April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Berinvestasi yang Tidak Berliterasi

8 min read

JAKARTA – Baru-baru ini sektor keuangan Tanah Air dihebohkan dengan kabar kerugian investasi sejumlah orang dari kaum milenial yang mempercayakan dananya ke sebuah perencana finansial atau financial planner, PT Jouska Finansial Indonesia.

Sontak, Jouska yang moncer di sosial media, menjadi perbincangan hangat. Segala hal diulas. Nilai kerugian hingga berbagai unggahan sebelumnya diungkap, hingga kenyataan Jouska bukanlah manajemen investasi atau MI, yang bisa mengelola uang klien secara langsung.

Bahkan, dari pertemuan yang digelar Satgas Waspada Investasi dan Jouska, Jumat (24/07/2020), terkuak izin usaha yang dimiliki Jouska adalah kegiatan jasa pendidikan lainnya.

Lantaran tidak memiliki izin sebagai MI atau entitas pelaku industri keuangan, maka sejatinya Jouska juga tidak mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dan, berada di luar pengawasan OJK. Setidaknya, itu yang diluruskan Juru bicara OJK Sekar Putih Djarot kepada Validnews, Senin (03/08/2020).

Sekar menyebutkan, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, wewenang dan tugas lembaga tersebut adalah mengawasi Lembaga Jasa Keuangan atau LJK, di industri keuangan. Sasaran pengawasan adalah sektor pasar modal dan perbankan. Juga, asuransi, dana pensiun, dan perusahaan pembiayaan.

“Perusahaan atau pihak yang melakukan penawaran investasi ilegal hampir sebagian besar bukanlah LJK sehingga perusahaan atau pihak tersebut tidak terdaftar dan diawasi oleh OJK,” jelas dia.

Dengan begitu, OJK, menurutnya tidak dapat memastikan aspek legalitas dari perusahaan tersebut.

 

Penyebab Investasi Merugi

Berkaca dari kasus Jouska, President Asosiasi Perencana Keuangan Terdaftar (IARFC) Indonesia Aidil Akbar Madjid menilai literasi dan inklusi keuangan di tingkat masyarakat menyebabkan kasus investasi terus berulang.

Kasus Jouska menjadi salah satu bukti. Bahwa masih ada masyarakat yang tidak bisa membedakan financial planner dan manajemen investasi. Padahal secara khusus keduanya memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda.

Jika financial planner hanya membantu menyusun rencana keuangan, sedangkan manajemen investasi bisa mengelola dana.

Selain pelanggaran kode etik, ia memandang, Jouska juga berpotensi terjerat undang-undang pasar modal karena melaksanakan kegiatan pengelolaan dan trading tanpa izin.

“Kejadian yang menimpa Jouska tergolong extraordinary karena melangkahi aturan yang tidak semestinya dilakukan sebagai financial planner,” sambungnya.

Secara umum, ujar Aidil, inklusi keuangan yang rendah terjadi pada seluruh kelompok usia di tingkat nasional. Kendati, pada kasus terbaru, proposal korban didominasi oleh kalangan milenial yang secara logika lebih giat mencari informasi di jejaring sosial.

Ia memandang perilaku milenial yang menyukai hal serba instan dan tidak mau repot dapat mengaburkan logika berpikir, termasuk di sisi keuangan. Kecanggihan yang dapat diakses milenial, menurut Aidil, seharusnya bisa dimaksimalkan untuk melakukan riset awal dengan mengecek latar belakang dan track record perencana keuangan.

Karena itu, kasus Jouska, menjadi bukti upaya masyarakat menyaring informasi yang berseliweran di dunia maya yang belum maksimal.

“Sehingga akhirnya menelan mentah-mentah apa yang hadir di internet,” imbuhnya.

Banyaknya korban investasi bodong dan pinjaman online ilegal menjadi tolok ukur lain literasi finansial masyarakat yang rendah. “Maka harus ada kampanye masif tentang investasi,” katanya.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing menilai, penyebab penjaringan investasi ilegal bukan hanya karena literasi keuangan yang masih rendah di kalangan masyarakat.

Dia menilai sosialisasi sudah cukup optimal. Yang jadi soal juga karena masyarakat masih mudah tergiur dengan imbal hasil tinggi, menurutnya.

Senada, Analis Saham dan Pasar Modal Satrio Utomo menilai bahwa generasi milenial sudah cukup terliterasi tentang investasi secara mendasar. Konsep dasar yang sudah dimengerti sejumlah milenial, menurutnya, mencakup informasi tentang trading yang berarti investor melakukan posisi-posisi atau mencari keuntungan jangka pendek. Sementara pengertian investasi berarti membeli jangka panjang pada saham yang fundamentalnya bagus.

“Itu kan konsep dasar permainan di pasar modal,” sebut Satrio.

