April 16, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

KH Hasyim Asy’ari Memperjuangkan Kemerdekaan dan Persatuan Dari Jombang

7 min read

Proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah dideklarasikan, pada Jumat, 17 Agustus 1945. Butuh banyak hal untuk menjadikan Indonesia sebagai negara. Butuh pula dasar negara nan kokoh untuk mencapai banyak hal tersebut.

Namun, menentukan dasar negara jelas bukan hal mudah. Perbedaan dan perdebatan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) 29 Mei–17 Juli 1945.

Perbedaan dan perdebatan itu mengemuka antara golongan muslim dan nasionalis. Terutama mengenai dasar negara yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Yakni, dasar negara pertama, ‘Ketuhanan Yang Mahaesa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’.

Anggota BPUPK dari golongan muslim gigih menginginkan dasar negara yang pertama seperti tertulis dalam Piagam Jakarta. Sementara, anggota yang nasionalis keberatan dengan substansi penuh dalam piagam. Mereka menginginkan tujuh kata dalam dasar negara pertama itu dihilangkan, ‘… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”.

Perbedaan dan perdebatan itu memberikan inspirasi bagi Sukarno, salah satu anggota BPUPK dari golongan nasionalis. Terbersit dalam benak Sukarno untuk menemui seorang ulama yang dia kenal baik. Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nadhatul Ulama, ada di benak Sukarno.

Proklamator pun lalu mengirimkan beberapa orang untuk menemui Hasyim. Dia meminta penilaian dari Kiai Hasyim untuk menelaah serta memeriksa kebenaran (menashih) apakah dasar negara pertama tersebut sesuai syariat dan nilai-nilai ajaran Islam.

Sukarno cerdik. Pemimpin rombongan pembawa pesan Sukarno saat itu adalah anggota BPUPK juga, Wahid Hasyim, tak lain anak kandung Hasyim Asy’ari. Rombongan, tersebut berangkat dari Jakarta menuju kediaman Hasyim di Jombang.

Wahid Hasyim lalu menyampaikan maksud kedatangan rombongan. Setelah mendengar pesan dari Sukarno, Hasyim tidak langsung memberi jawaban.

Dia paham kemerdekaan adalah keselamatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara, perpecahan menjadi kerusakan. Dasar negara harus mempunyai prinsip untuk menyatukan semua aspek.

Dalam memutuskan dasar negara yang pertama dan keempat dasar negara lain, yang diberi nama Pancasila sudah sesuai syariat Islam atau belum, Hasyim Asy’ari melakukan tirakat.

Tirakat itu dia jalani dengan puasa tiga hari. Selama puasa itu juga ia mengkhatamkan Alquran dan membaca Alfatihah. Setiap membaca Alfatihah dan sampai ayat iya kana’ budu waiya kanasta’in, Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali.

Masa tirakat pun usai. Tibalah Hasyim memanggil anaknya Wahid Hasyim untuk mengatakan hasil pemikiran dan perenungannya tentang Pancasila.

Dia menyatakan, Pancasila sudah benar secara syari. Dia menegaskan, tujuh kata dalam dasar negara pertama di Piagam Jakarta, ‘ … dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, perlu diganti. Dia menegaskan, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sama dengan prinsip tauhid dalam Islam.

Dia juga menyampaikan pada anaknya, ahlusunah sebagai paham menurut NU sangat relevan dengan kondisi Indonesia dan Islam saat itu, saat ini, dan selamanya. Karena Sunni adalah aliran yang berpaham universal dan fleksibel sebagaimana konsep Islam yang dipahami oleh kebanyakan orang yaitu Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Jadi, ahlussunnah bersikap lunak dan lembut terhadap segala sesuatu selama tidak menyentuh akidah. NU sadar bahwa keberadaan Sunni di Indonesia dan dunia terancam oleh kehadiran kelompok dengan aliran radikal, yang akan memberantas budaya lokal yang dianggap bidah.

Menurut dia, negara membutuhkan agama agar negara berjalan dengan etika dan moral. Sebaliknya, agama juga membutuhkan negara. Dengan adanya negara, agama dapat berkembang lebih baik.

Sementara untuk sila kedua hingga sila kelima, Hasyim berpendapat, sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ajaran Islam. Dasar penilaian itu karena ajaran Islam juga mencakup kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.

Jawaban Kiai Hasyim itu diterima Sukarno dan isi sila tersebut disahkan bersamaan dengan penetapan rancangan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Penetapan dilakukan pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, hasilnya Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia dengan sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa.

 

Pemimpin Sejak Kecil

Mohammad Haysim Asy’ari atau yang lebih dikenal dengan Kiai Hasyim Ashari dilahirkan 10 April 1875 di Desa Gedang, Diwek, Jombang, Jawa Timur. Ia adalah putra dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah.

