April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Memaknai Emansipasi

4 min read

Diskursus emansipasi wanita telah lama menjadi perbincangan. Bahkan, perdebatan di kalangan umat Islam selama berabad-abad. Pertanyaannya, apakah emansipasi telah dipahami benar oleh umat Islam?

Pasalnya, seringkali orang berbicara tentang sesuatu yang tidak ia pahami secara komprehensif sehingga terkadang terjebak dalam “an–naasu a’daa–u maa jahiluu”.

Emansipasi berasal dari kata emancipation artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Konon di zaman Romawi dahulu membebaskan seorang anak yang belum dewasa dari kekuasaan orangtua sama halnya dengan mengangkat hak derajatnya.

Sejarah kemunculannya dimulai semenjak abad ke-14 M. Di mana tujuan gerakan ini adalah diperolehnya persamaan hak dan kebebasan seperti kaum laki-laki. Kesejajaran meliputi segala aspek kehidupan baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan, perekonomian maupun pemerintahan, bahkan akhir-kahir ini merambah bidang peribadatan. Sehingga muncul tokoh kontroversial di Amerika bernama Aminah Wadud yang menjadi imam dalam sebuah shalat Jumat dengan makmum mayoritas laki-laki.

Dewasa ini kata emansipasi tidak lagi akrab di telinga kita karena ada pergeseran istilah menjadi kesetaraan gender.

Usaha untuk menyosialisasikan biasanya disebut pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Sebenarnya kedua istilah ini relatif sama, hanya bungkusnya saja yang berbeda.

Bahkan lebih dari itu, di kalangan penggiat gender, istilah wanita sendiri berusaha mereka hindari. Pasalnya, kata wanita berasal dari wani ditata (berani, bisa ditata -Bahasa Jawa-), yang konotasinya peran wanita sebagai pendamping suami yang taat dan pengabdi serta menjadi ratu di rumah tangganya. Jelas hal ini sangat bertentangan dengan misi yang

mereka usung, karena istilah tersebut mengandung unsur domestifikasi dan sub-ordinasi terhadap wanita.

Mereka lebih cenderung menggunakan istilah perempuan dibanding wanita, hal ini karena ia berasal dari pengggalan ”per-empuan”, yang konotasinya lebih bermakna orang yang mempunyai karakter yang mandiri.

Sebenarnya al-Qur’an telah berbicara tentang kesetaraan empat belas abad lalu. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 97: ”Barangsiapa yang melakukan amal kebajikan baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami akan karuniakan kepadanya kehidupan yang baik”.

Di ayat yang lain Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia–nyiakan amal orangorang yang beramal di antara kamu, baik laki–laki maupun perempuan “ (Ali Imran: 195).  Artinya bahwa Islam tidak melarang semangat kesetaraan senyampang sejalan dengan spirit yang diusung oleh Allah dan Rasul-Nya. Bukan kesetaraan yang membabi-buta, kesetaraan yang bersifat subyektif otoritatif yaitu kesetaraan yang dibangun di atas fondasi penafsiran terhadap teks-teks suci secara membabi-buta sesuai dengan hawa nafsunya sendiri.

Bahkan yang sangat disayangkan penafsiran yang digunakan berdasar metode yang diadopsi mentah-mentah dari Barat (Hermeunetika).

Realitas problematika kehidupan yang semakin kompleks memang merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri, artinya permasalahan yang dihadapi masyarakat di zaman Rasulullah SAW dahulu dengan sekarang relatif berbeda. Sehingga hal ini memicu perbedaan memahami teks al-Qur’an maupun Hadis terutama yang bersinggungan dengan kesetaraan gender, yang kemudian memunculkan diskursus tekstual dan kontekstual, namun sekali lagi ketika yang menjadi sandaran adalah hawa nafsu maka jauh-jauh Allah telah mengingatkan orang yang mengikuti hawa nafsunya di berbagai firman-Nya.

Seharusnya kita tidak boleh menutup mata terhadap realitas yang terjadi di tengah masyarakat sebagai harga mahal yang harus ditebus di saat terlalu longgarnya pranata kesetaraan ketika ia diterapkan. Suatu contoh, ketika wanita banyak yang menjadi TKW, ternyata memicu berbagai ekses negatif yang tidak sedikit, antara lain tingginya angka perceraian, perselingkuhan, anak-anak yang telantar, konflik keluarga, angka kekerasan terhadap PRT dan sebagainya.

Sementara di sisi lain, data yang dilansir tahun 1995 menyatakan, dibanding pria, wanita lebih banyak mengalami masalah kesehatan jiwa, antara lain karena wanita lebih cepat bereaksi terhadap kondisi yang dapat menimbulkan stres daripada pria. Hal ini bukan berarti dalam Islam wanita sama sekali tidak boleh bekerja, ada kelonggaran-kelonggaran tertentu yang diberikan syara’ kepada wanita untuk bekerja, namun sekali lagi porsi dan proporsi tetap menjadi acuan utama.

Islam menghendaki pola interaksi antara laki-laki dan perempuan tetap pada koridor dan batasan yang telah ditetapkan oleh syara’, sehingga tidak terjadi “ketidak-adilan” di antara mereka. Maksudnya adalah seluruh tindakan, perbuatan, sikap, perilaku didasarkan atas kodrat dan ketentuannya masing-masing. Suatu contoh, banyak kita jumpai hadis-hadis yang menekankan agar seorang istri menaati suaminya secara totalitas, namun di sisi lain al-Qur’an juga menyuruh dan memerintahkan agar suami berlaku adil dan berbuat baik kepada wanita.

Demikian kiranya bahwa segala sesuatu jika berlebihan maka pasti ada pihak yang dirugikan. Demikian halnya, jika suatu hak bila tidak terpenuhi, maka akan terjadi sebuah ketimpangan.

Sebuah kata-kata bijak berikut ini mudah-mudahan bisa memberi inspirasi kepada kita bahwa kesetaraan ataupun emansipasi bisa dibangun di atas azas-azas proporsionalitas, “Wanita tidak diciptakan dari tulang kepala laki–laki sehingga menindas lelaki, ia juga tidak diciptakan dari tulang kaki laki–laki sehingga ia diinjak–injak lelaki, namun ia diciptakan dari tulang rusuk lelaki sehingga ia menjadi pendamping bagi lelaki”.[]

 

Penulis : KH Syamsul Hadi Abdan, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor

Sumber : Gontor News

Advertisement
Advertisement