April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Viral Beda Pandangan Tentang Pilpres, Subaidi Tewas Ditembak Idris, Begini Hasil Investigasinya

7 min read

SAMPANG – Dahlan tengah bersiap melangkah ke kamar mandi untuk berwudu ketika suara letusan sampai ke telinganya di sekitar waktu zuhur, Rabu (21/11/2018).

Pria berusia 50 itu cuma bisa membatin: Siapa bermain mercon di siang bolong?

Namun, tak berselang lama, telepon Dahlan berdering. Si penelepon merupakan tetangganya dari dusun sebelah. Dahlan tinggal di Dusun Arongan Timor. Si penelepon warga Dusun Gimbuk. Dua dusun ini bagian dari Desa Sokobanah Laok, Kecamatan Sokobanah, Kabupaten Sampang, Jawa Timur.

“Cepat kamu ke sini, ada orang terluka, katanya ditembak,” begitu Dahlan menirukan suara sang penelepon, Minggu (2/12/2018).

Mendengar kabar demikian, Dahlan urung ke kamar mandi. Dia pakai lagi baju yang sudah dilepaskan, bergegas menstarter sepeda motornya, dan tancap gas menuju Dusun Gimbuk yang hanya berjarak 150 meter dari rumahnya.

Beda Pandangan Tentang Pilpres, Subaidi Tewas Ditembak Idris, Siapa Diuntungkan ?

Usai melewati sebuah jembatan cor–penanda wilayah Arongan dan Gimbuk–Dahlan melihat ada orang tergeletak di bawah pohon nangka. Sendirian. Posisinya melintang jalan.

Sosok dimaksud Subaidi. Seorang tukang gigi. Dia warga Desa Tamberu Dejeh, juga anggota panitia pemungutan suara Kecamatan Sokobanah. Namanya sempat jadi perhatian nasional setelah di belakang hari ketahuan tewas ditembak.

Sebenarnya, 10 meter dari posisi Subaidi terkapar berdiri dua rumah. Satu rumah tembokan nan tak berpenghuni. Satu lagi rumah gubuk berpenghuni. Orang yang mendiami gubuk itu yang pertama kali melihat Subaidi, dan lalu menelepon Dahlan.

Tetapi, sebelum Dahlan tiba, orang tersebut tak berani mendekati Subaidi. Dia dan warga lain baru berdatangan dan berkerumun setelah Dahlan menghampiri Subaidi dan menanyakan peristiwa yang baru dialaminya. Dahlan lalu mengulang dialognya dengan Subaidi kepada saya.

“Kamu ini kenapa?” tanya Dahlan

“Saya ditembak,” jawab Subaidi.

“Kok bisa sampai ditembak?” Dahlan melanjutkan.

“Saya ditembak karena membela guru. Saya dijebak,” ujar Subaidi.

“Siapa yang menembak?” desak Dahlan.

“Idris,” kata Subaidi.

“Idris mana?”

“Idris Klompang. Dia wartawan,” jawab Subaidi.

“Siapa namamu?”

“Subaidi, orang Tamberu Dejeh”.

Klompang di situ mengacu nama sebuah dusun di Kecamatan Sokobanah. Setelah Subaidi menyebutkan identitasnya kepada Dahlan, dia kembali mengatakan sesuatu. Tetapi, kali ini agak panjang. “Saya minta tolong, takut keburu mati, wasiatkan kepada keluarga saya bahwa yang menembak saya Idris,” katanya sebagaimana direka-ulang oleh Dahlan.

Setelah mendengar wasiat dari Subaidi, Dahlan langsung menuju ke rumah kepala desa (kades). Memberi tahu ada orang tertembak. Sang kades pun meluncur ke lokasi.

Pemuka desa itu kemudian memerintahkan agar Subaidi secepatnya dibawa ke Puskesmas Sokobanah. Dahlan pun mencari kendaraan. Dia hanya dapat pikap L300 putih. Dengan kendaraan itu, Subaidi dilarikan ke puskesmas.

“Subaidi itu orang ikhlas. Selama perjalanan tak mengeluh. Kalau tak ditanya, tidak bicara. Waktu dibawa ke puskesmas, hanya minta satu hal, agar bantalnya ditinggikan, agar tidak sulit bernafas,” ujar Dahlan.

Dahlan juga bercerita, sebelum Subaidi dibawa ke puskesmas, saat mulai banyak orang berkerumun. muncul beberapa pemuda dan mengira Subaidi korban tabrak lari.

Sebab, kata Dahlan, para pemuda itu bilang sebuah sepeda motor roboh sekitar 300 meter dari posisi Subaidi tergeletak. Mesinnya tetap menyala.

Setelah ditengok, motor itu milik Subaidi. Terbengkalai pas di perbatasan Desa Sokobanah Laok dan Sokobanah Dejeh. Namun, jika melihat posisinya, motor itu sudah masuk wilayah Dusun Lentean, Desa Sokobanah Dejeh.

“Jadi lokasi penembakan masuk Sokobanah Dejeh,” kata Dahlan.

