April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Gempa Bumi dan Tsunami Menjadi Bencana Paling mematikan Sepanjang 2018

4 min read

Fenomena alam yang berujung menjadi bencana menjadi kejadian langganan di Indonesia. Sepanjang 2018, ribuan manusia tercatat menjadi korban dari sederet peristiwa alam seperti gempa bumi, abrasi tsunami, puting beliung, banjir, dan seterusnya.

Catatan Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut jumlah korban meninggal dunia dan hilang akibat bencana alam (per 27 Desember 2018, pukul 08.00 WIB) mencapai 4.773 jiwa. Sementara, pada tahun sebelumnya berjumlah 378 jiwa.

Padahal, jumlah kejadian bencana pada 2018 lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya, yakni 2.532 kejadian berbanding 2.862.

Ada satu kejadian bencana yang tidak terjadi pada 2017 namun muncul pada 2018 dengan kekuatan yang sangat dahsyat, yakni gempa bumi disertai tsunami dan satu fenomena langka: likuifaksi.

Peristiwa ini terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, 29 September 2018. Sekitar 2.200 orang dilaporkan meninggal dunia dan ribuan lainnya menghilang. Peristiwa ini yang kemudian membuat jumlah korban bencana alam pada 2018 melonjak drastis dibanding 2017.

Selain itu, pada tahun ini juga terjadi peristiwa seperti gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang merenggut korban hingga kisaran 321 jiwa.

Begitu juga dengan kejadian erupsi Gunung Anak Krakatau yang menimbulkan tsunami di Selat Sunda, 22 Desember 2018. Sampai Sabtu (28/12/2018), sebanyak 426 jiwa meninggal dunia dari kejadian ini.

Kendati gempa bumi, tsunami, likuifaksi, dan erupsi gunung berapi memakan korban terbanyak, mayoritas bencana yang terjadi pada 2018 didominasi oleh puting beliung dengan 785 kejadian, disusul banjir dengan 667 kejadian, dan tanah longsor sebanyak 446 kejadian.

Berikut beberapa kejadian bencana alam sepanjang 2018 yang paling banyak disorot oleh pemberitaan media.

 

Bencana pada awal dan akhir tahun di Banten

23 Januari 2018. Lebak, Banten, diguncang gempa berkekuatan 6,1 Skala Richter (SR) dengan kedalaman 10 kilometer (km). Gempa yang disinyalir terjadi akibat pergerakan subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempang Eurasia ini turut dirasakan hingga ke DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah.

Catatan tempo.co menyebut 2.760 bangunan rusak, 1 orang meninggal, dan beberapa lainnya luka-luka. Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak adalah daerah yang paling banyak terdapat kerusakan bangunan lantaran posisinya berdekatan dengan pusat gempa.

Berselang 11 bulan kemudian, sekitar 100 km dari Lebak–masih di Provinis Banten–bencana terjadi lagi. Gunung Anak Krakatau bererupsi. Material yang dimuntahkan gunung muda ini menimbulkan longsoran di dasar laut.

Longsoran itu berakibat fatal. Gelombang besar mengayun ke wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan Selat Sunda. Sebagian besar wilayah Lampung Selatan dan wilayah pesisir Banten tersapu tsunami. Sebanyak 426 jiwa melayang (per Sabtu, 28/12/2018), ribuan bangunan hancur, dan puluhan nyawa masih dalam pencarian.

Kengerian di Selat Sunda belum mereda, kendati aktivitasnya telah berhenti sejak Jumat (28/12/2018). Sisa-sisa erupsi masih menyisakan erosi di sekitar permukaan laut.

 

Longsor di hutan produksi Brebes

22 Februari 2018, bencana longsor menimpa warga di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. KOMPAS.com mencatat 14 orang meninggal dunia, 15 orang hilang, dan belasan lain terluka.

Pusat longsor terdapat pada perbukitan hutan produksi Perhutani BKPB Salem Petak 26 PLRPH Babakan. Luas longsor mencapai 16,8 hektare dengan panjang dari mahkota longsoran sampai titik terakhir sekitar 1 km.

