April 24, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

[CURHAT] Lebaranku Kelabu

4 min read

Aku merencanakan Lebaran bersama keluarga, anak, dan suami di rumah. Namun, rencana tidak seindah kenyataan. Impian tidak semulus angan-angan. Aku harus menelan pahitnya dikhianati tetangga, yang sudah aku anggap keluarga sendiri. Sebut saja dia Kenari. Bersifat keibuan dan super sabar menghadapi anak-anakku yang, kata suamiku, sangat nakal.

Aku mafhum dengan ulah anak-anakku. Mungkin mereka minta segenggam perhatian dari orangtuanya, terutama aku, ibunya yang jauh di rantau. Hanya uang, mainan, dan suara yang hadir dalam kesehariannya. Bukan ibu dalam bentuk fisik yang ayu, sendu, dan perhatian.

Kenari membantu menyiapkan bekal anak-anak ke sekolah, bersih-bersih rumah, dan membantu suamiku berkutat dengan lahan garapan yang lumayan luas. Lebaran ini aku hanya cuti satu bulan. Sebab, aku merencanakan kepulangan selanjutnya dan tidak kembali ke Hong Kong setelah masa kontrak habis di bulan Juli tahun depan.

Akan tetapi, aku akan berpikir ulang dengan rencana itu. Aku masih menunggu keputusan suami, pisah atau lanjut dengan pertimbangan demi anak-anak. Meski hatiku tersayat gergaji, aku akan rela bila itu untuk kebaikan anak-anak yang masih butuh figur seorang ayah.

”Terserah kamu, Mas. Kita berumah tangga sudah belasan tahun. Anak-anak sudah dewasa. Aku ke Hong Kong pun demi keluarga kita. Aku menjaga hatimu dengan setia lahir dan batin. Namun, apa balasanmu padaku? Bergumul dengan tetangga sendiri! Mau ditaruh mana muka kita, Mas? Ah, tidak. Mukamu maksudku.” Aku menahan gejolak kecewa yang maha dahsyat.

”Maafkan aku, Dik. Aku benar-benar khilaf. Hubungan kami berawal tanpa sengaja. Kenari sedang mandi tanpa mengunci pintu kamar mandi waktu itu. Lalu, terjadilah…” Suami berkata sambil menggenggam tanganku.

”Sudahlah, Mas. Sesama wanita aku juga mengerti kalau Kenari juga kesepian. Tapi, lelaki itu tidak seharusnya kamu. Kamu sudah punya istri dan anak.” Balasku sambil menampik kedua tangannya.

”Kamu ingin aku bagaimana, Dik?” tanyanya, gugup.

”Aku ingin kamu meninggalkan dia dan fokus pada rumah tangga kita. Itu saja.” Sahutku dengan dada yang kian sesak. Gumpalan airmata itu sebentar lagi akan meleleh.

”Tidak, Mbak. Mas Bram tidak boleh meninggalkanku. Aku sudah melayani dia seperti kewajiban istri terhadap suaminya. Lahir dan batin aku penuhi. Setiap saat dia haus kehangatan, aku selalu siap di kamarmu.” Kenari bersuara. Ia masuk ke rumahku seperti rumahnya sendiri. Tanpa salam, permisi, dan tata krama. Aku makin jengah dibuatnya. Apa memang aku harus mengalah?

”Baiklah, Mas. Kita pisah. Anak-anak ikut denganku. Kamu? Sekarang juga keluar dari rumahku! Ini rumah hasil jerih payahku.”

Ya, bercerai adalah jalan terbaik bagi rumah tangga kami. Aku tidak bisa membayangkan kamarku dipakai berbuat zina, selingkuh, dan entahlah. Aku merasa mual dan jijik seketika. Hueek…!

Tanpa kami sadari, peristiwa memalukan itu disaksikan anak-anakku yang baru pulang dari sekolah. Wajah mereka pias. Tidak menyangka kebaikan tetangganya itu ada maksud lain.