Saya sempat ke tempat itu. Menyusuri jalan yang dilewati Subaidi sebelum ditembak. Lokasinya terpencil sekali. Jalan masih tanah. Terjal dan curam. Di kanan-kiri beraneka tanaman: jati, bambu, pisang, jagung.

Kata Dahlan, mulai dari lokasi penembakan sampai Subaidi ditemukan tergeletak, tak ada tetesan darah sama sekali. Dan Subaidi masih sangat sadar. Bicaranya sangat jelas.

Dahlan juga mengatakan, Subaidi membawa pisau. Ketika pertama kali mendekati Subaidi, ia melihat ada pisau terselip di pinggangnya. Lengkap dengan sarungnya.

“Pisau utuh, masih terselip di pinggang,” ujar dia.

 

Mantan santri

Subaidi pernah menjadi santri. Ia alumnus Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Bata-bata, Kabupaten Pamekasan. Lulus pada 2006.

Waktu saya menyambangi rumahnya pada Minggu (2/12/2018), saya diantar oleh rekan-rekannya sesama alumni Bata-bata.

Tahlilan tidak digelar di rumah orang tua Subaidi, di Dusun Bliker, Desa Tamberu Dejeh, Kecamatan Sokobanah. Melainkan di rumah istrinya, Nur Faizah, Kampung Pandian Laok, Desa Tamberu Timur, Kecamatan Sokobanah.

Pekarangan rumah itu cukup luas. Rumah utama di belakang. Lahan yang mestinya jadi halaman, dijadikan dapur sekaligus warung. Ada pula toko sangkar burung di sampingnya.

Di toko itu saya bertemu dan mengobrol dengan Nur Faizah. Dia ditemani ayahnya, Bahruji. Tak lama, datang Hasyim, ayah kandung Subaidi.

Di tengah wawancara, dari pintu belakang toko, terlihat seorang bocah laki-laki. Postur tinggi, badan gemuk. “Itu anak saya, anak almarhum,” kata Faizah.

Dia Memet. Usianya 7. Baru duduk di kelas 1 SD. Kata Faizah, Memet sudah mengerti bahwa ayahnya telah tiada. Tetapi, dia terkadang masih bertanya kepada Faizah kapan ayahnya kembali.

Faizah merasa, Memet lebih tegar darinya. Bila Faizah menangis teringat almarhum, Memet datang dan menenangkannya. “Ummi jangan nangis. Abi pasti tidak suka kalau ummi nangis,” kata Faizah menirukan perkataan sang putra.

Subaidi dan Faizah sudah 10 tahun menikah. Faizah mengenangnya sebagai sosok pendiam dan sabar. Bila berselisih dengan istri, Subaidi kerap mengalah. Dia bakal ke luar rumah agar cekcok tak berkepanjangan.

Sore atau malam harinya, baru Subaidi kembali dan menggoda Faizah. “Sudahkah yang marah,” ujar Faizah.

Bahruji membenarkan menantunya itu sangat pendiam. Mereka nyaris tak pernah berbincang berdua. Keduanya hanya bertegur sapa seperlunya.

Hasyim pun tak membantah kalau anaknya pendiam. “Kalau tak di telepon, jarang sekali nelepon. Biasanya ibunya kerap nelepon duluan, kalau sudah kangen,” katanya.

Meski begitu, Subaidi pekerja keras. Sebelum menekuni profesi tukang gigi–dan belakangan jadi anggota PPS Sokobanah–Subaidi cukup lama bekerja serabutan untuk membiayai keluarganya. Dia pernah jadi kuli bangunan, buruh di pabrik air, hingga bekerja memasang tenda acara pernikahan.

Baru setahun belakangan Subaidi mereparasi gigi. Dia belajar ilmu itu di Kota Malang dan buka praktik di sana. Dalam sekali sebulan, biasanya dia pulang untuk menjenguk anak dan istrinya.

“Berangkat pertama kali bulan maulid tahun lalu. Dan meninggal bulan maulid tahun ini, pas setahun,” tutur Faizah.

 

Awal mula petaka

Subaidi punya akun Facebook. Dia pakai nama Ahmed Alfateh. Facebook mencatat akun ini didaftarkan pada November 2017. Hingga kini jumlah temannya 1.077.

Pada linimasa akun itu, Subaidi tak pernah memasang konten apa pun terkait urusan Pemilihan Umum Presiden. Pun konten video tentang Idris, sebagaimana diakui Idris kepada polisi–yang banyak dinukil media massa.

Malahan, dia paling rajin gonta-ganti foto profil. Atau pula promosi jasa pembersihan gigi, sesuai profesi yang dilakoninya. Kalau pun ada muatan tentang Pilpres di laman Facebook-nya, dia membatasinya untuk kawan-kawan mayanya.

Sebaliknya dengan Idris. Dia punya akun Facebook dengan nama Idris Afandi Afandi. Dia sering memposting semua hal terkait Presiden Joko Widodo. Juga kerap menyindir Prabowo Subianto atau para pendukungnya.

Idris kerap memakai kata-kata kasar. Bila emosional, dia bahkan sanggup menantang berkelahi dan mencantumkan nomor telepon selulernya di kolom komentar.