Juru bicara BNPB Sutopo Purwo Nugroho memperkirakan material longsoran mencapai 1,5 juta meter kubik. Tanda-tanda longsor, sambung Sutopo, sudah terekam sejak dua pekan sebelum kejadian.

Tanda-tanda yang dimaksud adalah hujan deras yang menimbulkan rembesan-rembesan mata air dari lereng perbukitan di Gununglio, pusat longsoran.

Sejumlah rekaman video yang beredar saat itu, tampak gelombang tanah bergulung ambruk menuruni lereng bukit dan menerjang sawah di bawahnya. Proses evakuasi korban begitu sulit lantaran hujan yang membuat tanah longsoran bertambah bebannya.

 

Gempa yang mematikan pariwisata di Lombok

Juli dan Agustus 2018, Lombok diguncang serangkaian gempa besar berkekuatan dari 6,4 SR hingga 7 SR. Gempa pertama terjadi pada 22 Juli 2018, dengan kekuatan 6,4 SR dengan pusat gempa berada di Lombok Utara. Persis satu pekan kemudian, gempa berkekuatan 7 SR berkedalaman 10 km kembali menghantam Lombok Timur.

Peringatan potensi tsunami sempat dimunculkan BMKG saat gempa pertama, namun kemudian dicabut lantaran indikator yang menyimpulkan potensi itu tak terjadi.

Guncangan besar dengan kekuatan 7 SR kemudian terjadi lagi pada 5 Agustus 2018, kedalaman 10 km berpusat di Lombok Utara.

BNPB menyebut sedikitnya 564 orang mengalami luka-luka, 1.584 terluka, dan 78.062 bangunan rusak dan hancur.

Total kerugian akibat gempa ini cukup besar, hingga kisaran Rp8,8 triliun. Kebutuhan dana rekonstruksi bangunan diperkirakan hingga Rp7 triliun, sementara kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTB hanya Rp5,2 triliun.

Kendati begitu, pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, sudah menyiapkan dana cadangan penanggulangan bencana sebesar Rp4 triliun yang siap dikucurkan sesuai dengan kebutuhan.

 

Fenomena langka di Palu dan Donggala: likuifaksi

Bencana di jantung kota Sulawesi Tengah terjadi pada 28 September 2018. Gempa berkekuatan 7,4 SR menghantam Donggala bagian utara. Gempa memicu tsunami dengan ketinggian 5 meter di pesisir Palu.

Bukan hanya tsunami. Gempa juga memunculkan fenomena langka: likuifaksi. Dua wilayah paling parah dalam peristiwa “tanah menggulung” ini adalah Kelurahan Petobo dan Perumnas Balaroa, di Kota Palu. Keduanya berada di jalur sesar Palu-Koro.

 

Di Petobo, ratusan rumah tertimbun lumpur hitam dengan tinggi 3-5 meter.

Dikutip dari laman Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), likuifaksi merupakan proses ketika tanah non-kohesif berupa pasir dan lanau (tanah berlumpur) yang kehilangan kuat gesernya pada saat mengalami guncangan terutama disebabkan oleh gempa.

Selama diguncang gempa, tanah lebih berlaku sebagai cairan daripada sebagai padatan, sehingga terjadilah likuifaksi yang membahayakan bangunan di atasnya.

Oleh karenanya, lumpur bergerak ke daratan yang lebih rendah dan turut membawa serta bangunan yang berada di atasnya.

Selain di Balaroa, laporan likuifaksi juga terekam di perbatasan Kabupaten Sigi dengan Kota Palu. Ada sekitar 1.747 unit rumah di Balaroa yang tertelan tanah dan sekitar 744 rumah di Petobo.

Total, ada sekitar 2.086 nyawa terenggut, 2.500 orang terluka, lebih dari 75.000 mengungsi, dan 70.000 bangunan rusak dan hancur akibat kombinasi bencana ini.[]

Advertisement
Advertisement