Hasyim lahir sebagai anak ketiga dari 11 bersaudara. Kiai Asy’ari sang ayah adalah seorang pengasuh di Pesantren Keras, Jombang. Lalu kakeknya Kiai Usman juga menjadi pengasuh di Pesantren Gedang, Jombang.

Berdasarkan garis keturunan dari ibunya, Nyai Halimah, Hasyim merupakan keturunan kedelapan Sultan Pajang, Adiwijaya. Dari kakek, ayah, dan ibunya, Hasyim mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.

Sejak kecil sudah diketahui, kecerdasan Hasyim lebih unggul daripada teman-teman sebayanya. Lebih lagi, ia bisa menonjolkan bakat kepemimpinan. Kecerdasan dan kepemimpinan tersebut sudah terlihat saat dirinya berusia 13 tahun. Pada usia belia, ia membantu ayahnya mengajar para santri yang usianya lebih tua darinya.

Memasuki usia 15 tahun Hasyim sudah berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena ini, ia biasa disebut santri kelana. Beberapa pesantren yang pernah ia kunjungi untuk menuntut ilmu adalah; Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan, dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.

Pada saat di Pesantren Sidoarjo, Hasyim yang berusia 21 tahun diambil menantu oleh Kiai Yakub, dan dinikahkan dengan putrinya, Nyai Chadidjah. Hasyim bersama istrinya pun berangkat ke Makkah menunaikan ibadah haji, tidak lama setelah menikah.

Nasib malang mendatangi, selama tujuh bulan di Makkah, istri dan putranya meninggal. Sang Kiai pun pulang ke Tanah Air. Tahun 1893, Hasyim Asy’ari pergi lagi ke Tanah Suci. Selama kurang lebih tujuh tahun ia menetap di Makkah dan berguru pada Syaikh Achmad Khatib Al-Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arabi, Syaikh Said Yamani, dan Syaikh Rahmanullah. Ia juga berguru kepada  Syaikh Sholeh Bafadhal, Sulthan Hasyim Daghestani, Sayyid Abbas Al-Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.

 

Pedagang Andal

Pada 1899, Hasyim Asy’ari pulang ke Indonesia. Ia mengajar di pesantren milik kakeknya, Kiai Usman di Gedang. Dengan waktu yang singkat, santri kelana ini mendirikan pesantrennya sendiri, Tebuireng.

Tidak hanya tinggi ilmu agama, Hasyim adalah petani dan pedagang sukses. Tanah puluhan hektare dimilikinya di Jombang. Ia mengatur jadwal untuk memeriksa sawah miliknya. Dia ambil dua hari dalam sepekan untuk beristirahat dari mengajar. Di sela-sela itulah ia meninjau persawahan miliknya.

Kecerdasan dan pemahaman ilmu Hasyim menjadi magnet yang menarik kiai muda dan santri-santri pelbagai berbagai daerah datang ke pesantrennya untuk menimba ilmu pengetahuan. Para kiai dan santri pun bertambah jumlahnya. Cara pembelajarannya yang diberi keteladanan dalam berpikir, berbicara, bersikap, dan bertindak, menjadi daya tarik.

Saat bulan Ramadan tiba, Hasyim membuka kelas khusus yang materinya membahas Hadis Bukhari dan muslim. Hal itu mengundang banyak lagi ulama dan santri untuk datang. Di antara tokoh ulama yang belajar kepada Hasyim Asy’ari adalah KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R As’ad Syekh Sa’dullah al-Maimani (Mufti Bombay, India).

Selain itu, turut hadir Syekh Umar Hamdan (Ahli Hadits di Makkah), Al-Syihab Ahmad bin Abdullah (ulama Syria), KH R Asnawi Kudus, KH Dahlan Kudus, KH Shaleh Tayu, Brigjend KH Sulam Samsun, Brigjend KH Abdul Manan Wijaya, Kolonel KH Iskandar Sulaiman, Mayor KH Munasir Ali, dan KH Muchid Muzadi.

Diceritakan juga, suatu hari anak dari pemilik pabrik gula Cukir, Jombang jatuh sakit. Segala usaha sudah dilakukan. Banyak dokter pun silih berganti menangani. Namun, kesehatan anak keturunan Belanda tersebut tidak kunjung membaik.

Hasyim coba menghampiri anak itu dan membacakan doa-doa. Atas rezeki dari Tuhan, anak itu sembuh. Sejak saat itu anak pemilik pabrik gula menjadi mustami (pendengar) KH Hasyim. Itu awal mula ia disebut “Hadlratusysyekh” alias guru para ulama.