Meski mengerti konsep dasarnya, Satrio menilai, milenial kemudian kerap lengah saat menjalani aktivitas investasi di pasar modal. Contohnya, seperti tidak lekas menjual saham saat tren harga berubah dari naik menjadi turun.

Kesalahan selanjutnya adalah orang yang berinvestasi menggunakan margin. Yakni membeli saham untuk jangka panjang menggunakan utang dari perusahaan sekuritas.

Biasanya, ungkap Satrio, saat harga saham tiba-tiba jatuh, sekuritas akan melakukan forced sale sehingga investasi orang tersebut hilang.

Ketiga, kesalahan orang berinvestasi dengan membeli saham yang tidak memilki fundamental bagus. “Itu sumber kesalahan juga. Nah ini yang dilakukan Jouska kan itu sebenarnya. Jadi dia beli saham yang sebetulnya fundamentalnya tidak terlalu bagus,” tukasnya.

Diakui Satrio, saat ini banyak milenial yang menyerap informasi tentang investasi dari sosial media. Setali tiga uang, orang-orang yang menyediakan konten informasi investasi pada media sosial juga semakin banyak. Sayangnya, si pembuat konten belum tentu memiliki kapabilitas atau pengetahuan yang tepat tentang sektor pasar modal.

 

Literasi Sumber Ketiga

Kebiasaan kaum milenial dalam mencari informasi tentang investasi dari sumber ketiga yakni media sosial, salah satunya dilakukan oleh seorang pekerja media, Singgih Aprilian (25).

Pembeli Obligasi Ritel Indonesia (ORI) ini mengaku lebih banyak mencari dan mendapat informasi seputar investasi dari akun-akun media sosial non-pemerintah pada kanal Twitter dan Instagram.

“Contohnya informasi ORI kemarin saja, gue taunya dari salah satu akun finansial di twitter,” ujar Singgih kepada Validnews, Senin (03/08/2020).

Pertimbangannya, menurut Singgih, informasi investasi di media sosial lebih mudah diakses dengan cara penyampaian atau isi konten yang mudah dimengerti.

Cara ia mencari informasi investasi dari sosial media pun, dianggap cukup untuk meyakinkan diri melangkah ke dunia investasi. Hingga Singgih menganggap, literasi yang ia miliki sudah bisa meminimalkan ketakutannya dalam berinvestasi.

“Takut sama risiko sih ada. Tapi kan balik lagi ke diri masing-masing, sejauh mana bisa toleransi sama risiko dari instrumen investasi yang dipilih,” akunya.

Pria yang memulai peruntungan pada dunia investasi sejak Januari 2020 ini memilih investasi saham karena menganggap wahana tersebut cukup likuid dan pas dengan tujuan investasinya.

“Gue pengin pas tua nanti gue bebas finansial. Dan itu bukan hal yang bisa dicapai seminggu dua minggu. Ya mau enggak mau harus dicicil mulai dari sekarang,” tukas Singgih menjelaskan tujuan berinvestasinya.

Milenial lainnya yang juga sudah melek investasi pada usia dini, yakni Ekki Endah Safitri (24) mengaku telah mendapat literasi investasi dari bangku kuliah. Namun, ia tak menampik bahwa literasi lanjutan tentang investasi diakses melalui artikel di website dan Instagram dari financial advisory, serta bertanya kepada rekan yang bekerja di bidang tersebut.

Pegawai swasta yang sudah mulai berinvestasi sejak awal 2019 ini memulai pengalaman investasinya melalui deposito, yang kemudian berlanjut ke reksadana yang dinilai lebih menguntungkan.

Namun, Endah lugas menjelaskan bahwa ia telah mengenal karakteristik masing-masing sarana investasi yang ia jalani. Secara umum investasi di reksadana memberikan keuntungan yang lebih besar daripada di deposito, namun besarnya keuntungan ini juga disertai dengan adanya risiko kerugian. “Jadi high risk-high return,” ujar perempuan yang tujuan investasinya untuk menambah passive income tersebut.

Berdasarkan pengalaman investasi di dua instrumen berbeda tersebut, Endah kemudian menyadari kecenderungan profil risikonya ternyata risk averse alias menghindari risiko.

Setelah memahami profil risikonya, ia kemudian mencari alternatif investasi, di instrumen SBN Ritel.

Sebagai milenial yang melek investasi, ia pun menilai bahwa pemerintah dan penyelenggara investasi sudah cukup persuasif dalam mendorong literasi kalangan muda untuk mulai berinvetasi. Namun informasi untuk meliterasi kaum milenial, ia anggap belum terlalu lengkap. Jadi, investor muda harus mandiri mencari informasi tambahan lain dan mempelajari lebih spesifik instrumen investasi yang akan dipilih.

