mendapat pekerjaan dengan gaji yang cukup di dalam negeri.
“Jadi, dorongan untuk pergi keluar itu sangat tinggi, sementara ini (pengiriman TKI.red) sudah ditutup dan kita tidak menyediakan exitstrategy-nya (jalan keluar),” terang Iqbal.
Seharusnya, menurut Iqbal, pemerintah menyiapkan alternatif pekerjaan bagi mereka atau memberi pelatihan sambil menunggu pembukaan kembali moratorium itu. Masalah lainnya adalah tidak adanya penguatan di perbatasan ketika moratorium dilakukan.
Moratorium pengiriman PMI ke Timur Tengah sendiri dimulai pada tahun 2010. Sementara dampaknya, baru kelihatan pada tahun 2013.
“Jadi dari 2013 sampai sekarang jumlah kasus TKI terus menurun dari 38 ribu jadi sekitar 15 ribu, tapi tingkat komplikasinya meningkat,” paparnya.
Iqbal menjelaskan, jumlah kasus pada tahun sebelumnya banyak karena jumlah yang diberangkatkan secara legal pun banyak. Karena mereka legal maka ada instrumen perlindungan yang jelas, seperti kontrak, izin, identitas dan sebagainya. Jadi, mudah bagi Kemenlu untuk menyelesaikan, ketika ada masalah.
Namun diperhatikan Iqbal semakin ke sini, hampir 90% kasus tersebut melibatkan PMI ilegal sehingga tidak ada instrumen perlindungannya.
Kemenlu sendiri kesulitan menangani kasus PMI ilegal sebab tidak ada ada data diri, kontrak, data majikan, maupun hal lainnya. Hampir semua data PMI ilegal yang terlibat kasus telah dipalsukan, baik oleh calo atau agen maupun oleh PMI sendiri.
Sayangnya hingga kini tindakan tegas pemerintah dalam mencegah persoalan PMI ilegal belum terlalu ketara. Selama tujuh tahun menangani persoalan PMI di luar negeri, Iqbal menilai penempatan PMI malah dijadikan ladang bisnis. Nilai ekonomi penempatan PMI yang mencapai triliunan itu menjadikan polemik dalam membuat regulasi.
“Jadi, makin tinggi nilai ekonomi sebuah bisnis makin sulit untuk melakukan pembenahan karena banyak pihak yang berkepentingan di situ,” kata Iqbal.
Dampaknya, bukan hanya PMI itu saja yang dirugikan, tetapi juga negara. Misalnya seorang PMI diberangkatkan oleh pihak tertentu secara ilegal, tetapi ketika terjadi masalah negara yang harus mengeluarkan biaya, waktu, dan tenaga untuk menyelesaikannya.
Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf juga tak menampik jika masih banyak pengiriman PMI yang tidak melalui prosedur resmi. Jadi, mereka bekerja di luar negeri dengan status ilegal.
Politisi Partai Demokrat ini mengkritik persoalan moratorium pengiriman PMI. Dede menilai kebijakan tersebut hanya tampak seperti kebijakan di atas kertas. Pasalnya masih banyak pengiriman PMI ke luar negeri yang ditempuh lewat jalur non-prosedural.
“Pemerintah tidak bisa mengambil tindakan tegas, padahal pengiriman TKI ke luar negeri secara ilegal melibatkan banyak pihak baik di Indonesia maupun di negara tujuan,” katanya kepada
Politikus Demokrat ini melanjutkan, untuk bisa menanggulangi permasalahan PMI ilegal dibutuhkan kerja sama yang komprehensif antara BNP2TKI, Disnaker, Kemenlu, TNI, Kepolisian dan pihak Imigrasi.
“Selama ini tidak ada terobosan jitu yang dilakukan Kemenaker dan BNP2TKI,” ungkapnya.
Menurutnya, pengiriman PMI ilegal yang dilakukan oleh oknum bermula dari desa. Oleh karena itu, beberapa waktu lalu Komisi IX telah meminta kepada BNP2TKI untuk segera memerintahkan kepada agen pengiriman PMI tidak menerima rekrutan PMI yang dibawa oleh calo.
Bahkan dirinya sempat mendapatkan laporan dari salah satu desa yang berada di Indramayu, Jawa Barat, di mana kepala desa diancam oleh para calo karena dianggap menutup mata pencaharian mereka. Setelah kepala daerah menyosialisasikan kepada masyarakat yang ingin menjadi TKI untuk menghindari calo.
“Kalau semua desa berani melakukan hal yang sama pasti bisa menekan TKI ilegal,” ucapnya.
Sejauh ini profesi pembantu rumah tangga menjadi pekerjaan yang paling banyak diisi oleh PMI di luar negeri. Data dari Kemenaker menunjukkan total sejak tahun 2014–2018 terdapat 529.909 PMI yang berprofesi menjadi pembantu rumah tangga. Disusul dengan pekerja perkebunan yang berjumlah 164.337 dan pengasuh yakni 127.514. [vn]