April 24, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Dari Balik Jeruji Besi, Lusi Sukses Kembangkan Bisnis Boneka Mini

6 min read

JAKARTA – Alih-alih menjadi lemah dan terpuruk, perceraian menjadi titik balik bagi Lusia Efriani Kiroyan. Perceraian membuatnya lepas landas menjadi perempuan perkasa yang mampu menguatkan perempuan lainnya.

Ya, kegagalan itu menjadi bahan bakar semangat bagi Lusia untuk terjun langsung membantu ratusan perempuan yang terperangkap di balik jeruji besi. Ia membekali mereka dengan kemampuan membuat pola dan menjahit gaun cantik dari batik khas Indonesia. Tidak sembarang gaun. Jahitan mereka ini digunakan untuk membalut boneka yang ia namakan Batik Girl.

Tak tiba-tiba perempuan kelahiran Surabaya, 1 Agustus 1980 lalu tersebut terlibat dengan kehidupan di bui. Ini bermula dari keinginannya untuk memberikan dukungan bagi para perempuan lain yang mengalami nasib serupa. Dukungan diwujudkan dengan mendirikan training center khusus para ibu yang menjadi orangtua tunggal.

Training center itu didirikan di Ruko Duta Mas Trafalgar, Batam, yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya. Memanfaatkan ruangan yang ada, sekaligus untuk menjawab kebutuhan para ibu, pusat pelatihan miliknya dilengkapi dengan ruang bermain anak.

“Karena saya single mom. Pengalaman saya rempong bawa anak kecil-kecil dua ke mana-mana. Makanya saya ingin kasih skill gratis mereka boleh bawa anaknya, jadi saat mamanya belajar di ruang bawah, anak-anaknya bermain di ruang atas,” ujarnya kepada Validnews, Senin (16/12).

Seiring waktu, pemerintah Kota Batam mulai melirik kegiatan pemberdayaan perempuan yang dia lakukan. Lusia diminta untuk menangani anak jalanan. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya menembus angka 100 anak.

“Tapi, dana dari pemerintah enggak banyak, sangat kecil. Akhirnya saya pikirkan usaha apa untuk back up yayasan saya,” ungkap ibu dua anak ini.

Belum menemukan jawaban, pada tahun 2011, Lusia bergabung dalam Muslim Exchange Program. Lewat program itu mendapatkan kesempatan berkunjung ke Amerika Serikat.

Kepergian itu sekaligus menjadi pelarian diri usai bercerai dengan mantan suaminya. Namun, di sana ia menemukan ide yang cukup brilian. Program pertukaran kebudayaan muslim itulah yang menjadi gerbang pembuka dimulainya Batik Girl yang ia tekuni hingga saat ini.

Saat mengikuti ajang tersebut, Lusia kerap menarik perhatian seluruh peserta karena selalu mengenakan batik. “Mereka juluki saya doll from Indonesia karena pakai baju batik dan rambut yang hitam. Mereka selalu menunggu saya pakai baju apa, itu kenangan yang sangat lucu,” katanya mengenang.

Menurutnya, batiklah yang membuatnya menjadi perhatian di ajang internasional tersebut. Julukan sebagai boneka dari Indonesia akhirnya menginspirasinya menciptakan boneka berambut hitam dengan baju batik khas Indonesia.

Ide itu semakin matang dan berkembang saat Lusia menjalani Muslim Exchange Program di Australia di tahun berikutnya.

Di Benua Kanguru ini, Lusia bertemu sosok inspiratif, Annisa Syarief, yang berprofesi sebagai artis. Kala itu, Annisa memberdayakan narapidana anak dengan mengajari mereka membuat mozaik. Karyanya kemudian ditampilkan di museum muslim di Australia. Lusia ingin menempuh jalan yang sama, memberikan pemberdayaan untuk para napi anak-anak.

Sepulangnya dari Australia, ia merasa tak perlu lagi “kabur” pasca-perceraiannya. Ia justru terpikir untuk memberikan training bagi perempuan-perempuan yang tersisih. Target utamanya adalah napi anak-anak perempuan.

Hanya saja, di Batam ia kesulitan menemukan napi anak-anak. Ia justru bertemu perempuan-perempuan cantik di dalam rumah tahanan.

“Saya enggak ketemu napi anak-anak. Ketemunya perempuan dan cantik. Image penjarakan seram ternyata enggak, saya tanya kenapa cantik-cantik nyasar di sini? Akhirnya mereka cerita, mereka kena kasus narkoba,” ungkapnya.

Sejak itulah, Lusia bertekad membesarkan programnya yang bernama Batik Girl yang akan memasuki usia 7 tahun. Program ini melibatkan napi-napi perempuan dari kasus narkoba di penjara Batam. Dalam tujuh tahun perjalanannya, Batik Girl menyambangi penjara perempuan di Bali, Jakarta, dan akan menyusul Medan.

“Di Medan saya dapat data menduduki kasus tertinggi narkoba di Asia Tenggara. Makanya saya pengen ke sana,” tambah perempuan asli Surabaya ini.

Mengapa ia tertarik pada napi perempuan kasus narkoba? Ia mencontohkan napi perempuan di Batam misalnya, adalah perempuan yang tertangkap saat melewati batas negara setelah menjadi kurir narkoba. “Makanya mereka jauh dari keluarga,” tambahnya.

Menurutnya, para napi perempuan tak bisa mengandalkan kebutuhan pribadinya dari pemerintah maupun keluarga. Untuk membeli pembalut saja,  para napi perempuan mengalami kesulitan. Karenanya, program Batik Girl ini dapat membantu para perempuan tersebut hidup mandiri dan berdikari.

