April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

[CURHAT] Selamat Tinggal, Mantan…

4 min read

Membuat surat kepada sang kekasih menjadi hal tabu untuk aku lakukan. Namun, aku melakukannya demi sebuah penjelasan dan keputusan. Keputusan bersama atau berpisah, penjelasan untuk merenda sakinah atau menganyam kebencian. Sama-sama sulit, sama-sama susah. Harga diri sebagai wanita terkoyak oleh diamnya yang kelewat batas. Hei… Aku manusia bernyawa yang tak bisa didiamkan begitu saja.

 

Setelah mengirim surat dengan kelegaan 50 persen, aku mulai menunggu dengan hati kocar-kacir. Satu hari, dua hari, dan hingga kini empat puluh hari. Apa aku sudah tidak layak mendapatkan cintanya? Selama di Hong Kong, aku memang tidak pernah berkabar padanya. Aku hargai gaya pacaran ala ta’aruf, jengah juga kala tidak tampak sebuah hubungan yang pasti. Percuma mencoba berkenalan dengan yang lain, karena hati sudah mulai sulit untuk moving on.

 

Setelah beberapa bulan, aku mendengar kabar dia akan dijodohkan dengan gadis desa lain yang, katanya, lebih cantik dan kaya. Deg.

”Itu hanya ingin membuatmu kecewa, Sa… Cari saja yang lain. Aku ada teman yang masih jomblo. Mau aku kenalin?” tutur Lilis, sahabatku.

 

”Kalau sampai Minggu depan aku tidak bertemu dengannya, aku nyerah deh. aku terima perkenalan itu,” jawabku asal, mencoba menenangkan diri.

 

Akhirnya aku menerima keputusan hatiku, menerima perkenalan tanda siap menikah. Bukan apa-apa, sobats. Aku sudah berusia tidak lagi muda. Bukan ABG yang baru lulus SMA. Aku adalah wanita tiga puluhan, usia yang katanya rawan untuk melahirkan.

 

Namun, saat aku mulai menyiapkan hati untuk melenyapkan mantan, dia datang. Membawa segenap keberanian untuk menyapaku. Memohon maaf atas segudang khilaf di masa lalu, hingga hari ini. Hatiku sudah membatu. Otak sudah tidak lagi berpikir kebaikan.

 

”Selama ini ke mana saja, Mas? Denger-denger kamu mau menikah?” tanyaku tanpa menjawab salamnya.

 

”Aku, aku tidak ke mana-mana, Sa. Aku sekarang kerjanya tidak seperti dulu. Aku takut tidak bisa memenuhi semua kebutuhanmu saat kita menikah nanti. Kamu kan lulusan luar negeri, minderlah aku.” Balasnya dengan sesekali menengok ke kanan dan kiri. Entahlah, ini godaan apa cobaan. Kenapa baru sekarang bilang begitu coba? Apa tidak kurang lama? Ups!

 

”Mas… Kita sudah kenal lama dan pernah saling mendukung, menyayangi. Masak karena aku baru pulang kerja, merantau, kamunya jadi minder? Sepertinya ini bukan jawaban yang baik dan terkesan asal. Dalam suratku, aku meminta keputusanmu, apakah hanya ini jawabannya?” Hatiku mulai gerimis. Mata pun sudah mulai memanas.

 

”Maafkan aku, Sa… Memang terlambat. Aku harap kita sama-sama legawa berpisah. Kamu dengan kehidupanmu, aku dengan kehidupanku.” Dia menggenggam tanganku, lalu pergi.

 

Baiklah, memang sudah saatnya aku menyambut pangeran kehidupanku. Aku harap ia mau menerimaku apa adanya. Seorang pekerja migran memang gampang-gampang susah mencari jodoh. Apalagi yang terlihat sukses. Aku tidak sesukses yang mereka kira, hanya mencoba bertahan bahwa kerja apa pun pasti ada gak enaknya.

 

”Tunggu, Mas. Jangan lupa datang di hari pernikahanku, ya?” sahutku reflek.

”Iya.” Suaranya lirih. Langkahnya dipercepat setelahnya.

Aku lega, tidak dibayangi lagi oleh ketidakpastian.

 

Tiga bulan kemudian aku menikah. Dia datang dengan teman-temannya, yang juga temanku. Rasanya bagai dipertemukan dengan seragam SMA lagi. Kencan diam-diam dan bebas bermanja dengan dia, yang sekarang menjadi mantan terindah. Ya, semoga dia bahagia. Menemukan wanita idaman yang mendamaikan hatinya.

 

Pesta sederhanaku berjalan lancar dan menyisakan kelelahan yang dahsyat. Tumpukan kado aku buka satu per satu di hari kelima. Aku menemukan kado darinya, beserta surat jawaban yang aku tunggu sekian hari. Sebelum membacanya, aku luaskan hati dan mendinginkan kepala. Berharap tiada kata yang membuatku terbata, hiks.

 

Sa, memang terlambat menulis jawaban kepadamu…

Aku memang laki-laki yang pengecut, tidak tahu cara membaca hatimu.

 

Sebenarnya aku belum siap menikah. Meski usiaku sudah tidak lagi muda, aku masih ingin berkelana mencari cinta sejati. Betul, aku pernah menyayangimu di masa itu hingga kini. Namun, perubahanmu membuatku malu.

 

Semalu-malunya. Kamu hijrah lahir dan batin, sedangkan aku malah tergelincir dalam remang kehidupan malam. Semoga kamu bahagia selamanya. Doakan aku segera menyusul, ya? Sebelum itu, aku ingin mengikuti jejak hijrahmu dulu. Agar saat aku menikah kelak, aku bisa menjadi imam yang baik buat istriku…

 

Pembuka surat yang kelu. Biarlah itu menjadi kenangan termahal dalam kehidupanku. Yang dimaksud hijrah versi dia, itu sempat membuatku terharu. Aku pun ingin menghapus gambaran masa jahiliyah di masa itu. Menggantinya dengan lukisan cinta yang akan tetap aku pahat di hati hingga akhir nanti.

 

Mencintai suami dengan segenap hati dan jiwa, berbakti dan mengabdi dalam ridha-Nya. Selamat tinggal, Mantan. Yang berlalu biarlah menjadi masa lalu. Yang tersisa biarkan menjadi masa kebaikan untuk dijadikan bekal menghadap Yang Maha Kuasa.

 

Seandainya aku tetap menunggu, mungkin tidak akan ada kisah ini. Orangtuaku pasti masih berselimutkan khawatir, melihat anak gadisnya belum laku-laku.

 

Terima kasih, Tuhan. Terima kasih telah membimbingku ke jalan yang indah lewat persahabatan dengan orang-orang yang salih semasa di Hong Kong.

 

[Dikisahkan Sarah Eka Hastuti kepada Anna Ilham-Apakabar Plus]

Advertisement
Advertisement