 

Literasi Pasar Modal

Literasi dan inklusi keuangan pasar modal yang rendah bukanlah sekadar pendapat sejumlah pihak. OJK mencatat, hingga 2019 persentase literasi keuangan pada sektor pasar modal baru menyentuh angka 4,92%. Jauh di bawah indeks literasi keuangan sektor perbankan yang memperoleh hasil survei 36,12% pada tahun yang sama.

Indeks literasi keuangan sektor pasar modal yang mencakup pemahaman itu pun tercatat naik tipis setiap 3 tahun. Lantaran survei ini, OJK selenggarakan hanya 3 tahun sekali.

Dari tahun 2013, literasi keuangan sektor pasar modal tercatat hanya 3,79%. Kemudian naik menjadi 4,4% pada 2016 dan menyentuh angka 4,92%. Artinya, kenaikan literasi keuangan pasar modal di masyarakat pada 3 tahun terakhir hanya naik 0,52%

Sementara inklusi keuangan sektor pasar modal, menunjukkan angka yang lebih kecil lagi. Pada 2019, indeks inkluasi keuangan tercatat baru di level 1,55%, dari 1,3% pada 2016. Sedangkan hasil Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLIK) 2013 menunjukkan, inklusi keuangan pasar modal baru terpenuhi 0,11%.

Hasil survei menunjukkan, butuh waktu 6 tahun untuk meningkatkan inklusi keuangan pasar modal setara 1,44% di Indonesia.

Perlu dipahami, OJK mendefinisikan inklusi keuangan sebagai ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk, dan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Artinya, kondisi ketersediaan akses lembaga, produk, dan jasa keuangan di sektor pasar modal terpaut jauh hingga 72,33% dibandingkan sektor perbankan. Mengingat sektor ini, telah mencatatkan tingkat inklusi paling tinggi dibandingkan sektor jasa keuangan lainnya, dengan hasil survei mencapai 73,88% pada 2019.

Dari SNLIK 2016, OJK mencatat, hanya 36,02% masyarakat yang menyatakan memiliki kemampuan menghitung bunga, angsuran, hasil investasi, biaya penggunaan produk, denda, dan inflasi.

Dari jumlah tersebut, responden yang mengaku dapat menghitung hasil investasi hanya ada 9,67%. Meski pada hasil survei yang sama, ada sebanyak 62,65% responden yang mengaku memiliki pemahaman mengenai konsep investasi dan risiko.

Pada periode survei yang sama, Sekar menyebut bahwa milenial (usia 18–35 tahun) memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan yang relatif lebih tinggi, dibandingkan kelompok usia lainnya maupun secara nasional.

Rinciannya, masyarakat berusia 18–25 tahun yang sudah terliterasi sebesar 32,1% dan usia 26–35 tahun 33,5%. Sementara, tingkat inklusi keuangan masyarakat berusia 18–25 tahun sebesar 70,0% dan usia 26-35 tahun 68,4%.

Rendahnya literasi dan inklusi investasi juga diamini Kepala Divisi Operasional Indonesia Securities Investor Protection Fund (SIPF) Muhammad Arif.

Ia mengetahui bahwa tingkat literasi dan inklusi sektor pasar modal merupakan yang paling kecil dibandingkan sektor keuangan lainnya.

“Tapi ya saya pikir itu justru suatu peluang untuk pasar modal meraih lebih banyak market. So far sih enggak cuma dari milenial, tapi secara umum di pasar modal inklusi maupun literasinya masih yang paling kecil,” aku Arif kepada Validnews, Senin (3/8).

Ia pun menyarankan milenial yang menjadi investor pemula untuk mempelajari investasi dan pasar modal secara mendalam sebelum benar-benar berinvestasi.

“The best investment ya invest in yourself dulu. Jadi, milenial yang ingin berinvestasi, saran saya adalah invest di pengetahuan dulu,” tegasnya.

 

Pencegahan

Mencegah kasus Jouska terulang, OJK mengklaim pihaknya telah menjalankan dua strategi yakni langkah preventif dan represif.

Secara represif, OJK mengaku telah berupaya melakukan koordinasi antarinstansi untuk mempercepat proses penanganan melalui kerangka kerja sama dengan Satgas Waspada Investasi (SWI).

Aidil menyarankan, masyarakat lebih berperan aktif menginformasikan kepada otoritas tentang kejanggalan fenomena keuangan di sekitarnya. Otoritas terkait semacam SWI pun diminta untuk meningkatkan sosialisasi dan informasi keuangan untuk masyarakat.

Sebagai asosiasi, Aidil menyebutkan, IARFC juga sedang merumuskan gugus tugas khusus untuk membuat daftar kasus dan rekam jejak profesi keuangan, terutama profesi perencana keuangan.