Program ini akan memberi pelatihan bagi para napi perempuan selama 3 hari untuk membuat pola baju gaun dan belajar menjahit. Material boneka dan kain disediakan oleh Yayasan Cinderela From Indonesia Center (CFIC) yang didirikannya. Boneka seperti merek ternama Barbie ia datangkan dari China melalui penyalur dari Jakarta dan Surabaya.

“Karena nggak gampang cari boneka seperti Barbie yang rambut hitam,” ujarnya.

Setelah lulus pelatihan, para napi akan memproduksi boneka tersebut sesuai tema yang akan diluncurkan. Misalnya, tema hijabers, baju modern, dan Cinderella dengan gaun dari batik. Baju boneka itu lantas dijahit dengan tangan atau hand made. Maklum, tentu tak mudah menemukan mesin jahit di penjara.

Para napi juga diajari cara hair do boneka cantik ini, lengkap dengan trik membuat gelungan rambut dan model hijab.

Bentuk boneka khas Indonesia ini pun beragam dan tidak diproduksi massal. Satu model hanya untuk satu boneka. Ini juga terkait dengan kain batik yang tersedia. Kain batik yang digunakan untuk membuat gaun barbie diperoleh dari sumbangan. Bentuknya bukan kain, melainkan pakaian bekas.

Setiap satu boneka yang didandani bak Putri Indonesia, napi perempuan akan mendapat ongkos Rp 10 ribu. Lusia menargetkan dalam enam bulan bisa memproduksi 1.000 boneka, atau 2.000 boneka dalam setahun.

Selanjutnya, setiap kali roadshow ke luar negeri, Lusia akan membawa ratusan boneka untuk dijual. Harganya sebesar US$15 satu boneka. Di dalam negeri boneka dibanderol seharga Rp150 ribu.

Sayangnya, pasar dalam negeri sangat stagnan. Kini Lusia mengaku hanya fokus pada pasar luar negeri karena perkembangan penjualan di tanah air tak terlalu menggembirakan. Batik Girl sendiri kini sudah ‘mendarat’ di berbagai negara. Sebut saja negara-negara di Asia, Amerika Serikat, Australia, negara-negara Afrika bahkan Suriname.

Tak hanya itu, jika dulu penjualan dilakukan secara ritel kini Batik Girl dijual khusus untuk donasi bagi pasien kanker anak-anak dan disabilitas di seluruh negara Asean. Kini, Lusia pun tak perlu roadshow ke berbagai negara dengan membawa ratusan boneka lagi untuk dijual. Ia mengaku lebih nyaman dengan menggalang dana untuk memproduksi Batik Girl. Selain memberi kebahagiaan bagi anak-anak pasien kanker dan penyandang disabilitas, CFIC juga turut memberdayakan napi perempuan.

Ia menargetkan pada tahun 2020 dapat menjangkau 500 napi perempuan dari lima lapas di Batam, Bali, Jakarta, Medan, dan Surabaya.

Selain memberdayakan napi perempuan, Lusia juga menggandeng anak jalanan. Namun, karena usianya masih di bawah 18 tahun, mereka tidak dipekerjakan sebagai pembuat Batik Girl.

Saat ini, Lusia mengorganisasi 1.030 narapidana perempuan, 1.000 pasien kanker anak-anak, 100 ibu dari anak-anak jalanan. Bersama mereka, ada 100 anak jalanan, 50 single mother, 50 narapidana perempuan remaja, 50 pekerja seks, 15 remaja disabilitas, 48 pengungsi perempuan, dan 100 pengungsi anak-anak.

 

Luncurkan Buku

Kisah Batik Girl sedianya akan diluncurkan dalam bentuk buku pada Januari 2020 mendatang. Buku ini hasil kerja sama dengan penyelenggara Moslem Exchange Program di Amerika Serikat. Ia juga akan membagikan pengalamannya saat melakoni program itu, baik di Amerika Serikat dan Australia.  Ia berharap, dengan membagikan pengalaman hidupnya agar bisa menginsipirasi orang lain.

Di sela waktu luangnya, Lusia juga gemar berolahraga. Satu lagi hobi yang cukup menguntungkan baginya adalah jalan-jalan. Pasalnya, perjalanan bisnis ke berbagai daerah di Indonesia dan berbagai negara bisa ia nikmati juga sebagai pelesiran. Selain itu, kehidupannya yang wara-wiri setiap bulan juga memudahkannya menengok dua buah hatinya yang kini tinggal di Surabaya.

Meski aktif sebagai pekerja sosial yang memberdayakan perempuan, Lusia juga aktif berorganisasi sebagai Kepala Divisi Pemberdayaan Perempuan DPP KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) pada 2010–2012. Pada era 2009 sampai 2102, Lusia berkarier sebagai Public Relation Avava Group Internasional dan 2007 sampai 2009 sebagai konsultan Mikro Banking Bank Indonesia.

Kini, 80% waktu dan aktivitasnya diperuntukkan untuk CFIC. Sisanya 20% ia gunakan untuk mengurus bisnisnya yang sudah 12 tahun ia jalani, bisnis arang batok kelapa.

Meski kini yayasan bergantung penuh pada dirinya, ia mengaku tak keberatan. Lulusan Universitas Atmajaya dan Universitas Airlangga ini justru dengan senang hati menghabiskan waktunya untuk mengurus yayasan. Namun, Lusia mengaku perlu mengambil jeda. Ia ingin kembali menempuh pendidikan yang fokus pada social enterprise dan inovasi.

Rencananya, ia ingin mengambil beasiswa dari salah satu universitas di Eropa. Kawasan ini dipilih karena ia menilai waktu studinya relatif lebih singkat dibanding di Amerika Serikat dan Australia. [Kartika]

Advertisement
Advertisement