April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Mbah Moen dan Surga yang Berbahasa Arab

2 min read

ApakabarOnline.com – “Ente ngapain jauh-jauh dari Jakarta ke sini.” Itu adalah suara Maimoen Zubair atau dikenal Mbah Moen yang paling kami kenang. Aksen Betawi memikat yang tak pernah kami dengar di televisi atau ceramah-ceramahnya. Terasa dekat.

Pertemuan itu terjadi Mei silam, usai Mbah Moen memimpin salat magrib. Saya dan fotografer diterima di rumahnya, kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah.

Tiga bulan setelah pertemuan itu, kabar duka datang: beliau wafat usai menunaikan salat subuh. Tepatnya pukul 04.30 waktu setempat, Selasa ((6/8/2019), di Rumah Sakit Ann Nur, Makkah.

Jutaan orang yang mencintainya memiliki alasan untuk percaya bahwa Mbah Moen sekarang berada di surga—yang dia katakan memakai bahasa Arab.

Sebab itu, dirinya berkelakar, lebih baik menulis buku berbahasa Arab ketimbang Indonesia. Karyanya yang populer adalah Tarjim Mashyikh al-Ma’hid al-Diniyyah bi Sarang al-Qudam’ dan al-‘Ulam’ al-Mujaddidn yang membahas pembaharuan yang dilakukan para ulama.

Mbah Moen menderita penyakit yang disebutnya penyakit tua. Ia tak mau menyebut penyakitnya apa. Yang jelas, penyakit itu memaksanya menggunakan kursi roda dan batuk-batuk terus. Tiap beberapa menit, orang dekatnya menghampiri. Menawarkan semacam kendi kepadanya untuk mengeluarkan dahak.

“Ini (penyakit) karena saya sudah tua. Mau cari apa lagi?,” ujar pemimpin Pondok Pesantren Al Anwar ini.

Mbah Moen lahir di Sarang, Rembang, 90 tahun silam. Ia merupakan putra dari Kiai Zubair, seorang alim dan faqih. Masa mudanya ia ceritakan dengan antusias. Yang paling diingatnya adalah kehidupannya saat menjadi santri.

Ia bilang menjadi santri itu begitu menyenangkan. Di pesantren, ia bisa full mengaji dan belajar kitab tiap hari. Bahasa Arabnya makin mahir ketika ia pergi haji beberapa kali. “Kan dulu visa haji sampai 1,5 tahun dan naik kapal laut. Sehingga ulama-ulama di sana (Arab) kenal saya, sampai sepuh,” ujarnya.

Sebagai sepuh Partai Persatuan Pembangunan, Mbah Moen telah memainkan peran kunci dalam sejarah politik Indonesia. Dalam banyak hal, ia selalu terlibat. Para politisi akan berbondong-bondong datang kepadanya untuk sekadar mendapatkan doa restu. Termasuk pada tahun politik ini.

Momen yang mengangkat namanya adalah ketika ia selip lidah saat berdoa dan menolak mengeluarkan fatwa pemilu curang yang diminta seseorang. Itu momen membingungkan bagi Mbah Moen dan jadi topik yang agak dihindarinya di depan umum.

Yang akhirnya ia mau bahas dalam percakapan malam itu adalah soal radikalisme. Ia punya pendirian, sesuatu yang terlalu fanatik itu sebaiknya diperangi. “Jangan fanatik terhadap orang atau kelompok, maka hidup akan aman,” tuturnya.

Sepertinya, ada tanda-tanda juga kegelisahan Mbah Moen terhadap sikap orang kepadanya. Itu terlihat ketika ada perempuan menyentuhnya dengan tidak tepat saat minta foto bersama.

“Sudah fotonya ya. Cukup,” ujar Mbah Moen kepada perempuan yang menjadi tamunya malam itu.

Malam itu, Mbah Moen memang kedatangan banyak tamu. Mereka berjalan sambil jongkok kemudian salim kepadanya. Kami pun demikian, sebelum dipersilakan duduk dan dijamu teh botol.

Ia sendiri duduk di kursi yang lebih lebar, yang ada bantal besar untuk bersandar. Ketika diminta untuk merenungkan hidupnya yang hampir seabad, ia cuma mengangkat-angkat alis dan bilang, “banyak ulama yang lebih baik dari saya.” [Heru]

Advertisement
Advertisement