Salah satu yang disambar Idris dalam perang komentar di Facebook adalah Kiai Tohir, seorang pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum, Batabata. Para santri dan alumninya tak terima guru mereka diperlakukan seperti itu. Salah satunya, Subaidi alias Ahmed Alfateh.

Salim Segaf, Juru Bicara Ikatan Alumni Mambaul Ulum Batabata (IKABA) mengatakan bentuk sikap tak terima Subaidi adalah teguran langsung terhadap Idris. Teguran itu rupanya membuat Idris sakit hati dan kemudian merencanakan pembunuhan.

“Jadi, kasus ini tidak ada kaitannya dengan Pilpres. Subaidi murni membela guru dan kiainya yang dihina dan dilecehkan. Hanya sebatas itu porsi Subaidi,” kata Salim.

Faizah, istri Subaidi, mengatakan setelah menegur Idris, suaminya acap kali mendapat ancaman lewat pesan WhatsApp dari nomor asing. Dia yakin si pengancam adalah Idris. “Masih tersimpan ancamannya,” ujar Faizah.

Idris rupanya telah merancang penembakan. Saat masih di Malang, Subaidi sering ditelepon oleh seseorang yang bermaksud memasang behel gigi. Orang itu juga tak jarang menanyakan hari kepulangan Subaidi ke Sampang.

18 November 2018, Subaidi akhirnya pulang. Si penelepon kembali menanyakan kapan bisa memasang behel gigi. Subaidi meminggirkan rasa curiga. Dia akhirnya menyanggupi datang pada 21 November.

Menurut Faizah, suaminya sempat pamit untuk memasang kawat gigi di Sokobanah Laok. Ketika Subaidi sampai di perbatasan desa Sokobanah Laok dan Sokobanah Dejeh, Idris mencegat dan menembaknya.

Lokasi penembakan memang sepi. Karena itu, mungkin Subaidi terpaksa berjalan demi mencari pertolongan. Dia baru menemukan satu rumah setelah berjalan sejauh 300 meter dari tempat kejadian perkara.

Langkahnya lantas terhenti di bawah pohon nangka.

Faizah juga bilang bahwa suaminya masih sempat menelepon dan memberitahunya bahwa dia telah ditembak Idris.

Mendengar itu, Faizah panik, tapi bingung harus berbuat apa. Dia memberitahu mertuanya dan hendak menyusul. Lalu, seorang saudaranya meneleponnya dan menyarankan agar Faizah tak perlu menyusul. Sebab, Subaidi sudah dibawa ke puskesmas.

“Di puskesmas, dia masih sangat sadar, semua masih diceritakan bahwa dia dijebak. Bahwa yang nembak Idris,” kata Faizah.

Setiba di Puskesmas, Subaidi dirujuk ke RSUD Slamet Martodirdjo, Pamekasan. Petangnya, dia kembali direkomendasikan ke rumah sakit lain. Kali ini RS dr. Soetomo, Surabaya.

Pada Kamis (22/11) dini hari, kata Faizah, dokter bilang kondisi suaminya kritis, bernafasnya dibantu alat, namun denyut nadi masih ada.

“Saya masuk, saya bacakan salawat Fatih tiga kali. Matanya saya lihat menangis, lalu pergi. Itu isyarat ingin mati setelah dibacakan salawat,” kata Faizah dengan mata berkaca-kaca.

 

Bukan senjata rakitan

Di Sampang, beberapa jam sebelum Subaidi mati, Idris diringkus Tim Buser dan Reskrim Polres Sampang. Dia dicokok di Kecamatan Karang Penang saat akan kabur ke Kabupaten Pamekasan.

Semula, Idris mengaku tak sengaja berpapasan dengan Subaidi. Mereka lantas berkelahi, dan terjadilah penembakan itu. Idris bilang Subaidi ditembak dengan pistol rakitan.

Namun, penyidik menafikannya. Dibantu tim labfor dan Gegana Polda Jatim, mereka melakukan olah TKP. Dua kali. Lalu ada temuan baru. Selongsong yang ditemukan bukan satu, tapi dua. Dan jenisnya berbeda.

Atas temuan itu, Idris diinterogasi lagi. Kini, dia tak berkutik dan mengaku saat kejadian itu dirinya memang membawa dua pistol: satunya rakitan, satunya lagi Beretta, pistol pabrikan Italia, kaliber 9 milimeter. Pistol Baretta itu yang ditembakkan ke Subaidi.

Kemudian terbongkar kebohongan Idris yang lain. Semula dia mengaku tak sengaja berpapasan dengan Subaidi. Padahal, seperti dikabarkan Suara.com, Idris menelepon Subaidi dan berpura-pura hendak menjadi calon pasien. Subaidi lalu diarahkan lewat jalan yang berujung di lokasi penembakan.

Karena itu, Idris kemungkinan bakal dikenai pasal pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup.

“Kami akan terus mengawal kasus ini dan kami percaya polisi akan mengusutnya secara profesional,” kata Salim Segaf.[Mustofa]

Advertisement
Advertisement