 

Resolusi Jihad

Tidak hanya berperan dalam menelaah isi Pancasila, Kiai Hasyim juga memiliki pengaruh dalam pertempuran pascakemerdekaan. Beberapa minggu setelah dikumandangkannya proklamasi, Surabaya menjadi salah satu kota yang berperan penting dalam mempertahankan kemerdekaan. Dikutip dari buku KH. Hasyim Asy’ari : Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri, di Surabaya, situasi mulai memanas seiring terjadinya berbagai insiden antara para pejuang dan tentara Jepang, maupun dengan beberapa tentara Belanda yang mulai tinggi hati usai kekalahan Jepang.

Bung Tomo dalam catatannya, Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Perjalanan Seorang Aktor 1 Sejarah, menerangkan pihak Belanda meminta pemimpin Kota Surabaya mengibarkan bendera Triwarna (bendera Belanda) dalam rangka memperingati ulang tahun Ratu Wilhemina. Pengibaran bendera itu terjadi. Namun, pengibaran memicu bentrokan antara Rakyat Surabaya dan serdadu Belanda di Hotel Oranje (Hotel Majapahit).

Tindakan patriot rakyat menyobek warna biru pada bendera triwarna Belanda di tiang atas Hotel Oranje pada 19 September 1945, kemudian menyulut tindakan rakyat yang ingin merebut senjata tentara Jepang, 23 September 1945.

Pertempuran sporadis di berbagai daerah akhirnya membuat Sukarno menanyakan hukum mempertahankan kemerdekaan kepada Hasyim. Dia tegas menjawab, sudah jelas bagi umat Islam untuk melakukan pembelaan terhadap Tanah Air dari ancaman asing.

Sukarno meminta usulan dari Hasyim karena pengaruh dan legitimasi Sang Kiai di hadapan para ulama sangat besar dan strategis. Cara ini juga digunakan Sukarno untuk mempertegas kembali makna mempertahankan bangsa Indonesia yang baru berusia beberapa minggu dalam sudut pandang agama.

Jawaban dari Kiai Hasyim juga menjadi alasan yuridis bagi Sukarno untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di dunia internasional. Sebab Belanda getol melobi negara-negara lain untuk tidak mendukung kemerdekaan Indonesia. Saat itu pihak Belanda menyatakan pemerintahan Indonesia hanya bentukan dari Fasis Jepang yang tidak perlu didukung. Hal tersebut yang membulatkan tekad Sukarno untuk mempertahankan Indonesia yang baru lahir.

Namun dari semua pengaruh Kiai Hasyim saat itu, paling penting adalah pada saat mengeluarkan fatwa jihad pada 17 September 1945. Fatwa tersebut berbunyi, hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan adalah fardu ain bagi tiap-tiap orang Islam.

Kemudian, hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) serta komplotannya adalah mati syahid. Fatwa berikutnya, hukumnya orang yang memecah persatuan Indonesia pada saat itu adalah wajib dibunuh.

Berangkat dari fatwa tersebut para ulama se-Jawa dan Madura mengukuhkan resolusi Jihad dalam rapat yang diadakan 21–22 Oktober 1945 di Kantor Pengurus Besar NU di Bubutan, Surabaya.

Tak perlu lama, Fatwa Resolusi Jihad Fi Sabilillah itu disebarkan melalui masjid, musala, dan dari mulut ke mulut. Lalu atas pertimbangan politik, resolusi jihad ini disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia lewat surat kabar. Surat kabar yang memuat resolusi jihad tersebut yakni Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi 26 Oktober 1945; Antara, 25 Oktober 1945; Berita Indonesia, Djakarta, 27 Oktober 1945.

Pengaruh fatwa jihad tersebut dinilai sangat berdampak. Warga Surabaya yang sudah diultimatum oleh Jenderal Inggris pun malah menunggu pecahnya pertempuran. Sementara kesatuan pejuang lainnya justru berbondong-bondong menuju Surabaya. Semua digerakkan oleh Resolusi Jihad yang dikeluarkan Kiai Haysim Asy’ari.

Pada 23 Juli 1947 terjadi agresi militer Belanda yang pertama ke daerah Jawa Timur. Agresi juga berdampak di Kota Malang tempat Bung Tomo membangun basis bersama anggota TNI dan laskar rakyat.

Jatuhnya kota Malang saat itu membuat sang Hadlratusysyekh shock, jatuh sakit. Tak lama, ajal pun menjemput. KH. Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947 di usia 72 tahun. Tebuireng, Jombang menjadi tempat peristirahatan terakhir kakek dari Presiden RI, Abdurrahman Wahid ini. [GW Piri]

Advertisement
Advertisement