“Jadi kita akan bekerja sama untuk membuat daftar dan rekam jejak profesi keuangan yang pernah bermasalah dan berkasus. Paling tidak, ini bisa menjadi jendela untuk calon investor,” ujarnya.

 

Potensi Investor Milenial

Upaya tersebut, perlu dilakukan mengingat investor mandiri berpotensi besar dalam pembangunan nasional di masa depan. Terlihat dari penjualan SBR ORI 017 rata-rata dibeli kalangan milenial berusia 24–45 tahun di atas 40%.

Hal tersebut bisa dilakukan melalui pentahapan yang wajar dilalui oleh investor pemula. Pentahapan dapat meminimalkan investor kapok berinvestasi, karena kesalahan yang dibuatnya.

Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu memang mencatat adanya antusiasme investor milenial yang terlihat pada hasil penjualan obligasi ritel ORI017.

Kesadaran generasi muda untuk berinvestasi tercermin dari tingginya minat investor generasi milenial dan generasi Z (usia <20 tahun) pada penerbitan ORI017 kali ini. Tercatat jumlah investor terbesar yang membeli ORI017 berasal dari kelompok generasi milenial, yaitu sebanyak 18.452 investor atau 43% dari total investor.

Selain itu, porsi investor dari kelompok generasi Z yang merupakan usia pelajar juga meningkat dibandingkan pada penerbitan ORI di tahun sebelumnya. Yakni, 1% di ORI017 dibandingkan 0,22% di ORI016.

Data tersebut dinilai menumbuhkan optimisme bahwa dengan semakin banyak generasi muda yang berinvestasi di SBN, maka pasar akan semakin tumbuh dan sustainable karena basis investor di dalam negeri yang semakin kuat.

Potensi keberadaan investor milenial juga diakui Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM) Reza Fahmi. Peningkatan jumlah investor milenial pada perusahaan manajemen investasi tersebut diakui sudah terlihat sejak tahun 2015. Dengan peningkatan jumlah investor sebanyak 10% setiap tahun hingga 2020 ini.

“Ditandai dengan Bareksa. Sebelum tahun 2015 kan orang ramai dengan investasi capital market lewat IPOT, habis itu Bareksa muncul. Setelah itu mulai meningkat karena target mereka memang milenial,” jelas Reza kepada Validnews, Selasa (04/08/2020).

Ia menyebut bahwa saat ini jumlah nasabah milenial di HPAM sudah mencapai 40% dari total nasabah yang tercatat sekitar 20 ribu number of account (noa). Kaum milenial rata-rata menanamkan dana mulai dari Rp100 ribu sampai Rp1–2 juta. Ada pula yang mempercayakan dananya hingga ratusan juta.

Pesatnya penjualan produk keuangan HPAM di kalangan milenial, Reza sebut, turut dipengaruhi penjualan melalui agen penjual reksadana, seperti Bareksa, IPOT, Supermarket Reksadana, dan Mandiri Sekuritas.

Untuk wahana investasi yang paling diminati, Reza sebut adalah sektor money market dan beberapa di reksadana saham. Dari seluruh investasi milenial yang dipercayakan ke HPAM, sektor pasar keuangan sanggup menyerap dana nasabah hingga 50%. Disusul saham 30% dan 20% sisanya di produk keuangan lain, seperti campuran dan pendapatan tetap.

Mengenai pemahaman profil risiko, Reza menilai bahwa nasabah milenial HPAM seluruhnya sudah teredukasi hal tersebut. Lantaran, nasabah diwajibkan mengisi kuesioner profil risiko dan membeli produk keuangan yang sesuai dengan profil risiko nasabah bersangkutan.

“Bila membeli produk yang tidak sesuai dengan profil risiko ya mereka kan enggak bisa lolos di compliance kami,” ucapnya.

 

Kurikulum

Untuk menangkap peluang investasi dari milenial, Sekar mengaku bahwa OJK telah mengembangkan buku literasi keuangan dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berinvestasi. Namun, saat ini baru tersedia satu buku untuk siswa SMA kelas X.

Sementara, buku untuk jenjang pendidikan lainnya, aku Sekar, sedang dalam tahap penjajakan agar masuk dalam Kurikulum. Bahkan ia menyebutkan bahwa OJK juga sedang menyusun buku literasi keuangan bagi siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

OJK pun membuat program Simpanan Mahasiswa dan Pemuda (SiMUDA) yang diinisiasi untuk kelompok usia 18–30 tahun. Salah satu produknya adalah SiMUDA InvestasiKu, yakni tabungan rencana yang memiliki fitur investasi di reksadana secara berkala dan dilindungi dengan proteksi asuransi.

Regulator lembaga jasa keuangan itu pun menilai, peningkatan literasi dan inklusi keuangan di kalangan milenial bisa menjadi penggerak ekonomi dan program melek keuangan di masyarakat.  [tim]

Advertisement
Advertisement