”Bibi Nari jahat. Tega mencurangi Ibu. Padahal Ibu selalu memberikan hadiah dan gaji berlebih padamu.” Raya, anak sulungku yang duduk di bangku SMK kelas dua, bersuara. Ia hampir saja menampar Kenari kalau tidak aku cegah.

”Sudahlah, Kak. Lupakan saja kebaikan berbalut kebusukan itu. Ayah dan Bibi, dengar kan apa permintaan Ibu tadi? Keluaaar…!” Roby, anak keduaku yang duduk di bangku SMP kelas satu, berteriak lantang. Suami dan Kenari tergagap, tergopoh mengemasi segala barang pembeliannya.

Kedua anakku memelukku erat. Menyuruhku bersabar dan mereka akan menjaga ibunya ini dengan segenap kekuatan, jiwa dan raga.

”Terima kasih, sayang… Ibu tidak akan bisa tegar tanpa kalian. Maafkan Ibu yang telah meninggalkan kalian ke luar negeri. Ibu janji akan kuat dan kalian harus selesai sekolah. Mengerti?! Biar saat dewasa nanti kalian berguna bagi lingkungan sekitar dan Ibu akan sangat bangga.” Pelukan mereka sangat hangat. Airmata bahagia nan haru mengiringi hari panas ini.

Tiga bulan sejak peristiwa itu kami resmi bercerai. Tidak ada harta gono-gini, dan hak asuh anak ada padaku. Aku tetap menyelesaikan kontrak kerja yang kurang sebelas bulan. Aku minta tolong ayah dan ibu untuk tinggal sementara di rumahku. Di samping menemani anak-anakku, setidaknya ada orang dewasa yang memantau pertumbuhan dan pergaulan anak-anakku.

Mas Bram, mantan suamiku, masih sesekali ke rumah. Meski disambut penolakan anak-anak, ia tetap ingin bertemu. Baginya tidak ada mantan anak. Aku pun tidak egois. Tetap mengingatkan anak-anak untuk menghormati ayahnya, meski sudah tidak lagi serumah.

”Ra sudah memaafkan ayah, Bu. Kata Ustad Hasbi, Allah Swt saja Maha Pengampun, kenapa hamba-Nya tidak? Seburuk-buruknya ayah, ya tetap ayah kita. Bukan begitu, Ro.” Alhamdulillah Anakku semakin saliha.

”Betul, Kak. Ro juga tidak membenci ayah, Bu. Meski masih kecewa, bukankah tidak baik bilamana sesama Muslim saling memutus silaturahim? Apalagi itu ayah kami. Insyaallah kami ikhlas, Bu. Semoga kita bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Yang kecil pun makin salih.

”Aamiin… Ibu janji akan segera pulang bila modal usaha Ibu cukup dan kalian menjadi sarjana.” Aku mengaminkan harapan dan doa anak-anak. Aku ingin kepergianku ke luar negeri ini berbuah hasil. Melihat anak-anak berpendidikan cukup dan meraih cita-citanya, serta punya usaha mandiri saat aku sudah tidak menjadi PMI (pekerja migran Indonesia) lagi. Semua usaha tidak akan sia-sia dengan doa anak-anak salih-saliha.

Saat ini, dua tahun sudah aku bercerai. Di kala Ramadhan menjelang Idul Fitri begini, aku selalu ingat kejadian itu. Bagai serpihan pita film yang mengurai, membetot paksa hati dan pikiran untuk kembali ke masa jahanam itu. Ya, Tuhan… Hapuslah kesedihan kami dengan nikmat tak terhingga-Mu. Semoga Lebaran berikutnya aku sudah bisa move-on dan lebih bahagia. Aamiin.

 

[Dituturkan Alma Hafsah kepada Anna Ilham-Apakabar Plus]

Advertisement
Advertisement